Subscribe Us

PHK MASSAL, BUAH PENERAPAN KAPITALISME

Oleh Yusmiati
(Aktivis Dakwah)

Vivisualiterasi.com-Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Massal kembali menghantui Indonesia. Hal demikian terjadi karena beberapa dampak dari efisiensi anggaran serta gelombang PHK dari pabrik-pabrik tanah air. Kebijakan dari efisiensi anggaran membuat PHK terjadi dimana-mana. Terutama karyawan yang berstatus tenaga lepas sangat berdampak. Mereka akan menerima gaji sesuai durasi waktu kerja atau proyek yang dijalankan, bahkan ada yang terancam kehilangan pekerjaan akibat pos anggaran yang dipangkas. Sementara itu, beberapa kementerian dari lembaga bahkan mengalami kesulitan dalam membayar gaji dan tunjangan karyawan akibat pemangkasan anggaran, (tirto.id, 17/02/25).

Selain itu, 2 pabrik memutuskan untuk menghentikan produksinya alias tutup, yakni PT Sanken Indonesia yang berlokasi di Cikarang, Jawa Barat dan PT Danbi International di Garut, Jawa Barat. PT Sanken Indonesia berencana menghentikan operasionalnya bulan Juni 2025 mendatang yang berdampak pada PHK terhadap 459 orang pekerja. Sementara, PT Danbi International yang memproduksi bulu mata palsu, menghentikan produksinya sejak Rabu (19/2/2025). Disebutkan, ada sekitar 2.100 orang karyawan bekerja di PT Danbi International. Artinya, lebih dari 2.000 orang buruh terancam tidak memiliki sumber pendapatan untuk menjalani momen Ramadan dan Lebaran tahun ini, (CNBCIndonesia.com, 20/02/25).

Sebab Badai PHK Massal

Badai PHK di Indonesia masih menjadi fenomena yang terus berulang. Ditengah hiruk-pikuknya mencari lapangan pekerjaan, badai PHK massal malah menerjang. Beragam alasan yang menjadi sebab terjadinya PHK massal tersebut misalnya kebijakan baru efisiensi anggaran, mengantisipasi resesi, mengganti pekerja dengan AI, kinerja yang buruk, serbuan produk impor, perlambatan ekonomi serta menjaga agar perusahaan tidak merugi. 

Setelah badai PHK, para korban PHK akan berbondong-bondong mencari lapangan pekerjaan untuk mendapatkan sumber pendapatan baru demi memenuhi kebutuhan hidup. Sayangnya, lapangan pekerjaan hari ini kurang memadai. Jumlah para pencari kerja, acapkali melebihi lapangan pekerjaan yang tersedia di negeri ini. Walaupun ada, lapangan pekerjaan yang tersedia pun sering kali tidak sesuai dengan kompetensi para pencari kerja. Ditambah lagi perusahaan memiliki kriteria untuk menerima karyawan, seperti batasan usia, memiliki pengalaman kerja, hingga mereka harus multitasking. 

Tak bisa nafikkan, lagi-lagi rakyat harus menjadi korban. Sedangkan para pemilik modal atau korporasi yang menguasai sebagian besar usaha-usaha yang ada di negeri ini aman sejahtera. Tak aneh, sebab paradigma ekonomi kapitalis yang dipakai hari ini adalah “yang kuat dialah yang menang “. Ditambah lagi sikap egoisme dari pengusaha, yang lebih mengutamakan keselamatan perusahaannya dan tidak peduli dengan nasib pekerja. Demi menyelamatkan keuangan perusahaan, langkah awal yang diambil adalah memberhentikan para pekerja. Sebab hal ini buruh atau karyawan dianggap sebagai salah satu faktor produksi. Sedangkan prinsip dalam kapitalisme adalah menekan biaya produksi setinggi-tingginya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Apabila perusahaan mengalami guncangan keuangan, maka PHK adalah solusi jitu. Inilah salah satu bentuk kezaliman kapitalisme terhadap para buruh. 

Hal ini menyebabkan para kapitalis memandang pekerjanya bukan sebagai aset yang mereka butuhkan kontribusinya untuk kemajuan perusahaan, tetapi hanya sebagai alat yang bisa digunakan lalu ditinggalkan ketika tidak tidak lagi berguna. Sistem Kapitalisme mengkerdilkan peran negara dalam melindungi rakyat. Mereka justru memosisikan dirinya sebagai regulator semata. Segala kebijakan yang dibuat oleh negara hanya bertujuan untuk memuluskan dan melanggengkan dominasi para kapitalis untuk menguasai kekayaan negeri ini yang sejatinya adalah milik rakyat. Adapun bukti ketidakberpihaknya negara kepada rakyat adalah dengan menerapkan UU Omnibus Low. 

Dengan adanya UU Omnibus Low, negara justru mempermudah masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) terutama dari China untuk mengisi lapangan kerja yang tersedia dalam negeri. Ironisnya, meskipun skill yang mereka miliki juga terbatas, mereka tetap mendapatkan upah yang sangat tinggi. Sementara itu, para  pencari kerja di negeri ini harus berjuang sendiri mendapatkan pekerjaan yang seharusnya menjadi hak mereka. 

Ketidakmampuan negara untuk memberikan perlindungan yang memadai bagi tenaga kerja menjadi salah satu penyebab utama terjadinya PHK. Dampak dari PHK adalah buruh atau karyawan kehilangan sumber pendapatan. Terlebih PHK massal tersebut terjadi menjelang ramadhan yang diiringi dengan lonjakan harga komoditas pangan, tentu ini akan berdampak pada susahnya pemenuhan kebutuhan hidup. Adanya jaminan pemberian 60% gaji selama 6 bulan melalui program Jaminan Kehidupan Pekerjaan (JKP) dengan batas atas upah 5 juta tidak akan menyelesaikan persoalan karena kehidupan tidak hanya berlaku selama 6 bulan saja. 

Islam Mengatasi Masalah Buruh

Berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan dalam bingkai khilafah Islamiyah. Dalam Islam, negara memiliki tanggungjawab untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya, dan kesejahteraan diukur berdasarkan ketika terpenuhinya kebutuhan setiap individu. Oleh sebab itu, persoalan PHK penyelesaiannya harus mendasar dan fundamental karena berpengaruh kepada kesejahteraan masyarakat. Adapun mekanisme Islam dalam menyelesaikan persoalan buruh dan pekerja adalah sebagai berikut:

Pertama, Islam mengatur kepemilikan harta, yakni kepemilikan individu, umum dan negara. Dalam harta kepemilikan umum negaralah yang mengelolanya untuk kemaslahatan umat. Islam melarang penyerahan pengelolaan harta milik umum kepada individu atau swasta, sebagaimana hadist Rasulullah saw. 

Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad) 

Dengan aturan ini, negara dapat membangun industri strategis yang memungkinkan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. 

Kedua, Islam mendorong individu bekerja. Dalam hal ini, negara dapat memberikan modal atau insentif agar rakyat dapat memulai usahanya. Bahkan negara juga akan memberikan fasilitas berupa pelatihan dan keterampilan agar mereka memiliki skill yang mumpuni sehingga dapat bekerja di berbagai jenis industri dan pekerjaan. Dengan demikian, negara tidak perlu mempekerjakan orang-orang luar sehingga lapangan pekerjaan akan tersedia seluas-luasnya bagi umat. 

Ketiga, menetapkan standar gaji buruh sesuai ketentuan Islam, yakni berdasarkan manfaat tenaga kerja (manfa'at al-juhd) yang diberikan di pasar, bukan biaya hidup (living cost) minimum. Hal ini bertujuan untuk mencegah eksploitasi buruh oleh majikan. Jika terjadi perselisihan dalam menetapkan upah, maka pakar (khubara') yang dipilih dari kedua belah pihak akan menentukan upah yang adil (ajr al-mitsl). Apabila keduanya tidak menemukan kesepakatan, negara akan memilihkan pakar dan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar tersebut. 

Selain dari mekanisme yang telah disebutkan, hal terpenting dalam Islam adalah Islam tidak memandang pekerja hanya sebagai bagian dari faktor produksi. Sebaliknya, mereka melihatnya sebagai individu yang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga, ketika suatu industri mengalami penurunan permintaan barang atau kondisi ekonomi negara sedang memburuk, tidak akan berimbas pada penurunan gaji pekerja atau bahkan PHK. Akan tetapi, semua kebijakan negara ini akan terwujud apabila syariat Islam diterapkan dalam sebuah negara yakni khilafah. Wa’allahu a’lam bish shawwab. [PUT]



Posting Komentar

1 Komentar