(Aktivis Dakwah Nisa Morowali)
Media sosial di era ini membentuk keadilan di Indonesia melalui cancel culture dan viralitas hukum tentu saja membawa manfaat sekaligus resiko. Seperti kejadian yang baru-baru saja terjadi, yaitu seorang pegawai PT Timah Tbk yang dipecat akibat mengejek para pekerja honorer pengguna BPJS dalam videonya disosmed. Terlihat dengan jelas bukan bahwa tekanan publik dalam cancel culture nyatanya berdampak bukan hanya pada reputasi pribadi namun juga pekerjaan. Belum lagi adanya kasus penganiayaan terhadap seorang karyawati ditoko roti yang ada di Cakung, Jakarta Timur baru diproses setelah videonya viral. Fenomena ini dikenal dengan sebutan no viral no justice, hal ini menggambarkan seolah keadilan atau tegaknya hukum hanya berlaku saat kasusnya ramai disosial media. Dari kedua fenomena tersebut , apakah medsos dapat membantu tegaknya keadilan atau malah memperkeruh situasi serta penghakiman massa?
Cancel Culture merupakan hukuman sosial di Era Digital
Hukuman ini seperti boikot, kecaman, atau berupa penghapusan eksistensi pelaku dimedsos. Di indonesia kasus ini biasanya muncul dari para tokoh publik yang mengeluarkan pernyataan bersifat kontroversi. Salah satu contoh nyata ialah kasus Gus Miftah yang belum lama terjadi. 58% orang diberbagai negara, salah satunya ialah Indonesia menganggap cancel culture ini sebagai alat yang penting dalam pertanggungjawaban para public figur (Pew Research, 2005). Dampak hukuman ini justru menjadi penghakiman massal instan seolah-olah tidak ada ruang refleksi atau pemulihan yang menyebabkan pembungkaman pembebasan berpendapat, selain itu berisiko adanya penghakiman tanpa bukti.
Dengan kata lain, hukuman ini bisa efektif tetapi bisa juga menjadi hukuman tidak proporsional.
No Viral No Justice merupakan Adanya keadilan karena Viralitas. Keadilan semestinya berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali. Namun di Indonesia, hal yang sering terjadi justru kasus hukum akan diproses setelah viral. Fenomena ini mendeskripsikan seolah publik harus memaksa aparat bertindak sesuatu hanya saat kasus itu ramai dimedsos. Contohnya penganiayaan seorang remaja yang dilakukan oleh Mario Dandy, anak pejabat di Kementrian keuangan. Jika tidak viral kemungkinan kasus ini tidak mendapat perhatian oleh aparat. Menurut Magdalene, 65% kasus hukum yang diproses saat viral lebih cepat diatasi. Namun hal ini tidak selalu mempertimbangkan aspek hukum lebih objektif.
Di Indonesia konteks fenomena ini selalu berkaitan dengan budaya birokrasi lambat dan lebih cenderung merespons hanya berdasarkan tekanan dari publik. Para aparat hukum tidak bertindak independen, ini menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia bersifat reaktif daripada proaktif dalam penegakkan keadilan. Dampak dari fenomena ini ialah penanganan kasus tergantung tekanan publik, hukum tidak berjalan semestinya dan viralitas ini bisa saja menyesatkan yaitu bisa saja terjadi kesalahpahaman yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat (kompasiana.com).
Sungguh miris, penanganan kasus seperti 2 fenomena diatas masih terjadi hingga detik ini. Bahkan dapat dilihat dengan jelas situasi hukum yang ada di Indonesia saat ini selalu berubah-ubah dan disahkan secara sepihak oleh para pemerintah. Untuk rakyat dengan ekonomi menengah keatas berbagai perubahan aturan hukum mungkin tidak terlalu mengganggu, lantas bagaimana dengan mereka yang ekonominya menengah kebawah? Hukum yang berlaku seolah mencekik para rakyat kecil. Karena jelas sistem kapitalisme hanya memenangkan mereka yang memiliki modal.
Hukum Islam
Islam merupakan agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW , yang mengatur hubungan manusia dengan Khaliq-nya, dirinya sendiri, dengan sesamanya, serta alam semesta. Islam merupakan prinsip ideologis yang mengatur segala aspek kehidupan. Hukum dalam Islam ialah aturan hidup yang langsung dari sang Pencipta dan sesuai dengan fitrah manusia, tidak ada yang diubah-ubah mengikuti kemauan manusia apalagi sampai memihak beberapa manusia saja.
Hukum Syara atau hukum Islam terbuat dengan berdasar pada 5 hal yaitu :
Al-Quran yang merupakan sumber hukum utama yang berisi firman Allah SWT dan setiap hukum Islam tidak ada yang bertentangan dengan ini.
Sunnah berupa hadist yang berisi penjelasan rinci mengenai hukum Islam dalam Al-Quran, sekaligus tata cara ibadah, juga ucapan Nabi Muhammad SAW.
ijtihad yakni usaha para ulama dalam penentuan hukum suatu perkara yang tetap mengacu pada Al-Quran dan Hadist. Ijtihad dilakukan oleh seorang mujtahid atau para ulama yang menguasai berbagai ilmu dan hukum-hukum Islam.
Ijmak merupakan kesepakatan dalam penetapan hukum Islam yang dilakukan oleh para ulama yang dilandasi Alquran dan hadist.
Qiyas yaitu sumber hukum islam yang disepakati sebagai sumber hukum islam keempat, atau berupa metode islam untuk menjelaskan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dalam Alquran dan hadits namun akan disamakan peristiwa tersebut dengan peristiwa lain yang sudah ada nash hukumnya serta tetap didasarkan pada Al-quran, hadits dan perbuatan sahabat.
Dalam Islam ada 2 teori pemidanaan hukum islam yakni Zawajir bertujuan mencegah tindak pidana dan jawabir bertujuan mencapai kemaslahatan yang hilang sebab adanya tindak pidana, sehingga dalam hukuman jika ada aspek zawajir sudah sekaligus aspek jawabir.
Zawajir dikenakan untuk perbuatan melanggar ketentuan Allah (pembunuhan, gasab, pencuri dan semacamnya) dengan hukuman yang menyebabkan pelanggarnya menghindari perbuatan itu. Sementara Jawabir dikenakan pada seluruh pelaku tanpa pandang bulu, contoh jawabir dalam masalah ibadah berupa kewajiban membayar fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa atau mengembalikan harta orang yang dirugikan. Jawabir ini ditujukan terhadap tindak pidana yang pelaksanaa hukumnya diberikan kepada orang yang dirugikan.
Hukum Syara bersifat elastis dalam segala bidang juga menjangkau seluruh kehidupan manusia, karena ia bersumber dari ketetapan dan tuntunan Ilahi yang tidak dapat diubah atau direvisi oleh manusia manapun. Dengan mengikuti tuntunan-NYA sudah pasti akan terwujudlah kehadiran hakiki yang membawa keadilan dan keselamatan dunia dan akhirat. Tidak seperti hukum saat ini dibuat oleh tangan manusia yang tidak layak untuk mengadili dan mengatur ummat. Sungguh Allah maha adil dan dia-lah sebaik-baiknya hakim (TQS At-Tin 8).
Demikianlah keadilan tak akan pernah ditemukan jika menggunakan sistem buatan manusia sebab banyak yang cacat dalam penerapannya. Hukum yang mampu memberikan keadilan bagi seluruh manusia hanyalah bisa di capai oleh Islam pada penerapannya dalam sistem Islam. Wallahu a'lam bish-shawwab. [PUT]
0 Komentar