(Kontributor Vivisualiterasi Media)
Ia menuturkan, "Kenapa sangat tidak hati-hati? Karena kalau kita lihat dari aspek dokumen juridisnya, itu memang lengkap. Dari aspek prosedurnya itu memang terpenuhi,"
"Tapi ketika kita cek kepada fakta materiilnya, itu nggak sesuai. Karena sudah tidak ada bidang tanahnya," sambung Nusron.
Nusron mengatakan, para pegawai Kementerian ATR/BPN ini disanksi administrasi negara, mengingat produknya adalah tata usaha negara. Dengan demikian, mereka dijatuhi sanksi berupa sanksi berat hingga penghentian dari jabatan.
"Kecuali kalau di situ ada unsur-unsur mens rea. Misal dia terima suap. Terima sogokan atau apa. Itu baru masuk ranah pidana. Tapi tidak menutup kemungkinan dokumen-dokumen yang disajikan oleh pihak-pihak pemohon, itu adalah dokumen-dokumen yang tidak benar. Misal dokumen palsu, atau dokumen apa. Nah, itu mungkin bisa masuk ranah pidana di ranah pidananya adalah pemalsuan dokumen," imbuhnya.
Di sisi lain, Nusron mengakui bahwa tekanan politik di dalam penerbitan HGB sangat berat.
Pagar Laut adalah sebuah kasus yang terkait dengan pemberian izin pengelolaan lahan pantai dan laut kepada beberapa perusahaan, termasuk yang dimiliki oleh oligarki atau elit bisnis di Indonesia.
Kasus Pagar Laut ini telah menjadi perdebatan publik dan kritik terhadap pemerintah, karena dianggap bahwa pemberian izin tersebut tidak transparan dan hanya menguntungkan beberapa orang atau kelompok tertentu.
Beberapa kritik yang muncul terkait dengan kasus Pagar Laut
1. Pemberian izin tanpa sepengetahuan
Pemberian izin pengelolaan lahan pantai dan laut kepada beberapa perusahaan dianggap tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat setempat.
2. Menguntungkan oligarki
Pemberian izin tersebut dianggap hanya menguntungkan beberapa orang atau kelompok tertentu, termasuk oligarki atau elit bisnis di Indonesia.
3. Merusak lingkungan
Pengelolaan lahan pantai dan laut yang tidak berkelanjutan dapat merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat setempat. Kasus Pagar Laut ini telah menjadi contoh dari bagaimana oligarki atau elit bisnis dapat mencengkram negeri dan menguntungkan diri sendiri, sementara masyarakat setempat dan lingkungan menjadi korban.
Kasus Pagar Laut merupakan contoh nyata dari bagaimana oligarki dapat mencengkram negeri dan menguntungkan diri sendiri, sementara masyarakat lokal dan lingkungan menjadi korban.
Pagar Laut Mencengkram Negeri
Silang pendapat di antara para pejabat pemerintahan hari ini menunjukkan lemahnya aturan yang ada. Aturan yang notabene buatan manusia tersebut memiliki celah untuk dipermainkan sehingga tindakan yang merugikan rakyat dan negara bisa legal (sesuai aturan). Celah ini dimungkinkan ada karena proses pembuatan aturan oleh manusia sarat akan kepentingan pihak-pihak yang mencari keuntungan.
Dalam konteks pagar laut, ada raksasa oligarki yang berkepentingan untuk memperoleh lahan demi memperluas bisnisnya. Dengan memanfaatkan celah aturan yang ada, lahan pun bisa didapatkan meski saat ini masih berupa laut. Ke depan, dengan melakukan reklamasi, laut yang sudah tersertifikasi bisa menjadi lahan yang siap untuk dibangun. Proyek properti di daratan tidak pernah dirasa cukup sehingga laut pun dikaveling untuk dijadikan daratan demi memperoleh keuntungan lebih banyak lagi.
Sistem Kapitalisme Gagal Lindungi Rakyat
Kondisi Indonesia saat ini, negara tidak ada hadir untuk membela rakyat-nya dan harus menjadi garda terdepan dalam kedaulatan rakyatnya bukan malah membiarkan para oligarki terus menguasai wilayah yang seharusnya milik rakyat setempat.
Rasulullah saw bersabda, "Ada tiga hal yang tidak boleh dilarang orang lain untuk memanfaatkannya: rerumputan, air dan api." (HR.Ibnu Majah)
Islam Membagi Kepemilikan
1. Kepemilikan Individu (al-milkiyyah fardiyyah)
Lautan tidak boleh dimiliki oleh negara ataupun individu, sebab kepemilikan individu atas lautan atau sumber daya alam akan menimbulkan kepentingan antara individu dan permasalahan antara masyarakat setempat dan juga pemerintahan. Allah Swt telah memberikan wewenang kepada individu untuk mengatur apa yang sudah menjadi miliknya.
2. Kepemilikan umum (al-milkiyyah al-a'mmah)
Kepemlikian umum mencakup harta yang telah Allah jadikan milik bersama umat Islam. Setiap orang boleh memanfaatkannya tapi tidak boleh memilikinya. Contohnya fasilitas umum yang menjadi kebutuhan pokok sehari-hari, bila tidak ada akan menimbulkan kesulitan.
Dari seorang sahabat, ia berkata, "Aku telah berperang bersama Nabi saw," Aku mendengar beliau bersabda: "Manusia berserikat sama-sama membutuhkan dalam tiga hal: air, padang, dan api." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Kepemilikan umum tidak boleh dimiliki individu, negara, dan juga tidak boleh diperjualbelikan serta harus dinikmati oleh rakyat.
3. Kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah)
Kepemilikan Negara dalam Islam adalah hak negara untuk mengelola dan mengatur sumber daya alam yang ada di wilayahnya.
Prinsip Kepemilikan Negara
1. Negara sebagai pengurus: Negara bertindak sebagai pengurus sumber daya alam yang ada di wilayahnya.
2. Mengatur untuk kepentingan umum: Negara mengatur sumber daya alam untuk kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.
3. Mengutamakan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Negara harus mengutamakan keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam mengatur sumber daya alam.
Jika semua tambang yang ada di Indonesia dikelola secara bersih dan baik oleh negara maka akan cukup untuk menyejahterakan seluruh rakyat.
Negara Islam (Khilafah) merupakan negara yang memiliki kedaulatan penuh untuk mengurus urusan negara dan menyejahterakan rakyatnya. Kedaulatan dalam pandangan Islam itu di tangan syariat, bukan di tangan manusia. Syariat-lah yang seharusnya memimpin, bukan (hawa nafsu) manusia. Semua perilaku, ucapan, dan kebijakan penguasa wajib tunduk pada syariat Islam. Kedaulatan penuh ini membuat Khilafah tidak akan tunduk pada korporasi. Khilafah hanya tunduk pada ketentuan syariat Islam. Ketika Khilafah tegak di muka bumi ini maka kemakmuran akan melingkupi seluruh rakyatnya baik muslim maupun kafir. Wallahu a'lam bish-shawab.[AR]
0 Komentar