(Aktivis Dakwah Nisa Morowali)
Gairah Presiden Prabowo untuk memberantas korupsi tampak bergelora. Namun mengapa sangat berbeda dengan kenyataan dilapangan? Dimana awal menjabat sebagai presiden, Harvey Moies yang telah merugikan negara sebesar Rp. 300.000.000.000.000 hanya di bui selama 6.5 tahun. Tidak lama setelah itu, Presiden Prabowo juga memiliki wacana untuk memaafkan para koruptor jika mengaku dan mengembalikan hasil korupsi ke negara. Dengan demikian, apakah benar Presiden Prabowo mampu memberantas korupsi?
Korupsi Merebak di Semua Bidang dan Lembaga
Korupsi menggurita diberbagi bidang. Miris, korupsi di negeri demokrasi makin kronis. Kasus korupsi silih berganti telah terlucuti. Fenomena ini mencakup diberbagai bidang dan lembaga. Imbasnya adalah merugikan negara serta menghancurkan masa depan rakyat. Pada bidang perekonomian terdapat berbagai pengusaha yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Seperti Helena Lim pemilik perusahaan money charger PT Quantum Sykline Exchange telah terbukti melakukan tindak korupsi pada Februari 2025, bersama dengan Harvey Moies dan beberapa terdakwa lainya.
Di bidang pendidikan, seorang rektor Universitas Mitra Karya di Bekasi dan mantan rektor telah terbukti melakukan tindak korupsi pada Maret 2024, terkait dana Program Indonesia Pintar (PIP) yang dapat menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 13.000.000.000. Selanjutnya dalam bidang kesehatan KPK telah menetapkan 3 tersangka dalam kasus korupsi Alat Pelindung Diri (APD) pada Oktober 2024. Kasus ini terjadi saat Indonesia mengalami pandemi COVID-19 yang berimbas pada kerugian negara sebesar Rp. 300.000.000.000.
Selanjutnya korupsi juga merebak diberbagai lembaga eksekutif seperti Syahrul Yasin Limpo sebagai Menteri Pertanian ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pada pertengahan tahun 2023, Johnny G. Plate sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika ditetapkan sebagai tersangka pada tahun 2023, Tom Lembong sebagai mantan Menteri Perdagangan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pada tahun 2024, dll. Kemudian dilembaga yudikatif yaitu hakim agung Sudrajat Dimyati telah ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi pada September 2022 dan Gazalba Saleh telah ditetapkan menjadi tersangka gratifikasi (suap) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada Oktober 2024. Dilembaga legislatif yaitu Ery Egahni sebagai anggota Komisi III DPR dari fraksi Nasdem telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pada Maret 2023 dan beberapa anggota DPR lainya yang juga terseret dalam kasus korupsi seperti Awang Faroek Ishak sebagai Anggota Komisi II DPR dari fraksi Nasdem, Anggota Komisi V DPR dari fraksi Nasdem, dll.
Miris, korupsi di negeri demokrasi makin kronis. Kasus korupsi silih berganti telah terlucuti. Fenomena ini mencakup diberbagai bidang dan lembaga. Imbasnya adalah merugikan negara serta menghancurkan masa depan rakyat.
Mitos Demokrasi
Gurita korupsi telah mencengkeram berbagai bidang dan lembaga. Seluruh upaya pemerintah dalam kebijakannya untuk mengatasi korupsi seolah tak mampu membendungnya. Buktinya, korupsi menjadi budaya lumrah diberbagai aspek. Sebenarnya, apa yang salah?
Pertama, sistem kehidupan sekularisme yang meniadakan peran agama dalam mengatur seluruh lini kehidupan. Walhasil, para menteri dan penguasa tidak memiliki kontrol terhadap diri dalam menghindari perbuatan dosa. Mereka juga melakukan setiap perbuatan tidak menggunakan standar halal dan haram, namun manfaat materi semata.
Kehidupan dalam sistem sekularisme juga menghilangkan peran kontrol eksternal yang menyebabkan masyarakat individualistis, sehingga masyarakat sibuk dengan urusan pribadi tanpa memedulikan urusan orang lain. Bahkan pelaku korupsi saling menutupi agar tidak saling terbongkar kasusnya. Inilah yang menyebabkan korupsi berjemaah makin merebak.
Kedua, sistem politik demokrasi adalah sistem politik yang mahal. Apabila ingin menjadi penguasa, maka calon penguasa harus memiliki biaya besar untuk kampanye. Lahirlah para kapital yang memiliki kepentingan meminjamkan modal pada calon penguasa. Setelah terpilih maka penguasa akan mengembalikan modalnya kepada para kapital dengan berbagai cara. Inilah yang menumbuhsuburkan korupsi di negeri ini.
Ketiga, sanksi pelaku koruptor tidak memberikan efek jera. Sebagai contoh Harvey Moies yang telah merugikan negara sebesar Rp. 300.000.000.000.000 hanya dipenjara selama 6.5 tahun. Tidak sebanding dengan seorang nenek Asyani yang mencuri 7 buah batang kayu jati diberi hukuman penjara selama 5 tahun penjara. Hal ini menunjukkan hukum di negeri ini tumpul keatas tajam kebawah. Keluarlah celetukan dari masyarakat, lebih baik korupsi dengan nilai besar, ketimbang mencuri hal-hal remeh.
Gempur Korupsi Dengan Islam
Korupsi merupakan masalah sistemis, maka cara penyelesaiannya juga harus menggunakan sistem. Sistem demokrasi telah nyata tidak mampu mewujudkan pemerintahan yang bersih. Sudah sepantasnya jika umat muslim menyelesaikan masalah korupsi menggunakan sistem Islam yang berlandaskan Al-Qur'an dan sunah.
Pertama, sistem kehidupan berasaskan akidah Islam. Akidah ini akan melahirkan individu pejabat yang beriman dan bertakwa, sehingga dalam setiap perbuatannya akan sesuai dengan larangan dan perintah Allah Swt. Sebab para pejabat juga akan memahami setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Kemudian didalam Islam masyarakat akan melakukan kontrol amar makruf nahi mungkar secara internal dan eksternal sebagai bentuk kepedulian antar sesama.
Kedua, sistem politik Islam hanya menerima pejabat yang bervisi dan memiliki motivasi dalam mengurus rakyat untuk mendapat rida Allah Swt. Mereka juga amanah dan memiliki kemampuan dalam bidangnya. Selain itu pemilihan pejabat didalam Islam murah dan mudah. Sebab pengangkatan dan pemberhentian pejabat adalah wewenang Khalifah. Olehnya tidak akan ada jual beli kekuasaan didalam Islam.
Ketiga, sanksi yang diberikan didalam Islam adalah takzir. Kadar dan bentuknya sesui ijtihad kadi dan Khalifah untuk pemberi efek jera. Sebagaimana khalifah Umar bin Khathtab ra. yang menyita harta hasil korupsi, penjara, diekspose, hingga hukuman mati.
Selain sanksi takzir, pelaku korupsi dalam Islam juga diberi ancaman hukuman di akhirat, sebagaimana Sabda Rasulullah Saw:
"Demi yang menguasai jiwa Muhammad, tidaklah seorang diantara kalian melakukan ghulul atau korupsi kecuali dia pada hari kiamat akan memanggul harta ghulul (korupsi) di tengkuknya. Jika yang dikorupsi seekor unta, dia akan menghadap Allah dengan memanggul unta hasil korupsi yang bersuara. Jika yang dikorupsi seekor sapi, dia akan menghadap Allah dengan memanggul sapi hasil korupsi yang melenguh. Jika yang dikorupsi seekor kambing, dia akan datang dengan hasil korupsinya, " (HR Bukhari).
Demikianlah jika Islam diterapkan secara sempurna akan membentuk kepribadian Islam secara hakiki dan meminimalisasi kasus korupsi. Hal ini akan bisa terealisasi dengan baik jika diterapkan dalam naungan daulah khilafah. Wallahu a'lam bishawab. [PUT]
0 Komentar