(Aktivis Dakwah Nisa Morowali)
Berdasarkan data BPS, rata-rata harga telur ayam ras secara nasional pada minggu kelima Januari 2025 berada di atas Harga Acuan Penjualan (HAP), yakni Rp 31.322 per kg. Kenaikan ini terjadi di berbagai daerah di Indonesia, dengan harga tertinggi mencapai Rp 42.000 per kg di Kabupaten Kepulauan Anambas, Sumatera. Sedangkan harga daging ayam ras secara nasional pada periode yang sama yakni Rp 38.76 masalah 8 per kg, meskipun masih dibawah HAP (Rp 40.000 per kg) namun BPS mencatat juga adanya tren kenaikan. Bahkan, di beberapa wilayah di Papua, harga daging ayam ras mencapai Rp100.000 per kg. Selain itu, Rata-rata harga cabai merah nasional mencapai Rp53.621 per kg, mendekati HAP sebesar Rp55.000 per kg, sementara harga cabai rawit sudah jauh melampaui HAP, (rubicnews.com, 07/02/25).
Imbas Dari Penerapan Kapitalisme
Dengan tren kenaikan harga komoditas pangan tiap tahunnya, kondisi ini sudah menjadi hal yang lumrah dan masyarakat pun seakan dibuat biasa dengan kondisi ini. Ketidakmampuan pemerintah dalam mengantisipasi masalah tahunan yang seharusnya menjadi pelajaran berharga untuk berkaca. Akibatnya, ramadan yang dinanti-nanti oleh seluruh umat muslim, berubah menjadi momok yang menakutkan. Sebab, kenaikan harga komoditas pangan sangat berpengaruh dan membebani masyarakat terlebih masyarakat yang berada di kalangan bawah. Rakyat harus berjuang menggapai harga bahan pangan sendiri ditengah kesulitan ekonomi.
Gejolak harga komoditas pangan dipicu oleh naiknya permintaan masyarakat kemudian tidak diimbangi oleh ketersediaan pasokan bahan pangan di pasar, menjadi alasan klise meningkatnya harga komoditas pangan. Jika ditelisik lebih jauh lagi, nyatanya persoalan melonjaknya harga bahan pangan bukanlah karena permintaan tinggi melainkan ada permainan pasar yang dimainkan oleh para korporat. Hal tersebut adalah imbas dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang memandulkan peran negara sebagai periayah. Negara saat ini hanya memposisikan diri sebagai regulator dan fasilitator sedangkan operatornya adalah korporat. Akibatnya, tata kelola perekonomian senantiasa didominasi oleh para korporat yaitu pengusaha untuk menentukan harga kebutuhan pangan.
Sementara itu, faktor lain yang memicu kenaikan harga komoditas pangan adalah peran spekulan atau mafia pangan di pasar. Mereka sengaja menahan dan menimbun pasokan barang sehingga terjadi kelangkaan. Ketika pasokan menipis, mereka akan mudah melempar barang dengan harga untuk meraup keuntungan yang lebih. Praktik semacam ini bukan hal asing dalam sistem kapitalisme, yang cenderung melahirkan individu-individu yang lebih fokus pada keuntungan materi. Dalam sistem ini, masyarakat hanya dianggap sebagai pasar yang dapat dieksploitasi tanpa mempertimbangkan dampak negatif atau kerugian yang dialami banyak orang.
Selain itu, distribusi serta pengelolaan pasokan pangan adalah faktor penting untuk menjaga kestabilan harga komoditas pangan di pasar. Akan tetapi, negara hanya fokus kepada produksi dan penyediaan stok pangan. Sebab, mereka menganggap bahwa tinggi permintaan sementara stok kurang tentu itu akan mengakibatkan kenaikan harga. Oleh karena itu, antisipasi yang dilakukan oleh negara adalah penyediaan bahan pangan yang melimpah. Sayangnya, antisipasi yang dilakukan tersebut gagal, sebab pendistribusian barang tidak merata keseluruh daerah dan tidak menjangkau seluruh elemen masyarakat. Bahkan ketika bahan pangan sampai ke masyarakat, harganya tetap tinggi akibat adanya permainan dari pihak korporat.
Olehnya itu, berdasarkan fakta diatas melambungnya harga-harga komoditas di pasaran saat menjelang Ramadan menjadi salah satu bukti bobroknya kepemimpinan saat ini serta menunjukkan bahwa betapa cengkraman ekonomi kapitalisme masih sangat mendominasi negeri ini. Karenanya kita harus mencampakkan sistem ini dan menyelesaikan problem ini dengan solusi yang cerdas dan tepat.
Islam Solusi Tuntas
Islam adalah agama komprehensif yang memiliki seperangkat aturan, baik dalam ranah spiritual maupun dalam kehidupan sehari-hari, olehnya itu Islam mampu memberikan solusi dalam masalah apapun termasuk kebutuhan bahan pangan. Dalam sistem pemerintahan Islam, negara bertugas sebagai pelayan urusan rakyat sebagaimana Nabi Muhammad Saw bersabda,
“Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Bentuk tanggung jawabnya adalah pemimpin kaum muslim berperan dalam pengelolaan pangan mulai dari aspek hulu sampai ke hilir. Sebab, masalah pangan adalah hal yang perlu mendapat perhatian khusus karena merupakan salah satu kebutuhan yang wajib dipenuhi per individu.
Dalam Islam, negara mampu mandiri dalam pengelolaan komoditas pangan, tanpa adanya campur tangan pihak korporat atau swasta. Bahkan, negara tidak akan membiarkan korporasi menguasai rantai penyediaan pangan. Dalam penerapan ekonomi Islam, keberadaan korporasi dapat dihindari bahkan dihilangkan. Dengan kedigdayaannya, Islam mampu menjamin kelancaran proses produksi serta ketersediaan stok pangan yang memadai. Apabila terjadi kelangkaan pangan, maka negara akan memenuhinya dengan menyuplai stok pangan dari wilayah lain, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatab pada masa khulafaur rasyidin.
Sementara itu, dalam aspek pendistribusian Islam akan mengatur agar distribusi merata secara keseluruhan dan memastikan bahwa setiap per individu rakyat dapat menjangkau kebutuhan pangannya. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan pengawasan di pasar dari praktik-praktik nakal, semisal monopoli perdagangan, penimbunan, serta penipuan. Islam juga akan menghilangkan segala bentuk campur tangan pihak lain dalam penetapan harga. Sebab, Islam mengharamkan adanya monopoli perdagangan, penimbunan dan semisalnya yang menyebabkan kenaikan harga pangan. Hanya negara sajalah yang menguasai rantai pasok pangan sehingga mampu me-riayah dan menyejahterakan seluruh rakyatnya. Hal ini pun didukung dengan penegakan sanksi secara tegas sesuai syariat Islam dan untuk menjalankan pelaksanaan pengawasan ini, negara akan mengangkat sejumlah kadi hisbah.
Dengan demikian, jika negara masih menerapkan sistem kapitalisme maka tradisi menjelang ramadan tidak akan pernah berakhir. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara sempurna, kesejahteraan masyarakat bisa diraih, harga komoditas pangan dalam tahap harga yang wajar, sehingga masyarakat tidak menjadikan ramadan sebagai momok yang menakutkan dan kaum muslimin pun fokus untuk memperbanyak ibadah. Wallahu alam bish shawwab. [PUT]
0 Komentar