(Aktivis Dakwah Nisa Morowali)
Anggota Fraksi PSI tersebut berpendapat bahwa Langkah yang lebih tepat jika ingin melindungi keluarga adalah dengan merevisi Perda No. 8 Tahun 2011 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Perda tersebut dianggap sudah tak relevan dan tidak cukup kuat untuk melindungi perempuan sebagai pihak yang sangat rawan menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Disisi lain, PJ Gubernur Teguh Setyabudi menguraikan terkait Pergub No.2 tahun 2025 yang mendapat respons berupa kegaduhan dari masyarakat setempat. Menurutnya, Pergub tersebut tidak bisa ditafsir hanya separuh dan harus dibaca secara utuh. Dalam Pergub tersebut menjelaskan terkait tata cara pemberian izin pernikahan dan perceraian pada Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam peraturan tersebut ASN pria diizinkan berpoligami dengan mengantongi syarat wajib. Adapun syarat wajib yang ditetapkan yaitu istri yang terdapat cacat, mengalami sakit yang tidak bisa disembuhkan, istri tidak mampu menjalankan kewajibannya, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah 10 tahun menikah.
Teguh dengan tegas mengatakan bahwa Pergub ini adalah cara untuk memperketat aturan perkawinan serta dapat menjaga keluarga ASN, terkait berita viral yang menitikberatkan peraturan ini mendukung poligami bukanlah bagian dari semangat mereka.
Bolekah Poligami Dibatasi Oleh Manusia dengan Syarat?
Jika kita menelisik kembali terkait penerbitan Pergub No.2 Tahun 2025 DKI Jakarta, terkait prosedur pemberian izin perkawinan dan perceraian bahwa peraturan ini dinilai bukanlah hal yang baru. Peraturan ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang diubah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 terkait Izin Perkawinan dan Perceraian untuk ASN. Chaidir selaku Kepala Badan Kepegawaian Daerah Provinsi DKI Jakarta memaparkan bahwa Pergub ini merinci aturan-aturan dalam pengajuan perkawinan dan perceraian. Sebab di lingkungan Pemprov DKI Jakarta jumlah ASN terbilang besar sehingga membutuhkan pengaturan yang keras.
Secara garis besar, kita dapatkan bahwa Pergub ini memberikan Batasan-batasan untuk ASN pria yang hendak berpoligami dan menentukan kondisi tertentu untuk mengantongi persetujuan. Begitu pula terkait perceraian. Apabila ada pelanggaran yang terjadi dalam mekanismenya maka ASN tersebut akan mendapatkan sanksi.
Fakta tersebut ternyata tidak sepenuhnya sesuai dengan syariat sebab pelaksanaannya masih memberikan syarat-syarat alternatif dalam eksekusinya. Poligami adalah syariat yang dihalalkan Allah dan merupakan pilihan. Pilihan maksudnya adalah tidak diwajibkan.
Dalam pandangan Islam, mengantongi izin istri untuk menikah lagi bukan bagian dari syarat sahnya pernikahan. Namun Lebih baik jika memberitahu istrinya. Poligami bukanlah perkara remeh yang semua pria mampu memaknai dan menjalankannya dengan benar, adil dan tidak menyakiti salah satu di antaranya. Seorang dengan pemikiran yang mustanir (cemerlang) akan menyinkronkan antara fakta, maklumat dan apa yang dia Indera untuk mengambil Keputusan.
Karena itu, terkait poligami adalah syariat dari Allah yang diberi kesempatan kepada manusia (pria) untuk memilihnya. Namun, seorang muslim selalu tahu bahwa konsekuensi dari pilihan adalah pertanggungjawaban. Poligami merupakan beban yang begitu berat sebab begitu sulitnya menciptakan harmonisasi di antara mereka.
Selain isu terkait hijab, isu poligami juga menjadi senjata yang dilayangkan para liberalis dan pegiat gender (feminis) untuk menyerang Islam dengan alibi membela para muslimah. Namun sungguh sedih, ketika pendapat tersebut berasal dari orang-orang yang mengakui Allah sebagai Tuhannya namun masih memilih-milih hukum Tuhannya. Mengakui Rasulullah namun tebang pilih pada syariat yang baginda Rasulullah bawakan.
Poligami Bagian dari Syariat
Sebagai seorang muslim maka wajib baginya untuk menerima hukum dari Allah secara kaffah. Poligami merupakan syariat yang dibawa oleh Rasulullah maka wajib bagi kita untuk membenarkan bahwa poligami merupakan bagian dari ajaran Islam. Poligami adalah memiliki istri lebih dari satu
Setelah ibunda Khadijah wafat, Rasulullah menempuh babak baru dalam periode dakwahnya. Rasulullah hijrah ke Yastrib untuk mendirikan Negara Islam di sana. Pada periode inilah menuntut Rasulullah untuk berpoligami. Dalam buku “Sirah Nabawiyah Sisi Politis” yang disusun oleh Muh. Rawwas Qal’ahji menjabarkan terkait hikmah poligami yang dilakukan oleh Rasulullah.
Pertama, seluruh Kehidupan Rasulullah adalah hal yang wajib diteladani oleh kaum muslim. Sebab semua kehidupannya adalah bagian dari sunah yang akan sangat rugi bila diabaikan. Sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Al-Ahzab ayat 21:
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”
Berkaitan dengan hal ini, maka orang yang paling paham terkait kehidupan khusus Rasulullah adalah orang terdekatnya (Istrinya). Mereka para istri Rasulullah menyampaikan kehidupan Rasulullah dan menjadi sumbu peraturan dakwah di barisan para muslimah.
Kedua, para istri Rasulullah merupakan cerminan karakter individu di bumi. Sehingga Rasulullah mampu menyampaikan teladan kepada para sahabat dan kaum mukmin saat itu bagaimana bergaul dengan tipe-tipe manusia di bawah peraturan Islam
Ketiga, awal mula berdirinya negara Madinah menimbulkan gejolak dari musuh-musuh kaum mukmin. Tidak hanya pergolakan dari suku Quraisy tapi juga dari suku-suku lain yang ada di Makkah. Maka hikmah dari poligami ini adalah untuk meredam dan meminimalisasi musuh. Sebab, orang-orang Arab menamai diri mereka Al-Ahma (para pelindung). Mereka memiliki kewajiban untuk melindungi anggota sukunya termasuk orang-orang yang telah menikah dengan anggota sukunya tersebut.
Oleh sebab itu, dapat kita simpulkan bahwa hikmah poligami yang dilakukan oleh Rasulullah adalah untuk sesuatu yang besar, atas tuntutan akidah, dan dipilih dengan proses berpikir cemerlang, serta siap untuk menerima konsekuensi atas pilihannya. Pernikahan tersebut untuk kemaslahatan orang banyak, demi dakwah, dan mengokohkan pondasi negeri yang baru di bangun saat itu. Wallahu'alam bissawwab.[PUT]
0 Komentar