(Aktivis Muslimah)
Suara Penolakan dari Berbagai Lapisan Masyarakat
Berbagai reaksi penolakan dari masyarakat muncul terkait kenaikan PPN, seperti yang dilakukan kalangan mahasiswa pada Jumat (27/12/2024). Aliansi mahasiswa yang tergabung dalam BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Seluruh Indonesia (SI) menggelar aksinya di samping Patung Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat, dilansir KONTAN.co.id, Senin (30/12/2024). Mereka membawa sejumlah poster yang berisi aspirasi dan tuntutan. Penolakan serupa juga disampaikan dengan sebuah petisi. Sebanyak 197.753 orang telah meneken sebuah petisi yang berisi penolakan terhadap kenaikan PPN menjadi 12 persen. Inisiator petisi, Bareng Warga menyatakan bahwa kenaikan tersebut diberlakukan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sedang terpuruk.
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) saja angka pengangguran terbuka masih di kisaran 4,91 juta orang. Sisanya sebagian besar bekerja di sektor informal yatu sekitar 83,83 juta orang. Selain hal itu, kenaikan PPN tentu akan berdampak pada harga produk makanan dan minuman olahan yang harus dibayar konsumen. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman. Setiap kenaikan PPN 1 persen akan memicu kenaikan di tiap rantai pasok produksi makanan dan minuman olahan sehingga akan picu kenaikan harga yang harus dibayar konsumen.
Pendapat yang sama juga dilontarkan Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta. Kebijakan PPN naik jadi 12% di tahun 2025 berpotensi jadi boomerang bagi pemerintah. Sebab, pada ujungnya kenaikan PPN akan menggerus penerimaan negara. “Bagi produsen, kenaikan PPN ini akan mengganggu cashflow perusahaan. Karena perusahaan harus membeli bahan baku, yang tentunya kena PPN juga. Artinya, menambah beban di seluruh rantai nilai di tengah kesulitan cashflow yang sedang dialami sektor manufaktur kita,” kata Redma kepada CNBC Indonesia, Senin (25/12/2024). “Pada akhirnya biaya tambahan itu akan ditanggung konsumen”, tambahnya.
Tidak jauh berbeda yang disampaikan oleh para pengusaha di bidang perhotelan dan pariwisata. Menurut Maulana Yusran selaku Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), kebijakan tersebut tidak tepat waktu dan berpotensi mengancam pemulihan sektor hotel dan restoran yang masih berjuang pascapandemi Covid-19. Kenaikan PPN akan berdampak pada tarif kamar hotel dan harga yang harus dibayarkan konsumen restoran karena hotel dan restoran memiliki rantai pasok yang begitu banyak seperti bahan makanan dan kebutuhan dasar lainnya. Karena itu dia meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali agar kebijakan ini tidak kontraproduktif terhadap pemulihan ekonomi. Apalagi kenaikan PPN ini bisa melemahkan sektor pariwisata yang menjadi salah satu penggerak ekonomi nasional, dilansir cnbcIndonesia.com, Senin (25/12/2024).
Meski pemerintah telah mengumumkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sebesar 6,5 persen dari UMP dan UMK dari tahun lalu namun para buruh juga ikut menolak kenaikan PPN menjadi 12%. Pasalnya, kenaikan tersebut akan menekan daya beli, mengancam keberlangsungan usaha, memicu risiko PHK dan juga memicu kesenjangan sosial. Hal tersebut disampaikan Presiden KSPI sekalgus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal. Sementara itu menurut Dr Ir Arman Hakim Nasution MEng yang saat ini menjabat dosen sekaligus Kepala Pusat Kajian Kebijakan Publik Bisnis dan Industri Institute Teknologi Sepuluh November (ITS), kenaikan PPN akan memicu adanya inflasi di masa mendatang. Ketika masyarakat dan pelaku usaha memperkirakan harga akan terus naik, mereka akan cenderung menaikkan harga jual produknya lebih awal. Sehingga mempercepat terjadinya inflasi di Indonesia.
Pajak: Pungutan “Wajib” Yang Menjadi Beban Masyarakat
Kenaikan pajak di tengah sulitnya kondisi ekonomi saat ini, menunjukkan bahwa pemerintah tidak berpihak pada rakyat. Pajak dalam sistem sekarang (kapitalisme) adalah salah satu pendapatan utama negara. Pemerintah menganggap bahwa kebijakan menaikkan pajak adalah salah satu strategi untuk meningkatkan APBN yang akan bermanfaat di kemudian hari. Padahal, hal ini sangat membebani rakyat bahkan bisa disebut sebagai bentuk ketidakadilan penguasa pada rakyatnya. Ketika pajak menjadi sumber pendapatan utama negara maka secara otomatis rakyat membiayai sendiri kebutuhannya akan berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya, negara tidak berperan sebagai pengurus rakyatnya. Rakyat hanya dijadikan sebagai obyek yang bisa menghasilkan sesuatu yang menguntungkan negara, menjadikan mereka sebagai sasaran berbagai pungutan sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara. Sedangkan negara berperan sebagai fasilitator dan regulator saja. Mereka hanya melayani kepentingan para pemilik modal.
Berbagai pungutan yang bersifat “wajib” itu adalah perbuatan zalim dan menyengsarakan rakyat, karena pungutan itu tidak memandang kondisi ekonomi rakyat. Namun mirisnya, pemerintah masih bisa memberikan insentif fiskal untuk mengkompensasi kenaikan tarif PPN kepada korporasi besar, (cnbc.com, 16/12/2024). Alasannya adalah untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar dengan asumsi bahwa jika investasi itu bisa membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat. Padahal kenyataannya ibarat panggang jauh dari api, apa yang disampaikan faktanya tidak seperti itu.
Islam, Solusi Tepat Tingkatkan Kesejahteraan Rakyat
Dalam Islam, kesejahteraan rakyat adalah prioritas utama negara. Hal itu melingkupi berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan hal lainnya. Dalam pemenuhannya, negara tidak akan menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama karena Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam.
Pertama, dari kepemilikan umum yaitu hasil pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dalam Islam, sumber daya alam akan dikelola sendiri oleh negara, tidak akan diserahkan kepengurusannya kepada pihak swasta apalagi asing. Kedua, adalah berasal dari kepemilikan negara yang didapat dari: zakat,jizyah, kharaj, ghanimah, fai’, ushr, rikaz.
Dengan berbagai sumber pendapatan di atas juga dengan pengaturan sistem politik dan ekonomi Islam, maka negara akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu. Hak rakyat adalah mendapat pelayanan yang baik dari negara dengan basis jasa sosial, kualitas terbaik, tidak perlu dipungut biaya, apalagi pajak. Karena Allah SWT, Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan menetapkan hubungan ri’ayah (pelayanan). Rasulullah Saw, bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in dan ia bertanggung jawab (pengurus rakyat) ata pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari). Wallahu’alam Bishowab.[PUT]
0 Komentar