(Aktivis Dakwah Nisa Morowali)
Dalam pelantikan tersebut Prabowo menyampaikan di dalam pidatonya yang menyinggung beberapah hal, mulai dari potensi ancaman dan tantangan ke depan bagi Indonesia, upaya memerangi korupsi, mengajak konsolidasi seluruh komponen bangsa buat bersama-sama mewujudkan cita-cita Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sampai janji buat terus memperjuangkan kemerdekaan Palestina. (Kompas.com, 20-10-2024).
Tantangan Indonesia ke depan
Setelah proses panjang Indonesia kini menyambut pemimpin baru Presiden terpilih ini diharapkan membawa angin perubahan, membawa visi yang segar, serta menjawab tantangan besar yang dihadapi bangsa saat ini, mulai dari ekonomi, politik, hingga lingkungan. (Kompas.com, 20-10-2024).
Pemerintahan Indonesia di masa depan akan menghadapi berbagai tantangan yang kompleks dan multidimensional, baik dari segi ekonomi, politik, sosial, maupun lingkungan. Beberapa tantangan tersebut di antaranya, pertama, ketimpangan sosial dan ekonomi.
Meskipun Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan, ketimpangan antara yang kaya dan miskin masih menjadi masalah yang serius. Wilayah perkotaan sering kali mendapatkan lebih banyak akses ke layanan publik, infrastruktur, dan peluang ekonomi dibandingkan dengan daerah pedesaan atau terpencil.
Janji Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen di Indonesia merupakan target ambisius yang memerlukan usaha besar dari berbagai sektor. Meskipun hal ini mungkin dicapai dengan kebijakan dan tepat menurutnya, ada sejumlah hambatan dan tantangan yang harus diatasi.
Saat ini ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor komoditas, seperti batu bara, minyak sawit, dan mineral. Fluktuasi harga komoditas di pasar global mempengaruhi stabilitas ekonomi nasional, dan penurunan harga komoditas dapat berdampak negatif pada ekspor dan penerimaan negara.
Selain itu tantangan untuk pertumbuhan ekonomi ini yaitu infrastruktur dan sumber daya manusia. Indonesia masih menghadapi masalah kualitas SDM yang tidak merata, dengan rendahnya pendidikan dan keterampilan di beberapa wilayah. Tingkat literasi digital dan keterampilan kerja di sektor-sektor teknologi dan industri juga masih rendah. Ini menjadi hambatan dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional. (Antara Politik, 20-10-2024 )
Pemimpin baru dalam bingkai demokrasi , Apakah efektif?
Pergantian pemimpin dianggap sebagai harapan baru adanya perbaikan ke arah yang lebih baik. Dalam anggapannya, keberhasilan berada pada individu pemimpin. Padahal selama sistem masih sama, yaitu demokrasi kapitalisme tidak akan mengalami perubahan. Pasalnya sistem yang diterapkan ini adalah sistem yang cacat sejak lahir, sistem yang rusak dan merusak. Berbagai problem didunia saat ini, adalah akibat buruk penerapan sistem ini.
Berbeda dengan halnya dengan Islam, di dalam Islam kepemimpinan atau kekuasaan memang berperan sentris bagi sebuah negara. Karena begitu pentingnya Allah Swt. mengajarkan kepada Rasulullah saw. suatu doa agar beliau diberi kekuasaan. Tentu bukan sembarang kekuasaan,Akan tetapi kekuasaan ini bisa digunakan untuk menolong agama Allah . Sebagaimana firman Allah SWT :“Katakanlah (Muhammad), ‘Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar, dan keluarkanlah (pula) aku dengan cara keluar yang benar, serta berikanlah kepada diriku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (agama Allah).’ (QS Al-Isra [17]: 80).
Pertanggungjawaban Berat di Akhirat
Dalam Islam, amanah menjadi seorang pemimpin sejatinya merupakan sesuatu yang sangat menakutkan. Pasalnya, selain harus menanggung amanah dan tanggung jawab kepada rakyat di dunia, seorang pemimpin juga harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kelak di hadapan Allah Taala. Oleh sebab itu dalam Islam, siapa saja yang diberi amanah dan tugas kepemimpinan haruslah seseorang yang senantiasa menyadari akan beratnya pertanggungjawaban atas kepemimpinan itu di hadapan Allah Swt. di akhirat kelak. Kesadaran ini sangat penting. Sebab, jika rasa takutnya hanya kepada Allah, amanah kepemimpinan akan dijalankan sebaik mungkin dan tidak mungkin mereka semana-mena dalam menjalankan kekuasaan. Berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan yang marak terjadi saat ini tidak lain karena para pemangkunya seolah tidak memiliki rasa takut kepada Allah Swt. akan pertanggungjawaban mereka di hadapan-Nya kelak di akhirat. Sesungguhnya Rasulullah saw. telah menegaskan, “Sungguh kalian akan berambisi terhadap kekuasaan, padahal kekuasaan itu bisa berubah menjadi penyesalan pada Hari Kiamat kelak.” (HR Al-Bukhari).
Oleh karena disepanjang era kekhalifahan Islam, tidak sedikit yang enggan dipilih dan dibaiat menjadi khalifah. Jika pun pada akhirnya umat atau rakyat tetap memilih dan membaiat mereka sebagai khalifah, mereka amat terbebani dengan beratnya amanah yang mereka emban itu. Mereka pun amat khawatir atas pertanggungjawaban kepemimpinan mereka di akhirat kelak di hadapan Allah Swt., padahal mereka adalah orang-orang yang saleh, adil, dan amanah. Di antara mereka bahkan termasuk para sahabat Nabi saw. yang terbaik. Mereka pun menjalankan sistem pemerintahan Islam yang berdasarkan akidah Islam dan hanya menerapkan syariat Islam dalam menjalankan pemerintahannya. Namun demikian, mereka tetap amat khawatir. Khalifah Umar bin Khaththab ra., misalnya, dengan penuh rasa khawatir pernah berkata, “Sungguh, andai ada seekor domba mati dalam keadaan terbuang di tepi Sungai Eufrat (di Irak), aku sangat khawatir bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meminta pertanggungjawaban diriku atas hal itu pada Hari Kiamat kelak.” (Abu Nu’aim al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ’, 1/53).
Sebelumnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., sesaat setelah dibaiat sebagai khalifah, karena khawatir menyimpang dalam menjalankan pemerintahannya, pernah berkata, “Sungguh aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Oleh karena itu, jika aku berbuat baik, bantulah aku. Jika aku berbuat salah, luruskanlah aku.” (Lihat: Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 5/248; Ibnu Badis, Âtsar Ibni Bâdîs, 2/401).
Pada era setelahnya, Umar bin Abdul Aziz ra. saat menjadi khalifah, juga pernah berdoa dengan penuh kekhawatiran, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari memikul tugas yang tidak sanggup aku pikul ini atau aku diserahi urusan ini, lalu aku menyia-nyiakannya.” (Ibnu al-Jauzi, Shifat as-Shafwah, 2/92).
Demikianlah, betapa besar kekhawatiran para pemimpin Islam atau para khalifah pada masa lalu atas amanah kepemimpinan dan pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. kelak di akhirat. Tidak aneh jika mereka benar-benar menjalankan amanah kepemimpinan mereka dengan sebaik-baiknya. Tentu agar kekuasaan atau kepemimpinan yang mereka emban di dunia ini tidak berubah menjadi penyesalan di akhirat kelak. Bagaimana dengan para pemimpin saat ini? Wallahu'alam bissawwab.
0 Komentar