Subscribe Us

GALERI JALANAN BU FATMAWATI

Oleh Tachta Rizqi Yuandri

Vivisualiterasi.com-Bila para seniman memamerkan karya seninya pada sebuah galeri yang artistik, maka Bu Fatmawati (39) menyajikan hidangannya pada warung sederhana. 

Namun, meski sederhana dan berbagi tempat dengan bengkel yang dijalankan suami dan anak sulungnya, tapi saya, istri, anak-anak, termasuk para santri sudah 'main hati' sama masakannya Bu Fatmawati.

Dari pemilihan belanja bahan baku, Bu Fatmawati jauh-jauh belanja ke Pasar Baruga dari lokasi warungnya di Jalan Kancil. Semuanya demi hasil terbaik untuk mahakaryanya, tela-tela, nugget ikan, pangsit, dan siomay. 

Dari A sampai Z semuanya dikerjakan oleh ibu dari 3 orang anak itu. Hasilnya, kualitas terjaga, baik dari sisi kebersihan dan rasa. Totalitas dipertahankan sampai akhir ketika penyajian.

Perkara menggoreng pun Bu Fatmawati memilih 'tega' mempersilakan pembeli menunggu lama ketimbang menggoreng terburu-buru. Memang, pengalaman tidak pernah bohong. Bagaimanapun situasinya, ibu ini tetap ramah dan tenang.

Hasilnya, hangat santapan merata hingga ke bagian dalam makanan. Soal rasa jangan ditanya, kombinasi dari totalitas dalam pemilihan bahan baku dan kelihaian meracik adonan tidak mengkhianati aroma dan kelezatan masakannya.

Segar bahan bakunya, garing di luar, hangat di dalam, enak rasanya. Apalagi sudah dicelupkan ke sambalnya, bisa pilih ada pedas dan manis. Belum cukup, bisa tambah lagi kecap supaya lebih lahap. 

Mau di Atas atau di Bawah

Pertama kali dalam hidup saya, seorang pembuat pop ice bertanya demikian. Kalau anak-anak, lebih suka topping-nya ditaruh di atas. Akan tetapi ada juga sebagian orang yang lebih suka bahan untuk topping ditaruh di dasar gelas, supaya rasanya bisa tercampur. Semuanya tergantung selera.

Nah terakhir, yang terdengar sepele padahal penting adalah konsistensi pelayanan. Warungnya disiplin buka sejak sekitar jam 6 pagi hingga kira-kira saja sendiri. Maksudnya, warung tutup sengantuknya si ibu. Mungkin sekitar jam 11 malam, saya belum pernah datang di atas jam 10 malam.

Saya pribadi, paling enak nongkrong di sana malam-malam sehabis melatih berkuda para santri. Pop ice cappuccino satu, gorengan lima, dan rokok secukupnya. Semuanya (rokok bawa sendiri) tidak lebih dari Rp 10.000. Selain saya, banyak juga jemaah Masjid Nur Hijrah yang sering membeli dagangannya.

Biasanya, tidak lama kemudian, istri saya mengantar makan malam ke warung si ibu. Setelah itu, giliran saya memesankan makanan untuk santri. Bukan dari duit saya, tapi para donatur yang kadang menitipkan uang kepada saya buat jajan para santri.

Nah, saya kontak lewat handie talkie supaya santri ambil titipan untuk mereka. Setelah itu, saya pulang bareng sama santri. Sambil ngobrol-ngobrol bagaimana keseharian mereka di pondok. Biasanya 2 sampai 3 santri saja yang menemani, setiap hari bergantian.

Adakah gaya hidup yang lebih mewah dari itu? Yang lebih mahal banyak.[Elz]

Jl. Kancil
https://maps.app.goo.gl/WqNtFD7ncBoBNep89?g_st=ac

Posting Komentar

0 Komentar