Subscribe Us

SERTIFIKASI HALAL ALA KAPITALISME, MENENANGKAN ATAU MERESAHKAN?



#Popro (Pojok Propagandis)


Vivisualiterasi.com - Belakangan ini publik dihebohkan dengan beredarnya video berisi adanya produk yang mengandung nama "tuyul", " tuak", "beer" dan "wine" yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (www.kumparan.com).

Meski BPJPH Kemenag telah mengonfirmasi bahwa produk-produk tersebut sudah dipastikan halal secara zatnya, sertifikasi dengan model seperti ini akan membingungkan masyarakat. Inilah model sertifikasi yang terjadi di negara yang menerapkan sistem sekular-kapitalisme. Nama tidak jadi soal, asalkan zatnya halal. Padahal berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan, persoalannya adalah halal dan haramnya suatu benda, yang dalam Islam merupakan hal prinsip. Dalam kapitalisme, sertifikasi menjadi ladang bisnis, apalagi ada aturan batas waktu sertifikasi yang harus diperbaharui setiap 2 tahun. 

Islam memiliki aturan tentang benda atau zat yaitu halal dan haram. Kaidah ushul fiqih menyatakan, "Hukum asal suatu benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.". Khamr dalam Islam hukumnya haram. Negara Islam wajib menjamin kehalalan benda yang dikonsumsi manusia, karena negara adalah pelindung agama rakyat. Sertifikasi halal adalah salah satu layanan atau mekanisme yang diberikan oleh negara, dengan biaya murah bahkan gratis. Negara wajib memastikan kehalalan dan kethayyiban setiap benda, makanan dan minuman yang akan dikonsumsi manusia. Negara akan menugaskan para Qadhi Hisbah untuk melakukan pengawasan rutin ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan ataupun pabrik. Para qadhi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase. Ini semua hanya akan terjadi jika Negara menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan. (Fida H. Nudiya, S. Pt / Aktivis Dakwah Muslimah)

Posting Komentar

0 Komentar