Subscribe Us

BANJIR, APAKAH KOLAM RETENSI SOLUSINYA?

Oleh Rismayanti
(Aktivis Dakwah)

Vivisualiterasi.com-Kolam retensi yang dibangun Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menghabiskan biaya sebesar 141 miliar rupiah. Kolam ini dibangun di daerah Andir, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Genangan air ini sering terjadi di titik-titik padat industri yang berdekatan dengan Sungai Citarum, seperti Baleendah dan Dayeuhkolot. Kolam ini dibangun dikarenakan pada musim penghujan sering terjadi banjir dan menyebabkan genangan air yang mengakibatkan terganggunya aktivitas masyarakat. Dengan dibangunnya kolam retensi diharapkan penyerapan air lebih cepat. Itu karena kolam retensi diyakini sebagai infrastruktur penyerap air yang dibangun untuk mereduksi banjir pada daerah tertentu.
Sangat disayangkan, faktanya pembangunan kolam retensi ini hanya sedikit menyelesaikan masalah banjir. Sebabnya, yang demikian baru bisa mengantisipasi banjir di sebagian wilayah yang terdampak. Artinya, hanya wilayah sekitar kolam retensi saja. Faktanya wilayah Dayeuhkolot misalnya, masih juga sering dilanda banjir. Selain wilayah tersebut sering terjadi banjir, genangan air akibat curah hujan pun tinggi, serapan air kurang memadai yang dikarenakan terjadinya alih fungsi lahan yang masif dilakukan oleh oligarki. Untuk pembangunan perumahan, toko, tempat pariwisata, industri, dsb.

Mirisnya, semua itu mendapat payung hukum berupa izin dari pemerintah setempat. Maraknya pembangunan yang tidak diiringi dengan efek kelanjutan pada lingkungan sekitar mengakibatkan hilangnya ruang terbuka hijau dan daerah resapan air. Walhasil, air yang terserap semakin kecil. Andaipun ingin menyolusikan dengan pembuatan gorong-gorong dan kanal-kanal, maka akan sulit pelaksanaannya karena sebagian besar tanah sudah berganti menjadi aspal dan beton.

Faktor di atas pun diperparah dengan pola hidup masyarakat bawah yang cenderung tidak memiliki cukup akses untuk membuang sampah pada tempat yang semestinya. Ditambah kurangnya edukasi sehingga mereka tak jarang yang membuang sampah bukan pada tempatnya. Hal demikian mengakibatkan menumpuknya sampah di sungai dan got-got, sehingga menghalangi saluran air dan menyebabkan air meluap.

Sudah semestinya bahwa pembangunan dilihat pada titik-titik yang menyebabkan banjir dengan cara menganalisis sebelum, ketika, dan pascabanjir sehingga lebih efektif dan efisien dalam pembangunan kolam retensi bila diperhatikan dari hulu hingga hilir. Terlebih dana yang digelontorkan nilainya begitu fantastis. Tetapi apabila dilihat dari sistem kapitalisme yang diterapkan sekarang ini, rasanya sulit untuk mendapatkan penyelesaian tuntas.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sistem kapitalisme hanya mengutamakan asas manfaat tanpa memikirkan kemaslahatan bagi masyarakat. Jikapun diprogramkan strategi dan solusi, kerap hanya bersifat tambal-sulam dalam menyelesaikan masalah.

Jelas, dapat kita pahami bahwa bencana banjir yang terjadi merupakan ulah tangan manusia. Itu karena sistem kapitalisme telah melahirkan individu-individu yang serakah dan hanya mengedepankan peraihan materi. Kaum kapitalis khususnya, hanya menjadikan bumi dan isinya sebagai alat komoditi, bukan untuk kemaslahatan masyarakat pada umumnya. Asas manfaat tidak lepas dari sistem ekonomi yang diemban. Satu di antaranya adalah diizinkannya pembangunan-pembangunan yang tidak mengindahkan lingkungan sekitar, meski taruhannya rusaknya ekologi serta keselamatan masyarakat secara umum dengan potensi banjir yang terus mengintai.

Selain itu, asas dari kapitalisme adalah sekularisme. Dimana aturan agama dijauhkan dari kehidupan. Lahirlah individu-individu yang tidak sadar akan kebutuhan dan pola hidup sehat, seperti buang sampah pada tempatnya. Padahal itu bagian dari arahan agama. Sebab perkara yang dapat me- mudarat -kan itu termasuk perbuatan dosa.

Semua hal di atas sungguh diakibatkan oleh paham sekuler yang saat ini diterapkan. Ia memisahkan agama dari kehidupan, sehingga masyarakat hanya paham agama dari sisi urusan ibadah mahdah yang bersifat individual saja.

Allah berfirman dalam Q.S. Ar-Rum ayat 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan  mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Kesalahan cara pandang dalam memperlakukan alam sungguh akan berimbas kembali pada manusia. Pola pikir inilah yang harus dibangun.
Sistem kapitalisme sekulerlah biang kerusakannya. 
Berbeda dengan tata kelola masyarakat dan lingkungan dalam sistem Islam. Islam memandang sejatinya hujan merupakan anugerah dari Sang Pencipta. Jadi, mustahil anugerah berdampak bencana apabila manusia mengelola alam ini sesuai fitrahnya. Maka dari itu, syariat Islam melalui pemerintah yang menerapkannya tidak akan memberi izin pembangunan di wilayah penyerapan air. Terlebih hal tersebut hanya diberikan kepada segelintir orang yang memiliki kepentingan khusus yang akan berdampak merusak lingkungan dan bisa membahayakan semua pihak.

Islam juga memerintahkan kepada penguasa untuk mengantisipasi terjadinya hal yang me- _mudarat_ -kan alam dan masyarakat. Dalam persoalan banjir, langkah antisipatif dapat dikerjakan dengan pembuatan kolam-kolam retensi, bendungan-bendungan, kanal-kanal, dsb. Pekerjaannya pun dilakukan dengan sangat baik terlebih menyangkut urusan rakyat. Semua ini merupakan buah keimanan dan ketakwaan setiap diri individu dan juga sebagai bentuk kesungguhan dalam mempelajari sunatullah dan menggunakan teknologi yang tepat dalam mengelola serta mengatasi bencana banjir.

Demikianlah gemilangnya sistem Islam apabila diterapkan di muka bumi ini. Maka, sudah saatnya kita kembali kepada aturan Sang Khaliq dengan menerapkan Islam secara kafah.[Irw]


Posting Komentar

0 Komentar