(Pengajar Rumah Tahfidz Pasuruan)
Lihat saja, jagat perpolitikan tengah ramai memperbincangkan perkembangan dinasti Presiden Jokowi. Presiden RI yang hendak lengser ini diisukan tengah membangun dinasti, menempatkan anak-anaknya di posisi strategis pemerintahan, sehingga meski lengser, dinasti Jokowi tetap berdiri.
Kekuatan yang ditampilkan oleh kubu pro-Jokowi makin kesini, memang makin nampak kekuatannya. Sebut saja isu mundurnya Airlangga Hartanto dari posisi Ketum Golkar menjadi berita yang ramai diperbincangkan. Airlangga Hartanto diberitakan mendapat tekanan politik yang cukup kuat dari pihak Jokowi sehingga lebih memilih untuk mundur dan manut apa kata Presiden. Ini satu contoh saja, masih terdapat beberapa hal lain yang mengindikasikan tim Jokowi semakin menguat.
Isu-isu ini membuat beberapa politisi berbalik arah, yang semula di pihak oposisi, kini merapat berharap jadi koalisi. Hal ini pada akhirnya menguliti wajah asli beberapa partai.
Salah satu partai yang cukup disorot adalah PKS. Manuver PKS yang akhirnya mengundurkan diri dari dukungannya kepada pencalonan Anies Baswedan di Pilkada DKI dengan berbagai macam alasannya dan mulai merapat ke kubu Jokowi dinilai tak etis. Nampak bagaimana PKS berusaha keras agar bisa diterima di kubu yang "pasti menang".
Selain itu, PDIP yang saat ini sudah "bercerai" dengan Jokowi pun berusaha membangun taktik bagaimana menjegal lawannya agar tidak semakin besar kekuasaannya. Sangat jelas dan vulgar bahwa yang mereka kejar adalah jabatan kekuasaan. Menjadi oposisi karena kursi politik, bukan karena tidak pro dengan kebijakan-kebijakan lawan yang semakin menyengsarakan rakyat.
Di sisi lain, rakyat semakin tersakiti kala mengetahui ormas-ormas juga ikut-ikutan berebut kue kekuasaan. Mendapat porsi kuasa tambang yang seharusnya menjadi kepemilikan umum, bukan kepemilikan ormas-ormas tertentu.
Di mana Posisi Rakyat?
Elit Politik terlalu sibuk dengan urusan bagi-bagi kursi. Lalu, di mana mereka letakkan urusan rakyat? Di pikiran? Di hati? Atau tidak sama sekali? Ya, sesungguhnya rakyat jelata pun sudah tahu jawabannya.
Memang beginilah demokrasi, harga kursinya mahal sekali, sehingga membuat orang yang ingin memiliki sampai berebut sana-sini.
Bermain dalam pesta demokrasi-kapitalisme itu mahal modalnya, sehingga yang menjalani pun termindset "harus balik modal dengan keuntungan yang sebesar-besarnya". Cara ampuh untuk meraihnya apalagi kalau bukan dengan jalan "wajib mendapat kekuasaan". Tak heran, rakyat "dikuasai" para politisi, bukan diayomi. Kalau mengayomi itu, yang diayomi ada di pikiran dan hati. Mau balik modal, tidak balik modal, rakyat diurusi sampai sejahtera, bukan sampai sengsara apalagi sekarat.
Move On Ke Sistem Islam
Demokrasi-kapitalisme bukan satu-satunya sistem di dunia ini yang bisa diadopsi sebuah negara untuk menjadi sistem aturannya. Selain demokrasi-kapitalisme, ada sosialisme-komunisme dan juga sistem Islam.
Move on ke sistem Islam tidak akan menjadikan bangsa Indonesia berubah menjadi bangsa lain. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Muhammad Choirul Anam dalam bukunya yang berjudul "Cinta Indonesia, Rindu Khilafah" bahwa negara dan bangsa adalah 2 hal yang berbeda. Negara, bentuk kenegaraan dan aturannya bisa berubah. Sedangkan bangsa, tidak bisa berubah. Sebab bangsa adalah kumpulan manusia yang biasanya memiliki kesamaan asal-usul, keturunan, sejarah, adat, bahasa, daerah, dan kebudayaan. Berarti berkaitan dengan asal,-muasal daerah yang itu tidak mungkin bisa diubah.
Indonesia zaman Soekarno condong ke sistem sosialisme-komunisme. Saat Soekarno lengser dan digantikan dengan Soeharto, bangsa Indonesia mulai condong ke sistem demokrasi-kapitalisme. Sebuah sistem yang dipopulerkan Adam Smith di Eropa dan sekitarnya. Namun, apakah bangsa Indonesia yang hidup di zaman Soeharto terusir dan digantikan oleh orang-orang Eropa karena berpindah ke sistem aturan demokrasi-kapitalisme?
Apakah saat zaman Soekarno bangsa Indonesia digantikan oleh bangsa Rusia atau Korea Utara karena menggunakan sistem sosialisme-komunisme? Jawabannya adalah tidak. Begitu pula jika kita berpindah dari sistem demokrasi-kapitalisme ke sistem Islam, tidak akan mengubah bangsa ini menjadi bangsa Arab. Yang diubah bukan bangsanya, tapi aturannya. Bahkan agama pun tidak dipaksakan untuk berubah.
Mari kita lihat sejarah, di zaman Rasulullah saw., saat sistem aturan Islam digunakan menjadi sistem aturan kenegaraan dengan Madinah sebagai ibu kotanya. Di wilayah negara Islam tersebut, terdapat warga negara beragama Yahudi dan Nasrani. Rasulullah tidak memaksa mereka untuk pindah agama. Hal ini terus berlangsung sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah hingga tahun 1924. Tahun dimana tidak ada lagi satu bangsa dan negara pun yang menggunakan Islam sebagai sistem aturannya.
Tinta emas sejarah telah mencatat bahwa sistem aturan Islam yang pernah dipakai selama hampir 14 abad (mulai zaman Rasulullah saw. hingga tahun 1924), rakyatnya begitu diayomi dan sejahtera. Hal-hal yang seolah bagai mimpi di zaman sekarang, dulu adalah sebuah kenyataan. Misalnya, pendidikan rakyat gratis, biaya rumah sakit gratis, biaya keamanan gratis. Sandang, pangan, dan papan murah. Lapangan pekerjaan dimana-mana.
Semua itu dulu benar-benar nyata terjadi di zaman Islam diterapkan dengan bentuk sistem pemerintahannya yang disebut Khilafah. Itu bukan mimpi, tapi nyata pernah terjadi. Berbeda dengan kapitalisme yang baru berlangsung satu abad sudah menunjukkan betapa bobroknya sistem tersebut.
Oleh karena itu, move on, yuk. Ubah aturan di Indonesia saat ini dari aturan yang berbasis demokrasi-kapitalisme menuju aturan berbasis Islam. Wallahu a'lam bishawab.[AR]
0 Komentar