Subscribe Us

ANAK KEMBALI MENJADI KORBAN KEKERASAN, ABAINYA NEGARA MENJAMIN PERLINDUNGAN

Oleh Larasati Putri Nasir
(Publisher Vivisualiterasi Media & Aktivis Dakwah Nisa Morowali)

Vivisualiterasi.com-Terus terulang! Kekerasan terhadap anak marak terjadi di negeri ini. Sebagaimana kutipan dari CNN Indonesia (23-6-2024) bahwa kasus pencabulan siswi sekolah dasar (SD) berusia 13 tahun di Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dilakukan 26 orang rata-rata anak di bawah umur alias masih berstatus pelajar.

Kasus kekerasan anak di bawah umur serupa di kabarkan oleh Kabar24.com (23-6-2024) bahwa Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang membeberkan kronologi dugaan kasus penganiayaan AM (13) oleh oknum polisi hingga tewas di Kuranji, Sumatra Barat. Dugaan penganiayaan dilakukan terhadap lima orang anak dan dua orang dewasa berumur 18 tahun. Penganiayaan itu, diduga berupa sundutan rokok, ditendang, dicambuk, hingga pemaksaan seksual.

Anak Menjadi Korban

Anak yang harusnya mendapatkan perlindungan dan keamanan namun menjadi korban kekerasan. Bak seperti tren, korban kekerasan terhadap anak  terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) menunjukkan, jumlah jenis kasus kekerasan terhadap anak mencapai 24.158 kasus yang dilaporkan sepanjang 2023. Dari jumlah tersebut, jenis paling banyak dari kasus kekerasan seksual, yakni 10.932 kasus.

Angka yang sangat fantastis dan mengejutkan. Jumlah korban kekerasan terhadap anak yang terlapor saja sudah membuat hati teriris, bagaimana dengan kasus kekerasan anak yang tidak terlapor dan terus terjadi diluar sana.

Sistem yang diterapkan hari ini menjadi penyebab utama yang membuat anak menjadi korban. Bahkan oleh para aparat yang harusnya melindungi malah justru berpartisipasi melakukan kekerasan terhadap anak. Hal ini disebabkan mulai dari tidak adanya regulasi pasti yang mampu melindungi hingga sebab faktor ekonomi.  Regulasi yang ada tak jelas dan terkesan ada sebagai bentuk formalitas, sebab banyak kasus kekerasan terhadap anak yang jelas pelakunya namun bisa lolos dari hukuman dengan banyak alasan. Itupun dibenarkan oleh hukum negara ini. Adapun faktor ekonomi ini sistem kapitalisme hari ini yang membuat ekonomi keluarga sulit, hal ini mengharuskan ibu ikut turut bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga kemudian ditambah tekanan lainnya yang membuat ibu tidak bisa menjalankan perannya untuk mendidik dan menjaga anak-anaknya.

Ilusi Solusi Penanganan Kekerasan Terhadap Anak

Kerapnya terjadi kekerasan terhadap anak ini membuktikan rapuhnya negara sebagai institusi yang berwenang mengeluarkan regulasi untuk menangani kasus kekerasan terhadap anak yang terulang terjadi. 

Telah dibuatkan aturan Pepres 101/2022 tentang Strategi Nasional  Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak didalamnya termaktub tujuh strategi yang salah satunya berbunyi penyediaan kebijakan, pelaksanaan regulasi dan penegakan hukum. Meski negara hari ini telah memiliki badan, aturan perundang-undangan atau kementerian berserta seperangkat hukum untuk menangani permasalahan kekerasan terhadap anak,namun nyatanya tidak mampu menyelesaikan masalah yang justru terus berulang dan juga meningkat.

Persoalan anak ini adalah masalah yang kompleks dan membutuhkan penyelesaian sistematis. Pendidikan keluarga, pola asuh, masyarakat dan negara berperan dalam memberikan perlindungan dan keamanan untuk anak. Regulasi yang ada baru ini tak mampu menghentikan jumlah kasus kekerasan terhadap anak, yang justru nyatanya hanya seperti aturan yang tidak dijalankan secara serius untuk menjamin perlindungan. Justru negara membela diri jika kekerasan yang terjadi pada anak sebab lalainya orang tua. Padahal perlindungan anak secara umum menjadi tanggung jawab penuh oleh negara.

Islam Melindungi Anak 

Mewujudkan perlindungan anak sesungguhnya memerlukan kerangka sistematis. Jika tanggung jawab penyelesaian masalah kekerasan terhadap anak hanya terfokus pada keluarga yang merupakan institusi terkecil dari masyarakat maka perlindungan juga keamanan untuk anak tidak mungkin terwujud. 

Maka yang bisa menyelesaikan persoalan ini adalah institusi yang lebih besar dan berwenang yaitu institusi negara Islam. Adapun yang dilakukan oleh negara untuk melindungi anak dari kekerasan:

Pertama, negara akan menerapkan ekonomi Islam. Negara akan membuka lapangan kerja yang ramah untuk para laki-laki bekerja menunaikan kewajibannya sebagai pemberi nafkah untuk keluarganya. Dari hal ini akan mendukung kembalinya peran perempuan sebagai pendidik dan pengurus rumah tangga tanpa harus terbebani persoalan ekonomi. Ibu sebagai pendidik akan mengupayakan segala hal terbaiknya untuk mendidik anak-anaknya.

Kedua, menjaga peran keluarga dan pendidikan berasas Islam. Memang keluarga dan orang tua berkewajiban menjamin terpenuhinya perlindungan, keamanan, pendidikan dan segala hal keperluannya. Orang tua bertanggung jawab dalam penanaman akidah, pembentukan pemikiran dan pemahaman tentang keimanan terhadap ketuhanan. Yang dari pola pengasuhan itu terbentuk ketakwaan dari anak dan terikat pada hukum syariat. Pola pengasuhan itu juga menyiapkan anak hingga fase kematangan kepribadian anak sampai ia baligh.

Pada usia baligh ini ia menjadi mukallaf (telah terbebani hukum), Rasulullah bersabda:

"Diangkat pena dari 3 golongan, orang gila hingga ia sadar, orang tidur hingga ia bangun dan anak kecil hingga ia baligh" (Shahih al-Jaami'ish Shaghiir 3514 Sunan At-Tirmidzi)

Selain itu, melalui sistem pendidikan negara juga akan menerapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam guna membentuk dan menanamkan nilai-nilai ketakwaan juga keimanan untuk anak.

Dengan itu anak paham dan menyadari hukum perbuatannya,sehingga anak akan menjaga setiap perbuatannya karena dia paham akan mempertanggungjawabkannya, sebab dia tahu betul akibat dari perbuatan yang dia lakukan. Sehingga akan minim terjadi anak menjadi pelaku kekerasan.

Ketiga, menjaga kondusifitas masyarakat dan menciptakan suasana masyarakat yang beramar ma'ruf nahi mungkar. Masyarakat yang bertugas sebagai salah satu pengontrol sosial bagi setiap individu mukallaf. Maka dengan ini masyarakat akan berperan mencegah tindakan kemaksiatan yang kemungkinan terjadi.

Keempat, penerapan aturan yang dijalankan oleh negara. Dalam Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang mampu mengatasi, memberi keamanan dan melindungi persoalan kekerasan terhadap anak secara sempurna. Imam adalah junnah (perisai). Sebagaimana layaknya perisai, ia bertanggung jawab penuh terhadap rakyatnya.

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud)

Adanya seorang imam atau kepala negara atau Khalifah yang menjadi junnah bagi orang yang dipimpinnya yang ia melaksanakan penerapan hukum secara utuh ini, maka ia akan menyelesaikan masalah kekerasan terhadap anak secara tuntas. Anak-anak dapat tumbuh dengan aman, menjadi calon-calon pemimpin, pejuang, dan generasi terbaik. 

Demikianlah solusi hakiki untuk menyelesaikan persoalan kekerasan terhadap anak. Anak hanya mampu terlindungi dengan diterapkannya sistem Islam kaffah dalam naungan khilafah Islam. Sebuah institusi negara yang mampu menjaga dan menyelesaikan seluruh persoalan kekerasan terhadap anak. Wallahua'lam bish-shawab.[LRS]

Posting Komentar

0 Komentar