Mengapa kaum ibu-ibu? Karena mereka dinilai mampu mengembangkan dan menciptakan produk-produk baru pada aspek pemasaran objek-objek dan destinasi wisata. Mereka mendapatkan edukasi seputar ekonomi kreatif sebagai salah satu bentuk pengembangan konsep ekonomi. Dengan ekonomi kreatif ini, potensi perekonomian diharapkan meningkat. Ide dan pengetahuan dari sumber daya manusia sangat diandalkan untuk meningkatkan ekonomi kreatif sebab ide tersebut sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya.
Contoh ekonomi kreatif yang bisa dikembangkan oleh perempuan dan kaum ibu adalah pengembang permainan, seni karya, musik, desain produk, fashion, dan kuliner. Seperti yang diberitakan di laman jogja.viva.co.id (Feb, 2024), anggota DPD RI Provinsi DIY, RA Yashinta Sekarwangi Mega, atau yang akrab disapa Yashinta yang saat itu masih menjadi caleg, memberikan berbagai pelatihan dan program pengembangan ekonomi kreatif bagi perempuan dan ibu-ibu di Yogyakarta. Ia mengatakan bahwa kegiatan tersebut akan mengarahkan masyarakat dalam mengubah limbah menjadi produk bernilai ekonomi, sekaligus membangkitkan potensi usaha mikro dan rumah tangga.
Paradigma Kapitalisme
Sistem kapitalisme telah menjadikan perempuan dihargai jika menghasilkan uang. Tagline Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (mengentaskan masalah kemiskinan keluarga) “mengubah nasib” dan “mandiri finansial” menjadi salah satu narasi yang dipakai pemerintah untuk menyukseskan proyek-proyek pemberdayaan ekonomi perempuan. Penghasilan para bapak dianggap tidak lagi bisa menutup kebutuhan hidup yang serba mahal nan mencekik, sehingga perempuan dan kaum ibu didorong untuk bergerak di sektor ekonomi.
Sistem kapitalisme juga memandang para ibu harus bangkit mengubah nasibnya. Proyek ini dijadikan sebagai proyek unggulan oleh Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atas nama peningkatan martabat perempuan di dalam masyarakat, peningkatan produktivitas ekonomi demi membangun kemandirian perempuan, sekaligus partisipasi perempuan dalam mengentaskan kemiskinan.
Topik keperempuanan ini memang berulang kali masuk dalam diskusi dan perbincangan pada forum-forum di level internasional. Selain ada wadah UN Women, pada 2015, berdiri pula kelompok kerja W20 yang merupakan engagement group dengan bertujuan mewakili suara perempuan pada KTT G20. Targetnya adalah mendorong komitmen atau mempercepat upaya negara G20 untuk mengurangi kesenjangan gender dalam partisipasi angkatan kerja hingga 25% pada 2025.
Terlebih menjelang KTT G20 yang akan datang, Indonesia di bawah koordinasi W20 akan mengangkat isu penting terutama peran perempuan, khususnya saat masa krisis pandemi, perekonomian, dan perubahan iklim. Juga soal strategi jitu nan efektif untuk menghilangkan diskriminasi dan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Misalnya saja dari aspek pemberdayaan ekonomi, pemerintah terlihat berupaya keras meningkatkan partisipasi kaum perempuan dalam UMKM. Antara lain dengan cara memberi berbagai layanan bantuan mulai dari pendanaan, pelatihan, dan pendampingan. Pada saat yang sama, berupaya meningkatkan kapasitas mereka melalui pemanfaatan platform digital.
Yang menjadi persoalan, apakah proyek pemberdayaan ekonomi perempuan akan memberi jaminan kesejahteraan atau justru berdampak menambah beban di pundak mereka, terutama pada posisinya sebagai ibu yang peran strategisnya tak bisa diabaikan.
Menjauhkan Fitrah Ibu
Pemberdayaan ekonomi perempuan dalam paradigma kapitalisme sangat berbahaya. Bagaimana tidak? Perempuan akan lebih fokus mencari uang daripada melakukan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, padahal mereka adalah ujung tombak dalam keluarga. Mereka adalah istri yang wajib merawat dan memelihara rumah tangga suaminya, ibu yang wajib mendidik anak-anaknya, pun sebagai anak wajib berbakti pada orang tuanya, hingga sebagai anggota masyarakat yang berperan aktif di dalamnya.
Perempuan yang lebih sibuk bekerja di luar rumah juga akan mengurangi porsi perhatiannya pada suami. Jika hal ini terjadi secara terus-menerus, tidak heran bila pernikahan yang susah payah dibangun berakhir dengan perceraian. Begitu pun anak, kekurangan kasih sayang dan pendidikan dari orang tua, khususnya ibu mereka. Alhasil, mereka mencari pelarian di luar sana, salah pergaulan (seks bebas, narkoba), geng-gengan, dan sebagainya. Sedangkan kita tahu bahwa anak-anak adalah aset masa depan. Jika sekarang saja sudah rusak, ke depannya negara pun akan ikut rusak.
Kondisi semacam ini sejatinya makin menjauhkan fitrah seorang ibu sebagai ummun wa rabbatul bait. Negara yang seharusnya berperan penting menyejahterakan nasib perempuan dan kaum ibu, malah mendorong perempuan untuk meningkatkan perekonomiannya. Disadari atau tidak, semua itu bisa mengeluarkan perempuan dari fitrahnya. Perempuan benar-benar dipaksa untuk terjun ke ranah publik, tetapi sering kali perlindungan terhadap mereka sangatlah minim.
Perspektif Islam
Allah telah menegaskan kewajiban perempuan adalah sebagai istri dan ibu pendidik generasi. Memaksa perempuan mengambil peran sebagai pencari nafkah, adalah bentuk eksploitasi perempuan sekaligus pelanggaran terhadap ketetapan Allah yang hanya mewajibkan kaum lelaki mencari dan menanggung nafkah di dalam keluarga. Pelanggaran aturan Allah ini akan mendekatkan kemurkaan Allah. Hidup menjadi tidak berkah sebab ketidakridaan Allah.
Meskipun demikian, Islam menjamin kesejahteraan perempuan secara pasti. Dalam pandangan Islam, negara berkewajiban menyejahterakan perempuan agar perempuan optimal menjalankan peran utama mereka, yakni sebagai istri dan ibu, sekaligus pengatur rumah tangga, dan pendidik generasi. Dengan begitu, perempuan tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar mendapat kesejahteraan. Setiap muslim memiliki tanggung jawab sebagaimana telah Allah tetapkan di dalam QS. Al-Baqarah: 233:
“ … dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf….”
Rasulullah saw. bersabda,
“Ketahuilah, setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka. Seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang budak adalah pemimpin bagi harta tuannya dan ia bertanggung jawab atasnya. Maka, setiap dari kalian adalah adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya.”
(HR. Abu Dawud)
Di sisi lain, Islam membuka ruang seluas-luasnya bagi perempuan jika ingin berkiprah di berbagai bidang kehidupan asal sesuai dengan aturan Islam. Bekerja bagi perempuan adalah mubah (boleh), tetapi menjadi istri dan ibu yang mengurus rumah tangga adalah kewajiban mutlak baginya. Perlu diketahui bahwa amal yang wajib tidak boleh kalah dengan amal yang mubah.
Apabila karena suatu uzur syar’i perempuan tidak mendapatkan nafkah—seperti suami meninggal atau sakit, perempuan hidup sebatang kara, ataupun uzur lainnya—, maka Islam memiliki berbagai mekanisme untuk menjamin nafkah perempuan dan anak-anaknya, mulai dari wali yang memiliki kewajiban menanggungnya, hingga kehidupan perempuan yang bahkan wajib ditanggung oleh negara.
Alhasil, perempuan dapat optimal melaksanakan tugasnya dalam kondisi sejahtera yang dijamin oleh negara. Begitulah perspektif Islam, jaminan hakiki atas kesejahteraan rakyat, termasuk perempuan, akan terwujud ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiah.
Khilafah Menjamin Kesejahteraan Perempuan
Dalam negara Khilafah, mendidik perempuan agar memahami tugasnya merupakan investasi besar untuk membangun dan menegakkan peradaban mulia. Apabila perempuan berhasil menjalankan peran utamanya dengan baik, maka akan lahir generasi-generasi andal yang akan memimpin negara di masa depan. Selain itu, negara juga akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang akan menyejahterakan seluruh masyarakat.
Berikut kebijakan negara Khilafah dalam pengelolaan SDA untuk kemaslahatan umat manusia:
Pertama, pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum. Padang rumput, api, air, jalanan umum, samudra, sungai besar, dan laut adalah sumber daya yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh tiap-tiap individu. Siapa pun boleh mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, mengambil air sumur, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput umum. Namun, negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat.
Kedua, pemanfaatan di bawah pengelolaan Negara. Dalam hal ini adalah kekayaan milik umum yang sifatnya membutuhkan teknologi tinggi, keahlian, serta biaya yang cukup besar, seperti gas alam, minyak bumi, dan barang tambang lainnya, maka langsung diambil alih dan dikelola oleh negara. Negara yang memiliki hak dan wewenang mengelola dan mengeksplorasinya. Hasilnya dimasukkan ke dalam kas baitulmal.
Negara tidak berhak menjualnya kepada rakyat sebagaimana sistem ekonomi kapitalisme yang selalu ingin meraup keuntungan meski rakyat jadi korban. Kalaupun dijual, itu pun hanya sebatas harga produksi. Jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri, maka boleh bagi pemerintah mencari keuntungan semaksimal mungkin.
Hasil keuntungan penjualan digunakan untuk kegiatan operasional badan negara untuk mengelola harta pemilikan umum, seperti administrasi, perencanaan, eksplorasi, produksi, pemasaran, dan distribusi. Kemudian hasil tersebut juga dibagikan secara merata kepada seluruh rakyat baik muslim maupun nonmuslim yang hidup di dalam negara Khilafah untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar.
Sedangkan barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya emas, perak, tembaga, batu bara dijual ke luar negeri dan keuntungannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti membangun sekolah-sekolah gratis, rumah sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya.
Negara juga akan membuka lapangan pekerjaan, terutama bagi laki-laki karena mereka punya kewajiban mencari nafkah. Negara akan membuka industri padat karya, memberikan lahan pertanian bagi siapa saja yang bisa mengurusnya, hingga memberikan modal tanpa bunga untuk setiap penduduk yang membutuhkan.
Begitulah kebijakan negara Khilafah dalam membangun ekonomi yang kuat dan menyejahterakan untuk kemaslahatan umat manusia, terlebih dalam mewujudkan kesejahteraan perempuan tanpa meninggalkan fitrah dan kemuliaannya. Wallaahu a'lam bi ash-shawab.[Elz]
0 Komentar