Subscribe Us

PELEMAHAN HUKUM MAKIN NYATA

Oleh Syarfiah Munzani
(Kontributor Vivisualiterasi Media)

Vivisualiterasi.com- Miris, hukum di Indonesia semakin lemah. Demikian penilaian Deputi Direktur Amnesty Internasional Indonesia Widya Adiwena. Tindak kriminalisasi aparat kepada masyarakat semakin sering terjadi, terutama dalam aksi demonstrasi. Menurut Laporan Amnesty Internasional, hal ini merupakan bentuk dari pelanggaran HAM.

Pada 2023, ada tiga aktivis Papua yang dipenjara atas tuduhan makar, padahal mereka hanya menyuarakan pendapat secara damai. Ada lagi aktivis lingkungan hidup Daniel Frits Maurits Tangkilisan, yang mendapat hukuman tujuh bulan penjara dan denda Rp.5 juta karena mengkritik budidaya udang di perairan Karimunjawa, Jawa Tengah.

Lebih dari itu, kekerasan terhadap masyarakat juga sering terjadi. Kasus Rempang yang sebelumnya sempat viral, dimana aparat negara menggunakan kekerasan seperti memakai gas air mata, peluru karet, hingga meriam kepada masyarakat Rempang yang menyuarakan keberatan tentang hak milik tanah mereka. Kasus kekerasan aparat tidak sampai di situ saja. Pada April 2023, aparat keamanan bahkan melakukan penyiksaan terhadap tahanan seperti yang terjadi pada kasus kematian enam orang tahanan Papua di Desa Kwiyagi, Kabupaten Lanny Jaya, Papua Pegunungan. (IDN Times, 26/4/2024)

Realita HAM sebagai Standar Ganda

Tindak kekerasan pada saat penerapan hukum saja sudah menunjukkan bahwa hukum kita sedang tidak baik-baik saja. Rasanya sangat aneh sebab negara Indonesia yang katanya menjadi salah satu negara dengan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, tetapi faktanya yang menunjukkan pelanggaran HAM justru dilakukan oleh penegak hukum sendiri. Ketidaksesuaian konsep dengan praktik di lapang memperlihatkan adanya standar ganda dalam penerapan HAM, khususnya kebebasan bersuara, berekspresi atau menyampaikan pendapat. Ketika pendapat yang diutarakan itu berbeda dengan kepentingan para pemangku kebijakan, pelakunya dapat dikenai jerat hukum seperti tuduhan pencemaran nama baik, membuat kegaduhan, makar, dan yang lainnya. Akan tetapi, apabila pendapat tersebut sesuai dengan kepentingan para penegak hukum, maka akan lebih banyak yang lolos dari hukuman negara.

Seperti kasus Rempang yang demi kepentingan investasi, pendapat masyarakat di pulau itu tidak didengarkan. Bahkan, aparat tega memakai peralatan untuk menyakiti mereka, bukankah seharusnya wajar jika masyarakat menolak karena mereka hidup di pulau tersebut sejak Indonesia belum merdeka. Sama halnya dengan kasus di perairan Karimunjawa yang terjadi karena adanya investasi atau kepentingan bisnis. Aktivis lingkungan hidup yang melihat banyaknya kerusakan alam akibat tambak udang, berusaha menyuarakannya, tetapi malah dimasukkan ke dalam bui.

Maka sangatlah wajar, jika di negeri yang katanya bebas mengutarakan pendapat ini banyak orang yang mengeluarkan keluh kesahnya di media sosial. Namun jika terdapat beberapa pihak yang merasa dirugikan atas hal itu, akhirnya mereka yang bersuara pun dapat dijerat UU ITE. Lalu mana yang katanya bebas bersuara dan setiap orang memiliki HAM? Hasilnya, rakyat sendiri jelas melihat banyak kasus tidak terselesaikan secara tuntas atau keputusan yang tidak adil karena penerapannya yang semena-mena. Kebebasan mengutarakan pendapat atau mempertahankan hak lainnya pada setiap individu hanya berlaku untuk yang punya kepentingan. Masyarakat jadi samar/bingung membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Buah dari Penerapan Hukum Manusia

Fakta-fakta yang telah disebutkan diatas tadi sesungguhnya wajar terjadi dalam sistem hari ini, yaitu demokrasi. Sebuah sistem yang katanya menuhankan suara rakyat, tetapi ternyata justru mencederai kepercayaan rakyat. Demokrasi sendiri adalah konsep pemerintahan dari zaman Yunani, yang menjadikan suara manusia sebagai penentu untuk sebuah aturan. Dalam teorinya, kedaulatan ada di tangan rakyat. Nyatanya, mereka yang duduk di parlemen sebagai wakil rakyatlah yang berhak membuat aturan. Bagaimana bisa mereka membuat aturan sementara manusia, satu dengan yang lain tentu memiliki pemikiran yang berbeda.

Semuanya tergantung cara pikir, sudut pandang, tsaqofah, kebiasaan, dan lingkungan tempat tinggalnya. Oleh karena itu, aturan yang dihasilkan juga akan berbeda-beda sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Sistem demokrasi ini kemudian menyatu dengan sistem kehidupan sekularisme yang meniscayakan pemisahan agama dari kehidupan. Paham sekularisme membentuk pribadi setiap individu menjadi pribadi yang tidak peduli dan acuh dengan sesama manusia juga lingkungan sekitar, maka dianggap tidak masalah saat kebijakan atau aturan yang dibuat hanya menguntungkan satu pihak saja, yaitu si pembuat kebijakan. 

Padahal seperti yang kita ketahui bersama, penerapan hukum atau sistem sanksi sekularisme tidak membuat para pelaku kejahatan jera, aparat yang telah melakukan tindak kekerasan sebelumnya, juga tidak akan mendapat hukuman dan yang terjadi pada rakyat adalah sebaliknya. Maka jelas bahwa hukum hari ini terlihat tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Dengan kata lain, selama sekularisme masih eksis sebagai cara pandang kehidupan manusia maka hukum yang ditetapkan tidak akan pernah adil.

Sistem Sanksi dalam Islam

Islam sebagai ideologi, memiliki sistem kehidupan yang sempurna dan mempunyai sistem sanksi khusus yang menutup celah untuk pelaku kejahatan. Sistem sanksi ini memiliki dua fungsi, yaitu jawabir dan zawajir. Jawabir artinya penebus, maksudnya apabila hukuman yang diterapkan sesuai dengan hukuman Islam maka akan menebus dosa si pelaku di dunia sehingga seseorang tidak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Zawajir artinya pencegah, yaitu hukuman yang diterapkan secara tegas akan membuat orang tersebut jera dan membuat yang lain tidak akan berani mengikutinya.

Dalam Islam tidak dikenal istilah “HAM”. Segala sesuatu dikatakan melanggar hukum jika tidak sesuai dengan hukum syara’. Apabila ada masyarakat yang tidak puas dengan kebijakan khalifah, mereka boleh mengadukannya ke Majelis Umat. Setelah itu akan disampaikan kepada wali atau penguasa daerah tersebut, lalu apabila tidak terselesaikan, pengaduan tadi dapat dinaikkan hingga kepada Khalifah. Khalifah-lah yang akan mengambil keputusan sesuai standar syariat. Jadi, tidak akan ada kekerasan ataupun keputusan yang tidak adil bagi rakyat.

Penerapan sistem sanksi ini akan membuat negara punya wibawa. Tidak ada pihak lain yang berani memanfaatkan hukum, khususnya para pemangku kebijakan, mereka tidak akan menjadi orang-orang yang kebal dengan hukum karena mereka tidak akan mau berbuat curang, tidak amanah atau memberikan keputusan yang melanggar aturan Allah Swt.

Tetapi sayangnya sistem sanksi ini tidak dapat berdiri sendiri. Perlu ada sistem lain yang mampu mendukungnya, yaitu sistem pemerintahan Islam yang disebut dengan Khilafah. Di mana di dalamnya juga diterapkan sistem lain secara menyeluruh, seperti pendidikan, ekonomi, pergaulan, muamalah, uqubat dan lain sebagainya. Dengan penerapan seluruh sistem ini, maka muruah hukum dan keadilan pun bisa tetap terus terjaga tanpa diotak-atik oleh tangan manusia. Wallahua’lam bish-shawab.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar