Subscribe Us

GAME ONLINE BIKIN RESAH, EFEKTIFKAH SOLUSI PEMERINTAH?

Oleh Indri Cahya Ningrum
(Kontributor Vivisualiterasi Media)

Vivisualiterasi.com- Game online yang saat ini digandrungi oleh anak-anak semakin meresahkan masyarakat. Pasalnya game online yang saat ini dikonsumsi anak-anak, banyak bermuatan kekerasan dan seksualitas. Atas hal ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada April lalu mendesak agar Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir game online yang mengandung kekerasan dan seksualitas. Sebab, gim semacam ini bisa berdampak buruk pada anak.  

Bahaya Game Online Bagi Anak

Dampak buruk game online bagi anak diungkapkan oleh Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar mengungkapkan bahwa game yang mengandung kekerasan berdampak sangat buruk pada perkembangan mental dan perilaku anak dan remaja. Psikolog Stenny Prawitasari secara spesifik juga mengungkapkan bahwa game seperti Free fire, yang mengandung adegan kekerasan intens, pertempuran dan penggunaan senjata, apabila dimainkan secara berulang maka dapat membuat anak-anak menjadi kurang peka terhadap konsekuensi nyata dari tindakan kekerasan. Kemenkominfo sendiri menyatakan, pada 2020, ada 3.276 lebih kasus kekerasan anak di media sosial dan internet, 156 lebih kasus kekerasan seksual, 58% anak Indonesia mengalami cyberbullying yang 74%-nya dilakukan melalui media sosial, serta 66% anak laki-laki dan 62,3% anak perempuan Indonesia menyaksikan pornografi melalui media digital. 

Permen Kominfo No. 2/2024 Mampukah Menjadi Solusi?

Menanggapi desakan dari KPAI, Kemenkominfo akhirnya mengeluarkan Permen Kominfo No. 2/2024. Permen Kominfo ini berisi aturan yang menetapkan bagi perusahaan game oline untuk memenuhi syarat-syarat berupa klasifikasi game berdasarkan konten dan usia pengguna yakni kelompok usia 3 (tiga) tahun keatas, kelompok usia 7 keatas, kelompok usia 13 (tiga belas) keatas, kelompok usia 15 (lima belas) keatas, dan kelompok usia 18 (delapan belas) keatas.  Klasifikasi ini diharapkan agar pengguna bisa menyesuaikan konsumsi game sesuai dengan usianya. Bagi pengguna berusia 18 tahun kebawah maka melibatkan bimbingan orangtua. Bagi masyarakat atau pengguna yang mendapati ketidaksesuaian klasifikasi game, diberikan fasilitas layanan aduan. Bagi perusahaan game yang tidak menaati sesuai peraturan yang dimaksud, akan mendapatkan sanksi admisitratif berupa sanksi tertulis hingga pemutusan akses game. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, mampukah permen Kominfo ini menjadi solusi bagi generasi dalam mengakses game secara aman? Rasanya sungguh sulit. Sebab jika dilihat, aturan ini tidak benar-benar menyelesaikan persoalan. Regulasi yang dibuat mengakomodir para perusahaan untuk tetap memproduksi game online. Meskipun ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perusaahan game ketika merelease produk, namun tetap saja penggunaan game dikembalikan pada pengguna maupun orangtua. Apakah dengan adanya klasifikasi umur lantas akan menjamin anak mengakses game online sesuai usianya? Jika orang tua juga menjadi pihak yang dilibatkan dalam tanggung jawab ini, maka orangtua juga memerlukan daya dukung yang memadai, sehingga pengawasan terhadap anak tidak menjadi lebih berat. 

Ketidakseriusan pemerintah dalam menangani dampak buruk game online ini juga nampak dari kebijakan yang kontraproduktif dengan ditetapkannya Perpres 19/2024 tentang Percepatan Pengembangan Industri Gim Nasional. Perpres ini justru mendorong pengembangan industri gim dalam negeri agar bisa lebih berdaya saing di kancah saing global. Tujuanya agar Indonesia mendapatkan keuntungan ekonomi dari perkembangan gim. Pada 2019 lalu, Indonesia memperoleh pendapatan sebesar USD1,084 miliar dari industri gim dan esports. Ini menunjukkan bahwa aturaan Kapitalisme sekuler yang diterapkan di negri ini akan senantiasa mengakomodir kebijakan yang berorientasi pada keuntungan materi sekalipun harus mengorbankan generasi.

Islam Solusi Efektif untuk Penjagaan Generasi

Berbeda halnya dalam Islam. Aturan Islam adalah aturan yang bersumber dari Sang Pencipta kehidupan. Yang dengannya, saat ditegakkan melalui penerapan oleh negara akan menjaga generasi dari hal-hal yang merusak. Penjagaan ini harus diwujudkan oleh Khalifah sebagai kewajiban Kepala Negara yang harus ditunaikan. Sebagaimana sabda Rasul “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. (HR. Bukhari)
Dalam hal ini Khalifah akan menetapkan kebijakan. Salah satunya melalui pendidikan Islam. Generasi muslim akan dididik berdasarkan akidah Islam. Dengannya, generasi akan memahami konsekuensi dirinya sebagai hamba Allah yang harus senantiasa terikat dengan syariat saat melakukan amal. Apakah amalnya termasuk wajib, sunah, mubah, makruh maupun haram. Ketika memahami prioritas amal, maka generasi tidak akan mudah terjebak pada aktivitas amal yang sia-sia.  Adapun sebagai produk teknologi, game online dihukumi mubah dan boleh penggunaannya selama didalamnya tidak keluar dari syariat atau penggunaannya sampai melalaikan dari kewajiban. Untuk itu negara harus memastikan semua produk teknologi termasuk game online dapat mengantarkan kebaikan dengan mengedepankan nilai edukatif. Terhadap produk teknologi yang justru merusak maka negara akan mengambil sikap tegas dengan tidak mengijinkan peredarannya. Bukan jusru mempertahankan demi meraup keuntungan materi sebagaimana hari ini. 

Dengan penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah, maka penjagaan terhadap generasi dari pengaruh buruk game online akan efektif terwujud. Wallahu a'lam.[LRS]


Posting Komentar

0 Komentar