Subscribe Us

FIGUR POPULER DEMI PILKADA

Oleh Heti Suhesti
(Aktivis Dakwah) 

Vivisualiterasi.com-Pesta demokrasi daerah, yaitu Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) di berbagai daerah sudah mulai ramai mengusung calon dan memilih partner untuk berkoalisi mengingat  sebagian besar suara parpol kurang dari 20 persen. Pencalonan pun beragam, mulai dari mengusung figur populer seperti artis dan politikus yang sudah tersohor atau dari anggota partai politik itu sendiri. 

Namun tak bisa dipungkiri, figur populer menjadi prioritas utama yang diusung oleh banyak parpol ketimbang anggota partai politik sendiri. Hal ini karena figur populer memiliki pengaruh besar di masyarakat sehingga potensi kemenangan pun sangat tinggi.

Seperti yang terjadi di Jawa Barat, figur populer yang sudah digadang-gadang bakal calon gubernur adalah Ridwan Kamil, Bima Arya dan Dedi Mulyadi. Tinggal menunggu partai politik mana yang akan meminang mereka mengingat mereka bukan anggota dari partai politik. 

Hal ini tentu sangat disayangkan, mengutamakan mengusung figur populer daripada anggota partai politik menunjukkan bahwa buruknya kaderisasi dan regenerasi di parpol dan seolah menjadi ajang bisnis sebagaimana yang diungkapkan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Nur Ramadhan. 

“Pemain ditransfer ke sana-sini. Parpol seperti menjadi agen yang menyodorkan figur tanpa berniat menjadikan si figur sebagai bagian dari ideologi mereka," (PikiranRakyat.com, 12/05/24)
 
Hal tersebut memperkuat bahwa fenomena merekrut calon dari luar parpol adalah untuk semata-mata mencapai kekuasaan. Ketika figur populer tersebut berhasil memenangkan suara, dia dibiarkan tanpa dibina partai hingga menempuh pilkada periode berikutnya. 

Pada hakikatnya, diangkatnya seorang pemimpin bukan hanya sekadar untuk meraih kekuasaan namun menjalankan amanah mengurusi rakyat dengan ideologi (ide dasar dan metode) yang diemban partai. Apa jadinya jika pemimpin yang terpilih tidak dibina di dalam partai lalu ideologi apa yg akan diemban?

Inilah fenomena politik tanah air yang hanya mementingkan kekuasaan ketimbang amanah dan ideologi yang diemban karena semua tujuannya hanya untuk mencapai kepada kepentingan dan  keuntungan parpol bahkan pribadi. 

Pilkada: Rakyat Terperdaya

Fenomena tersebut wajar dalam sistem Demokrasi-Sekuler di mana semua diberikan hak yang sama dalam mencalonkan menjadi pemimpin. Masalahnya tak semua orang punya kemampuan sama untuk menjadi seorang pemimpin terkhusus dalam hal ini kepala daerah. Maka tak aneh jika calon pemimpin yang diusung hanya bermodalkan populer namun nol dalam kemampuan memimpin karena yang paling utama adalah mencapai kepada kemenangan kekuasaan. 

Terciptalah pemimpin yang hanya bisa mengobral janji namun minim realisasi, obral investasi namun rakyat disakiti dan dikhianati. Rakyat hanya diperdaya untuk diburu suaranya, setelah itu rakyat ditinggalkan dan dibiarkan mengurus segala urusannya sendiri. 

Karena hakikatnya kontestasi pilkada ini bukan untuk kepentingan rakyat namun demi kepentingan elit oligarki. Inilah satu keniscayaan dalam Demokrasi, berburu kedudukan sebagai penguasa dan menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk meraih materi dan prestise.

Kekuasaan Adalah Amanah

Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah besar yang memiliki konsekuensi mengurusi (riayah) urusan umat hampir di semua aspek kehidupan yang amanah tersebut akan dimintai pertanggungjawaban kelak, bukan hanya di dunia tapi juga akhirat. 

Ketika umat Islam sudah mengetahui hakikat dari kekuasaan adalah amanah, maka tak semua orang mampu untuk menjadi seorang pemimpin dan bahkan hampir semua umat IsIam takut diberikan amanah menjadi pemimpin karena tanggung jawab yang sangat besar mengurusi seluruh urusan umat yang diamanahkan kepadanya. 

Bahkan ada syarat wajib yang harus dipenuhi oleh calon pemimpin dalam IsIam yang jika tidak terpenuhi menghilangkan  keabsahan menjadi pemimpin, yaitu muslim, laki-laki, baligh, berakal, mampu, adil, dan merdeka. Maka tak semua orang memiliki kemampuan menjadi seorang negarawan dan politikus serta makna adil dalam IsIam adalah mampu menerapkan hukum IsIam secara kaffah/menyeluruh. 

Maka berkaitan dengan pemilihan kepala daerah, sistem Demokrasi dengan IsIam jauh berbeda dimana dalam sistem Demokrasi membutuhkan banyak modal yang tak jarang memiliki backing investor untuk memodali kampanye dan lain sebagainya, belum lagi urusan setelah dia berkuasa wajib memberikan ucapan terima kasih kepada yang memodali dengan mengamini semua kepentingannya.

Sedangkan dalam sistem Islam pemilihan kelapa daerah sangat sederhana, cepat dan murah, efektif dan efisien, karena kepala daerah (wali atau amil) dipilih oleh Khalifah. Mereka adalah perpanjangan tangan Khalifah dalam meriayah rakyat, bukan penguasa tunggal daerah. Sehingga tak ada sedikit pun kepentingan pribadi atau parpol semua murni untuk menunaikan amanah. 

Tegaknya kekuasaan dalam IsIam juga tidak ada  kepentingan selain menerapkan hukum syara dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah gambaran bagaimana IsIam memandang kekuasaan dan kepemimpinan yang semua ini telah terwujud/terealisasi belasan abad lamanya. Maka untuk mewujudkan kekuasaan yang amanah dan kepemimpinan yang adil hanya akan terwujud dengan tegaknya sistem Islam, yaitu Khilafah Islamiyah.[Irw]


Posting Komentar

0 Komentar