Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah dalam jumpa pers Indeks Harga Konsumen di kantornya di Jakarta, Jumat (3/1/2024), mengatakan bahwa kenaikan harga tersebut disebabkan karena meningkatnya permintaan selama bulan Ramadan. Produk yang kemungkinan mengalami kenaikan harga antara lain daging ayam, minyak goreng, dan gula pasir.
Harga komoditas yang lebih tinggi akan mendorong inflasi secara keseluruhan. Peningkatan tersebut dipicu kemungkinan akan datangnya musim kemarau dan menurunnya produksi padi di Indonesia. Begitu pun harga beras yang lebih tinggi juga akan mendorong inflasi secara keseluruhan. (CNBCIndonesia.com, 1/3/2024)
Lonjakan harga pangan yang berulang kali terjadi jelang Ramadan menimbulkan tanya di benak masyarakat. Pasalnya, Indonesia merupakan negara agraris dan memiliki sumber daya alam yang melimpah. Namun ternyata tidak mampu menyuplai bahan pangan dan menjaga stabilitas harga pangan.
Penyebab Kenaikan Harga Pangan
Bagi umat Islam, Ramadan adalah bulan yang paling dinanti sebab ada banyak keistimewaan yang diperoleh ketika melakukan berbagai amalan di bulan ini. Sayangnya, gejolak harga pangan yang kian mahal, selain mempersulit rakyat dalam memenuhi kebutuhan harian, juga mengganggu kekhusyukan beribadah. Terlebih kepada rakyat yang miskin dengan penghasilan yang sangat minim, tentu kenaikan harga pangan akan menambah penderitaan baru bagi mereka.
Ada beberapa faktor penyebab harga pangan mengalami kenaikan setiap tahun, khususnya jelang Ramadan. Faktor penyebabnya adalah situasi harga di luar negeri dan kurs dolar, kondisi iklim, faktor defisit serta tata kelola pangan yang gagal.
Faktor situasi harga di luar negeri, biasanya berkenaan dengan komoditas yang pasokannya bergantung pada impor, seperti komoditas bawang putih yang 90% pasokannya masih impor, karena Indonesia dinilai belum bisa memproduksi komoditas bawang putih. Faktor iklim pun bisa memengaruhi harga suatu komoditas, misalnya, kenaikan harga pada cabai merah yang sering disebabkan faktor cuaca, seperti hujan berkepanjangan ataupun musim kemarau.
Defisit juga terjadi di berbagai provinsi lantaran bukan penghasil utama dari komoditas-komoditas tersebut. Beberapa komoditas yang sebagian besar sumber ketersediaan berasal dari impor, seperti bawang putih, gula, daging sapi dan kedelai, diprediksi juga akan mengalami fluktuasi harga.
Berkenaan dengan tata kelola pangan, Emilda Tanjung, M.Si., seorang pengamat kebijakan publik menilai tata kelola pangan ini menyebabkan rakyat makin tertekan. Bagaimana tidak? Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan telah gagal menstabilkan ketahanan dan kedaulatan pangan. pangan. Hal ini terbukti dari meluasnya krisis pangan dan kelaparan di sejumlah negara. Rakyat yang seharusnya dipermudah mengakses kebutuhan pangan, malah kesulitan mengakses bahan pangan berkualitas dan harga yang terjangkau.
Negara Memudahkan Bukan Menyusahkan
Fenomena lonjakan harga pangan yang kerap terjadi tiap tahun, khususnya jelang Ramadan patut menjadi evaluasi bagi para pemegang tampuk kekuasaan. Faktor-faktor penyebab kenaikan harga pangan seharusnya bisa diatasi dengan tidak berasas pada sistem ekonomi kapitalisme yang terbukti gagal menstabilkan harga pangan dengan kemudahan akses dan terjangkau.
Di negara mayoritas muslim seperti Indonesia tentu Ramadan disambut dengan semarak. Seyogianya pemerintah mengambil peran mengimbau masyarakat agar bersiap menyambut tamu agung nan istimewa. Masyarakat dibiarkan fokus beribadah dan memperbanyak amalan di bulan Ramadan. Bukan sebaliknya dibuat pusing dengan harga-harga yang sangat tidak ramah dan bersahabat bagi rakyat, khususnya kalangan menengah ke bawah.
Masyarakat akan mendamba pemimpin yang memudahkan mereka menjalani bulan Ramadan, pemimpin yang sudah siap siaga tatkala rakyat kesulitan dalam hal pemenuhan kebutuhan selama Ramadan berlangsung. Pemimpin harus memahami itu, sebab satu-satunya yang ingin diraih oleh masyarakat di negara mayoritas muslim seperti Indonesia hanyalah keridaan Allah dan kenyamanan dalam menjalankan ibadah Ramadan.
Pengelolaan Pangan dalam Islam
Agar masyarakat tidak kesulitan mengakses kebutuhan pokok dan khusyuk dalam melaksanakan ibadah selama Ramadan, maka pemerintah sebaiknya bercermin bagaimana tata kelola pangan dalam kacamata Islam. Salah satu visi besar negara adalah mewujudkan kemandirian pangan dan jaminan pasokan pangan. Pangan adalah salah satu kebutuhan pokok, maka ia wajib dipenuhi oleh negara untuk kemaslahatan rakyat.
Negara akan melakukan berbagai upaya dalam merealisasikan kebutuhan pangan, seperti peningkatan produktivitas lahan dan pertanian. Hal ini sesuai dengan mekanisme syariat dengan memproduktifkan tanah-tanah mati. Tanah ini bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya.
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)
Bila terdapat tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun, maka hak kepemilikan atas tanah itu akan hilang. Negara akan mengambilalih lalu mendistribusikannya kepada individu (rakyat) yang mampu mengelolanya.
Islam akan melakukan optimalisasi lahan pertanian dengan meningkatkan hasil pertanian. Bisa melalui peningkatan kualitas benih, pemanfaatan teknologi, hingga membekali para petani dengan ilmu yang mumpuni. Semua aspek itu akan mendapat dukungan dan fasilitas dari negara.
Dalam hal ekspor impor, Islam akan melihat dan memperhatikan sejauh mana kebutuhan pangan negara. Ekspor dilakukan bila pasokan pangan negara sudah terpenuhi dan mengalami surplus. Adapun impor, hal ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri.
Demikianlah, Islam memberikan solusi tuntas dalam mengatasi persoalan pangan. Pasokan pangan akan merata dan kestabilan harga tetap terjaga meski memasuki Ramadan. Sebab, Islam mengatur kebutuhan pangan berdasarkan mekanisme syariat bukan profit oriented sebagaimana watak kapitalisme yang memandang segala hal dengan mengedepankan asas manfaat. Wallaahu a'lam bi ash-shawab.[Elz]
0 Komentar