Oleh Yani Suryani
(Pegiat Literasi & Pemerhati Kebijakan Publik)
Vivisualiterasi.com- Pesta rakyat yang digelar pada tanggal 14 Februari lalu sudah dapat diprediksi siapa yang nantinya akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode selanjutnya, anggota DPR, dan anggota DPD. Melalui perhitungan cepat, sudah terlihat bahwa nomor urut 02 menang telak mengungguli paslon 01 dan 03, dengan perolehan di atas 50 %. Dengan perolehan angka tersebut maka sudah dipastikan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden hanya dilakukan satu putaran.
Terlepas dari banyaknya indikasi kecurangan pada pelaksanaan pemilu kali ini, sepertinya itu bukan merupakan hal baru. Bukankah itu akan terlewati begitu saja, dan bahkan beberapa kali terjadi dalam pemilihan umum, penghitungan cepat akan benar adanya. Walaupun berbeda angkanya, selisihnya tidak akan jauh dengan perhitungan versi KPU. Karena saat ini mudah bagi penguasa untuk tetap pada hasil yang sepertinya tidak ada kecurangan, namun faktanya malah sebaliknya.
Apalagi jika melihat dengan angka yang sepertinya sulit untuk dilewati oleh pasangan 01 dan 03, pasangan 02 sepertinya sudah di ataas angin dalam kemenangannya. Walaupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mengumumkan hasil perhitungan manual, namun sepertinya hasil perhitungan cepat menjadi kacamata bagi KPU nanti. Karena yang demikian selalu terjadi dan jika terulang kembali merupakan sesuatu yang biasa.
Dengan kemenangan pasangan dengan nomor urut 02 ini berarti kebijakan penguasa saat ini akan dilanjutkan. Salah satu kebijakan yang nantinya akan dilanjutkan oleh pasangan pilihan rakyat adalah pajak. Sebagaimana dilansir www.cnbcindonesia.com edisi Maret 2024, dengan tajuk yang berjudul “Siap-siap! PPN Naik Lagi jadi 12 % pada 2025”. Informasi yang didapat pada berita tersebut adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto memastikan kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 tidak akan ada penundaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa PPN di tahun 2022 sudah naik 11% sesuai ketentuan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dari sebelumnya 10%.
Menurut Airlangga, bahwa ketentuan kenaikan tarif PPN ini akan berlanjut di 2025 karena sudah menjadi Keputusan masyarakat yang memilih pemerintahan baru dengan program-program keberlanjutan dari Presiden Joko Widodo.
Indonesia sebagai sebuah negara berkembang yang saat ini mengandalkan pajak sebagai pendanaan dalam membiayai pembangunan. Ada hal yang menarik dalam pemerintahan saat ini. Jika dilihat dari jumlah hutang luar negeri, maka angkanya sangat fantastis. CNBC melansir edisi 19 Desember 2023 bahwa Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan posisi utang Indonesia hingga akhir November 2023 sebesar Rp8.041,01 triliun. Utang yang ini tidak lepas dari riba, di mana kita tahu bahwa riba itu sendiri akan menimbulkan banyak mudharat karena sudah jelas sekali keharamannya dalam Islam.
Dengan angka pajak yang 11 % saja sepertinya memberatkan masyarakat apalagi dengan rencana yang kenaikan di 2025. Karena sudah pasti akan berimbas pada kenaikan yang lainnya. Apalagi saat ini masyarakat sudah banyak yang harus ditanggung.
Dalam sistem pemerintahan yang saat ini digunakan, memang tak aneh jika pajak merupakan pos yang dijadikan pemasukan utama untuk pendanaan pembangunan. Berbanding terbalik dengan sistem yang pernah diterapkan pada pemerintahan Islam, di mana pajak merupakan pilihan terakhir untuk pendanaan, dan itupun hanya dibebankan pada masyarakat yang dianggap mampu (kaya). Lalu dari manakah pembiayaan pembangunannya? Maka sumber daya alam yang dimiliki negara merupakan pokok utama dalam pembiayaan pembangunan.
Pendanaan pun bisa diambil pada saat negara melakukan perluasaan wilayah. Perluasan wilayah dalam sistem Islam dilakukan dalam rangka menyebarkan dakwah. Karena setelah wilayah itu dikuasai, maka negeri tersebut tidak akan dijajah dan dirampas kekayaannya. Negeri tersebut akan disamakan dengan kondisi wilayah yang sudah ada di bawah pemerintahannya. Berbeda dengan negara-negara yang saat ini adidaya, mereka merampas, merampok bahkan melakukan genosida terhadap wilayah jajahan.
Berkaitan dengan pajak Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, “Tidak akan masuk surga pemungut pajak."
Hadist lain, “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diazab) di neraka.” (HR. Ahmad & Abu Dawud)
Sepertinya ada banyak yang harus menjadi renungan bersama untuk selanjutnya dikaji bahwa ada hal yang memang harus diperbaiki, saat ini sepertinya negara ini sedang tidak baik-baik saja. Walaupun terlihat baik-baik saja. Budaya pencitraan yang saat ini berkembang setidaknya menjadi jawaban atas ketidakbaikan itu. Jalan yang bagus, tol yang sudah dibangun dimana-mana, perumahan mewah yang sudah banyak, apakah ini merupakan bukti keberhasilan sebuah negara? Padahal pendanaan pembangunan tersebut melalui utang. Belum lagi asing dan asenglah yang justru menguasai negara ini. Di sisi lain saat ini kemiskinan justru meningkat, pengangguran pun menjadi masalah yang saat ini seharusnya menjadi prioritas negara untuk membuka keran bagi para pencari kerja. Begitu sulitnya mencari pekerjaan bagi rakyat namun negara malah membuka akses bagi para pekerja asing.
Jika yang dilakukan adalah keharaman dalam nash syara, harusnya ada sebuah kajian yang menjadi landasan apa yang salah dalam pengaturan kehidupan yang kita sedang jalani ini. Bukankah kita menginginkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan keberkahan? Lalu akankah terwujud jika kita berharap pada aturan yang justru saat ini kita rasakan tidak baik-baik saja. Wallahua’lam.[AR]]
0 Komentar