Namun hal yang berbeda terjadi pada seorang ibu asal kabupaten Belitung bernama Rohwana alias Wana (38) tega membunuh bayinya sesaat setelah dilahirkannya dengan cara menenggelamkannya di ember berisi air kemudian membuangnya ke semak-semak milik warga setempat. Wana mengaku melakukan hal tersebut sebab tidak memiliki biaya untuk membesarkannya (kumparan,24/1/2024).
Hal seperti ini bukan kasus yang pertama kali terjadi dan bisa disebut karena baby blues. Finansial menyumbang baby blues pada ibu. Penyebab baby blues adalah ibu yang tertekan hingga depresi secara emosional hingga berdampak pada mental. Sebab tidak stabilnya kondisi finansial ekonomi keluarga yang menjadi beban pikiran ibu. Maka kejadian yang terus berulang ini bukan hanya perkara bahasan mental keibuan saja namun juga bukti terbajaknya fitrah keibuan.
Sebab Ibu Tertekan
Ibu menempati posisi kelompok dalam masyarakat yang paling rentan tidak terpenuhinya kebutuhan sosial dasar mereka. Meskipun ia menempati posisi sentral dan potensial namun tak sejalan dengan kualitas kehidupan perempuan pada sistem hari ini.
Ada banyak faktor yang mengakibatkan ibu tertekan diantara:
Lemahnya keimanan, hal ini membuat ibu tidak merasa bahwa menjadi orang tua itu harusnya merupakan pilihan dan peranannya untuk mengasuh juga membesarkan anak adalah kewajiban namun dianggap sebagai beban.
Selanjutnya faktor ketidaksiapan untuk memiliki anak dan ketahanan keluarga, banyak pasangan hari ini bisa dibilang hanya siap menjadi orang tua secara biologis namun belum secara ideologis. Keputusan memilih menjadi orang tua tidak disertai dengan kesiapan ilmu lainnya sehingga ketika memiliki anak terutama ibu akan mengalami banyak distraksi yang berdampak juga pada anaknya. Hal ini pun sejalan dengan tidak berjalan sesuai seharusnya ketahanan keluarga yang harusnya mampu menjadi supporting system bagi ibu namun justru menambah ibu sebab turut andil menanggung beban keluarga.
Semua itu tadi tak lepas dari penerapan sistem kapitalisme hari ini. Pada sistem kapitalisme setiap individu didalamnya dituntut untuk bisa memenuhi kebutuhannya masing-masing tak terkecuali para ibu. Ibu selain menjalankan perannya sendiri sesuai fitrahnya, dia pun juga dituntut agar bisa survive memenuhi kebutuhannya. Tersebab banyak faktor diantaranya suami yang tidak bekerja, terkena PHK, kerabat yang bernasib sama dalam hal ekonomi dan masyarakat yang individualis mengurus urusan masing-masing hingga akhirnya kembali bahwa ibu sendirilah yang harus bisa berdiri sendiri.
Negara hanya berfungsi membuat regulasi yang senantiasa memihak pada oligarki, tanpa perduli dan abai terhadap masalah pada kaum ibu adalah masalah yang penting. Tinggallah ibu dalam kesusahan dan jauh dari kesejahteraan.
Fitrah Ibu Terkorbankan
Membayangkan betapa berat beban para ibu tatkala mereka diberi tanggung jawab menyelesaikan masalah kemiskinan keluarga? Terlebih masalah ini lahir secara struktural dari ketakmampuan sistem hidup sekuler liberal kapitalistik dalam menjamin kesejahteraan.
Dalam sistem destruktif dan eksploitatif ini, kaum ibu tidak mendapat support untuk memaksimalkan perannya sebagai tiang negara dan arsitek generasi cemerlang. Krisis ekonomi yang berulang membuat mereka tidak pernah memperoleh jaminan finansial. Kemiskinan sistemis bahkan memaksa kaum ibu harus menanggalkan dan mengorbankan peran juga fitrah keibuan demi mencukupi keperluan keluarga yang tidak jarang berdampak pada stres massal, krisis sosial, dan akhirnya anak-anak kehilangan kasih sayang juga kehangatan.
Islam Menjaga Fitrah Keibuan
Sistem hari ini terbukti jelas merusak dan mengorbankan fitrah keibuan. Bertolak belakang dengan sistem Islam yang menjaga dan menjamin para ibu menjalankan perannya secara optimal. Sistem Islam yang dijalankan oleh negara pun sangat memuliakan dan menjaga kehormatan kaum ibu, menjamin kesejahteraan dan menjauhkannya dari kesulitan.
Dalam hal ini negara memiliki mekanisme aturannya sendiri yaitu:
Pertama, menjamin melalui jalur pernafkahan. Islam menjaga peranan laki-laki dan perempuan sesuai yang telah didefinisikan Islam dalam kehidupan keluarga, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَا لْوَا لِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَا دَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَا مِلَيْنِ لِمَنْ اَرَا دَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَا عَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِا لْمَعْرُوْفِ
"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.
(Q.S Al-Baqarah:233)
Ayat diatas dengan memperjelas dan menegaskan bahwa kaum ibu berhak memperoleh nafkah dari suaminya dan tidak wajib bekerja sehingga ibu tidak terganggu dalam menjalankan tugasnya terhadap anak-anak dan keluarganya.
Misal dalam pasal 112 RUU Khilafah disebutkan, “Peran utama seorang perempuan adalah menjadi ibu dan pengurus rumah tangga.” Sedangkan dalam pasal 120 disebutkan, “Tanggung jawab suami atas istrinya (qiwaamah) adalah menjaga, dan tidak berkuasa. Istri berkewajiban untuk mematuhi suaminya dan suami berkewajiban untuk memenuhi biaya kehidupannya sesuai dengan standar hidup yang adil (makruf).”
Sehingga negara akan menjadi penjamin berjalannya tugas pernafkahan dengan tidak hanya mendorong para laki-laki untuk bekerja, namun juga turut menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya.
Kedua, menciptakan suasana kondusif masyarakat. Tidak ada sikap individualis pada diri masyarakat, sehingga masyarakat secara penuh kesadaran dan keikhlasan membantu yang lainnya yang tidak berkecukupan.
Ketiga, negara akan menjamin kecukupan dengan memberikan bantuan pada masyarakat miskin dan juga fakir. Dalam Pasal 156 disebutkan, “Negara bertugas untuk menjamin biaya hidup dari orang yang tidak memiliki uang, tidak ada pekerjaan dan tidak ada keluarga yang bertanggung jawab atas pemeliharaan keuangannya. Negara bertanggung jawab untuk memberikan tempat tinggal dan memelihara orang-orang tidak mampu dan cacat.”
Dari sini kita memahami bahwa persoalan ibu bukan semata permasalahan individu semata. Karena sudah menjadi bagian dari peran negara untuk andil dalam menjamin berjalannya peran ibu dengan optimal tanpa harus menanggung beban kehidupan.
Begitulah sistem Islam menciptakan unit keluarga dengan sempurna, ibu berperan menjadi sekolah pertama bagi generasi. Aspek politis keluarga ini membutuhkan ilmu dan ketangguhan pasangan suami dan istri dalam mendidik anak-anak mereka dan menjaga peran sentral dan potensial ibu sebagai arsitek generasi. Maka tak heran jika sepanjang sejarah peradaban Islam lahir generasi emas yang hebat tanpa tandingan. Wallahua'lam bish-shawab.[LPN]
0 Komentar