(Pegiat literasi)
Namun, bukan hanya para kandidat yang mengincar kursi kepemimpinan saja yang sedang bersiap. Sejumlah rumah sakit pun bersiap menangani para calon legislatif (caleg) yang depresi apabila gagal terpilih. Seperti diberitakan Kompastv.com (24/11/2023), Rumah Sakit Oto Iskandar Dinata, Soreang, Bandung, Jawa Barat merupakan salah satu rumah sakit yang menyiapkan ruangan khusus untuk caleg yang mengalami gangguan mental. Tidak hanya itu, rumah sakit tersebut pun menyiapkan dokter spesialis jiwa bagi calon legislatif yang stres usai mengikuti kontestasi pemilu 2024. "Kita sebenarnya sudah memiliki dokter spesialis penyakit jiwa, jadi untuk kegiatan pasien kasus ringan itu bisa dilakukan dengan rawat jalan. Rencananya ada 10 ruangan VIP untuk persiapan Pemilu," kata Irfan Agusta, Wadir Pelayanan RSUD Oto Iskandar Dinata. Beberapa rumah sakit lainnya seperti RSUD Dr Abdur Rohiem Situbondo, Jawa Timur melakukan hal yang sama. Termasuk Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang diminta oleh Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Abdul Aziz untuk menyiapkan layanan konseling maupun fasilitas kesehatan kejiwaan untuk calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2024 yang stres karena gagal terpilih. "Belajar dari situasi dan kondisi di pemilu-pemilu sebelumnya, kecenderungan orang stres meningkat pasca pemilu," kata Aziz (detiknews.com, 26/01/2024).
Sudah menjadi rahasia umum jika beberapa calon legislatif akan mengalami depresi jika gagal terpilih menjadi wakil rakyat. Psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional, DR Dr Nova Riyanti Yusuf, SPKJ mengatakan, para caleg yang mencalonkan diri namun tanpa tujuan yang jelas rentan mengalami gangguan mental.
Selain hal tersebut, beberapa faktor yang menjadi sebab rentannya gangguan mental disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya:
Pertama, Pemilu dalam sistem Demokrasi berbiaya mahal. Itu semua mencakup mahar politik untuk memperoleh dukungan parpol, membiayai saksi, alat peraga kampanye, biaya kampanye, hingga praktik jual beli suara yang tentunya menjadi elemen terbesar dari mahalnya biaya atau ongkos politik di negeri ini.
Kementerian Dalam Negeri pernah melakukan riset, dalam sekali pencalonan kepala daerah biaya yang perlu dipersiapkan mencapai Rp 25 miliar- Rp 30 miliar. Sementara terkait dengan pemilihan legislatif, besaran biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 5 miliar, maka tidak heran jika praktek korupsi banyak terjadi ketika mereka sudah duduk di kursi jabatan. Selain untuk memuaskan gaya hidup juga menutupi kekosongan kas pribadi mereka selama kampanye pemilu.
Kedua, mayoritas caleg di akui atau tidak bertujuan meraih kekuasaan dan materi. Walaupun ada sebagian kecil orang yang benar-benar tulus dan ikhlas membangun bangsa. Namun, mereka akan "terlindas" kalah oleh mereka yang memiliki ambisi kekuasaan dan harta. Hal demikian wajar terjadi karena pemilu dalam sistem demokrasi memiliki asas sekuler. Mayoritas orang-orang di dalamnya akan melakukan segala cara agar bisa memenangkan kontestasi. Tidak peduli lagi akan halal dan haramnya, apalagi mudarat atau maslahat bagi umat.
Kehidupan di tengah sistem sekuler menjadikan orang-orang jauh dari agama. Tujuan mereka hanya mengejar kebahagiaan dengan disandarkan pada materi saja. Jabatan yang ingin dicapai hanya merupakan jalan untuk mendapatkan keuntungan materi, menaikkan harga diri atau prestise, juga fasilitas hidup. Maka wajar jika depresi saat kalah, sebab iman mereka lemah dan dari awal sudah salah memaknai tujuan hidupnya.
Ketiga, jika ditelisik lebih dalam terbukti para pemenang yang melenggang masuk ke Senayan ternyata tidak menjadi representasi rakyat. Berbagai kebijakan ditetapkan tidak pernah berpihak pada rakyat. Semua bermuara pada kepentingan oligarki. Terbukti dengan banyaknya UU pro oligarki ditetapkan di tengah penolakan rakyat banyak. Oleh karena itu, pesta demokrasi sejatinya adalah alat legitimasi untuk mengukuhkan kekuasaan para oligarki. Rakyat seolah-olah ambil andil dalam menentukan penguasa, padahal semua telah diatur agar pemenang adalah mereka yang tunduk pada pengusaha. Hal ini menjadi sebab para caleg depresi saat mengetahui suaranya bisa dicurangi, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Beberapa fakta di atas adalah keniscayaan dalam sistem Demokrasi, berbanding jauh dengan Islam. Dalam Islam, kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. Oleh karena itu, siapa saja yang ingin mencalonkan dirinya untuk suatu jabatan, maka ia harus benar-benar yakin dirinya akan bisa amanah dalam menjalankannya. Sebab Rasulullah saw memberi peringatan dalam suatu hadits,
"Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya." (HR. Muslim)
Selain itu, pemimpin yang terpilih akan menjalankan amanahnya sesuai ketentuan Allah Swt dan Rasulullah saw. Siapapun yang memegang amanah jabatan harus mengerti agama. Jika tidak, maka akan mencelakakan dirinya dan umat yang dipimpinnya. Alhasil, para kandidat dalam pemerintahan adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuan mereka meraih jabatan semata hanya untuk meraih rida Allah Swt. Maka jika kemudian mereka tidak terpilih maka tidak akan berpengaruh pada mentalnya. Sebab mereka yakin bahwa apa pun yang terjadi pada dirinya adalah ketentuan dari Allah Swt.
Pelaksanaan kontestasi dalam sistem Islam tidak membutuhkan biaya yang banyak, hingga menguras harta para kandidatnya. Bahkan ada yang sampai meminjam pada sanak saudara. Sehingga kemudian menjadi beban mental jika tidak terpilih. Dengan keimanan yang kuat, kemenangan atau kekalahan akan dimaknai sebagai salah satu ketetapan Allah Swt yang wajib disyukuri. Wallahua'lam bish-shawab.[AR]
0 Komentar