Subscribe Us

VISI MISI CAPRES 2024 DAN BELENGGU OLIGARKI DEMOKRASI


Oleh Al Azizy Revolusi
(Editor dan Kontributor Media)


Vivisualiterasi.com- Oligarki adalah struktur kekuasaan yang terdiri dari beberapa individu elit, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan untuk mengontrol suatu negara atau organisasi. Melansir Thoughtco, “Oligarki” berasal dari kata Yunani “oligarkhes”, yang berarti “sedikit yang memerintah”. Jadi, oligarki adalah struktur kekuasaan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang, yang dapat terkait dengan kekayaan, ikatan keluarga, bangsawan, kepentingan perusahaan, agama, politik, atau kekuatan militer.

Pada 600-an SM, ketika Yunani negara-kota dari Sparta dan Athena diperintah oleh kelompok elit bangsawan berpendidikan, pemerintahan oligarki berjaya. Selama abad ke-14, negara-kota Venesia dikendalikan oleh bangsawan kaya yang disebut “aristokrat”. Saat Afrika Selatan berada di bawah sistem apartheid kulit putih hingga 1994, adalah contoh klasik dari sebuah negara yang diperintah oleh bentuk pemerintahan oligarki berbasis rasial.

Semua bentuk pemerintahan, seperti demokrasi, teokrasi, dan monarki dapat dikendalikan oleh oligarki. Adanya konstitusi atau piagam formatif serupa tidak menghalangi kemungkinan oligarki memegang kendali yang sebenarnya atas pemerintahan. Jadi, tidak heran jika demokrasi yang kini tengah diterapkan oleh dunia justru dalam cengkeraman oligarki. Antara demokrasi dan oligarki seperti lingkaran setan.

Istilah lingkaran setan adalah keadaan atau masalah yang seolah-olah tidak berujung pangkal, sulit dicari penyelesaiannya; proses atau lingkaran tidak berujung pangkal. Kapitalisme sekuler sebagai metode operasional demokrasi telah menyebabkan kerusakan dan kehancuran ekonomi dunia bahkan Indonesia. Akibatnya, krisis globalpun terjadi dan berbarengan dengan pandemi yang telah menyengsarakan umat manusia di dunia abad ini. Penerapan demokrasi liberal tidak pernah memberikan harapan, kecuali kehancuran yang tak berujung.

Krisis fiskal negara dunia ketiga yang tersandera bayang-bayang gagal bayar akibat “debt trap” sistem rusak ini. John Perkins membuka mata dunia lewat buku yang berjudul Confession of an Economic Hit Man (2005). Bagaimana dia menelanjangi rahasia pemerintah AS yang berani membayar tinggi orang-orang seperti Perkins, untuk membuat negara-negara kaya sumber daya alam (SDA) agar mendapat utang luar negeri sebayak-banyaknya. Sampai negara tersebut tidak mungkin lagi dapat membayar utangnya, kecuali dengan menguras seluruh SDA yang dimilikinya.

Efek rusaknya pun menjalar ke realitas politik ala demokrasi, saat ini panggung layaknya pasar kotor, di mana jual-beli kepentingan dan saling sikut demi keuntungan bisnis pribadi dan kelompok dilakukan. Sehingga perwujudan demokrasi yang terjadi, bukan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, namun dari oligarki, oleh oligarki dan untuk oligarki. Wajah demokrasi pun terlihat di dominasi oleh birokrasi oligarki yang menjadikan partai hanya sekedar mesin pendulang suara pemilih dan konstituennya, tidak lebih.

Menarik apa yang disampaikan Marwan Batubara dalam acara Fokus UIY Official Channel bersama Ust Ismail Yusanto yang menandaskan bahwa kenaikan harga BBM oleh pemerintah harus ditolak karena justru akan memiskinkan rakyat dan menguntungkan para mafia, oligarki dan bahkan demi citra politik pemerintah semata. Berbagai proyek yang tidak berdampak positif bagi rakyat banyak, seperti IKN dan kereta cepat hanyalah lahan untuk mendapat keuntungan segelintir orang dari investor, padahal proyek itu tidaklah berdampak bagi pertumbuhan ekonomi rakyat kecil.

Liberalisasi sektor migas dan disorientasi para penguasa adalah pangkal dari persoalan migas di negeri ini. Liberalisasi tata kelola sektor migas merujuk kepada aturan perundang-undangan yang tidak pro rakyat, sementara disorientasi adalah watak para penguasa yang hanya memikirkan keuntungan sendiri, demi harta dan tahta. Anehnya, tiap kali presiden terpilih, biasanya program pertamanya justru menaikkan harga BBM dengan berbagai dalih dan apologi. Padahal saat berkampanye, mereka selalu berteriak dan berjanji untuk mensejahterakan rakyat.

Jargon Indonesia adil makmur untuk semua yang digagas pasangan AMIN hanya akan jadi isapan jempol dan pepesan kosong jika tak mampu melihat permasalahan mendasar negeri ini. Mungkin misi ini terinspirasi oleh pancasila sila ke 5 keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun faktanya, sila ini tidak pernah terwujud di negeri ini. Yang terjadi sebaliknya, rakyat semakin hari semakin miskin dan dimiskinkan. Sistem kapitalisme dan komunisme yang menyuburkan oligarki selalu luput dari analisa capres cawapres. Begitupun sistem demokrasi yang jelas-jelas menjadi ajang permainan oligarki pun selalu luput dari perhatian. Mungkin hal ini disebabkan oleh biaya tinggi selama pemilu, sehingga justru oligarki bermain di belakang pada capres dan cawapres.

Pertanyaan mendasar untuk pasangan AMIN, bagaimana mewujudkan visi misi idealnya di tengah hegemoni dan belenggu sistem kapitalisme dan komunisme di bawah kendali oligarki? Beberapa misi-misi yang diusung pasangan AMIN adalah: Memastikan Ketersediaan Kebutuhan Pokok dan Biaya Hidup Murah melalui Kemandirian Pangan, Ketahanan Energi, dan Kedaulatan Air. Mengentaskan Kemiskinan dengan Memperluas Kesempatan Berusaha dan Menciptakan Lapangan Kerja, Mewujudkan Upah Berkeadilan, Menjamin Kemajuan Ekonomi Berbasis Kemandirian dan Pemerataan, serta Mendukung Korporasi Indonesia Berhasil di Negeri Sendiri dan Bertumbuh di Kancah Global.

Sementara pasangan Prabowo Gibran mengusung visi : Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045. Visi pasangan ini dilandaskan oleh konsep normatif dalam UUD 45 yakni : Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan Ikut melaksanakan ketertiban dunia. Visi dan landasan ini nampak sekali absurd  jika tidak dianalisa berdasarkan masalah fundamental negeri ini. Negeri ini sesungguhnya dalam cengkeraman oligarki yang telah memiskinkan rakyat selama bertahun-tahun. Sejak Indonesia merdeka, sebenarnya rakyat belum merdeka, khususnya bidang politik, ekonomi, pendidikan dan budaya.

Untuk mencapai Indonesia Emas 2045, mulai tahun 2025 dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di angka 6% hingga 7%. Pertumbuhan ini perlu didukung dengan penguatan peran pemerintah dalam roda ekonomi dan pembangunan bangsa sesuai falsafah Ekonomi Pancasila. Nah, yang paling aneh dari paragraf ini adalah soal ekonomi pancasila. Benarkah pancasila memiliki konsep ekonomi? Apakah selama ini pancasila telah dijadikan landasan berekonomi negeri ini? Bukankah Indonesia selama ini menerapkan ekonomi dengan sistem kapitalisme yang kekayaan Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir orang saja (oligarki). Apakah ini namanya ekonomi pancasila?

Sementara pasangan Ganjar dan Mahfud mengusung visi : Menuju Indonesia unggul, Gerak Cepat Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari. Dalam pendahuluan, tertulis paragraf : Kami sepenuhnya setia pada Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan berkomitmen menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila sebagai ideologi bangsa, dasar dan tujuan bernegara, landasan kebijakan pemerintahan negara, dan menjadi spirit bagi kepemimpinan Indonesia di dalam membangun persaudaraan dunia. Kami berkomitmen untuk mempercepat keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia, dengan menaruh perhatian terpenting bagi fakir miskin dan anak telantar untuk dipelihara negara. Hal tersebut menjadi pijakan bagi tekad kami di dalam mewujudkan kemiskinan ekstrem nol persen, dan secara bertahap mengurangi kemiskinan hingga 2,5% tahun 2029. Paragraf ini lebih mirip sebagai sebuah khayalan dan dongeng semata, dari pada sebuah harapan, apalagi kenyataan.

Sebagai pengantar visi tertulis: Kami menyadari pentingnya kesinambungan pemerintahan negara Republik Indonesia yang diawali oleh Presiden Soekarno sebagai pembuka gerbang kemerdekaan, Presiden Soeharto dengan gerbang pembangunan, dilanjutkan dengan kepemimpinan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang secara bersama-sama telah membuka gerbang demokrasi, hingga Presiden Joko Widodo yang meletakkan gerbang kemajuan Indonesia Raya. Paragraf ini menunjukkan pasangan Ganjar Mahfud sebenarnya tidak punya daya kritis dan gagasan besar.

Keseluruhan visi misi capres cawapres 2024 nampaknya akan menjadi pepesan kosong belaka jika masalah utama negeri ini tidak pernah terselesaikan. Masalah utama negeri ini adalah hegemoni kapitalisme dengan cengkeraman oligarki yang telah menguasai 85 persen kekayaan negeri ini. Sementara rakyat banyak yang dijadikan sebagai alat kampanye pemilu tidak pernah mendapatkan apa-apa kecuali kemiskinan dan utang. Selama kapitalisme dengan kedok investasi dan privatisasi masih terus bercokol di negeri ini, maka janji-janji ekonomi dan kesejehteraan rakyat adalah omong kosong belaka. Sebab faktanya demokrasi telah menyuburkan oligarki dan oligarki tidaklah memiliki orientasi kesejahteraan sosial.

Abraham Lincoln (1809-1865), mendefinisikan demokrasi  secara sekuleristik,  yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Jargon terkenal atas makna demokrasi ala Lincoln menunjukkan bahwa demokrasi adalah ideologi anti etika agama. Demokrasi membawa gen antroposentrisme sekuler yang meniadakan hukum agama dalam ruang publik.

Demokrasi adalah ideologi berpaham antroposentrisme dan antropomorpisme yang bertentangan secara diametral dengan Islam. Sebab kedaulatan hukum dalam Islam ada di tangan Allah yang tercantum dalam Al Qur’an dan Al Hadits, sementara kekuasaan di tangan seorang khalifah yang wajib hukumnya menerapkan syariah secara kaffah. Sementara demokrasi menjadikan manusia sebagai otoritas kedaulatan hukum dengan menjadikan manusia sebagai sumber hukum untuk mengatur sesama manusia.

Islam juga telah menjadikan pengaturan urusan rakyat atau mereka yang memiliki kewarganegaraan menjadikan aktivitas perekonomian tersebut, terikat dengan hukum hukum syariah sebagai suatu perundang-undangan yang mengikat. Seperti firman Allah SWT, “Apa saja yang telah Rasul bawa untuk kalian, ambillah. Apa saja yang telah dia larang atas kalian, tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr : 7)

Antroposentrisme dan antropomorpisme menjadikan demokrasi menjadikan manusia sebagai otoritas pembuat hukum dan perundang-undangan dan membuang kitab suci sebagai sumber konstitusi. Demokrasi adalah semacam ‘bid’ah politik’ yang menjadikan akal dan nafsu serta kepentingan manusia sumber kebenaran. Karena itu secara genealogis dan genetik, demokrasi itu anti agama (baca: Islam). Dari kesalahan konsep kepemilikan menjadikan oligarki semakin subur dalam sistem demokrasi.

Karena itu tidaklah mengherankan jika para pemuja demokrasi menjadikan hawa nafsu dan kepentingan pragmatisnya sebagai acuan. Tidak mengherankan pula jika di alam demokrasi justru makin subur para penjilat kekuasaan, penista agama dan berbagai bentuk perilaku amoralitas. Islam akan menjadi sasaran serangan oleh demokrasi melalui mulut para pemujanya. Biaya politik demokrasi sangat tinggi yang menyebabkan perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha. Lebih ironis lagi jika yang menjadi penguasa adalah para pengusaha, sempurna kehancurannya.

Robert Mitchel dalam bukunya “Political Parties, a Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy” menyebutkan kemunculan oligarki merupakan konsekuensi dari proses yang terjadi dalam suatu organisasi, termasuk partai politik. Makin besar organisasi atau partai politik tersebut, kecendrungan mengarah kepada oligarki tidak dapat dihindarkan. Kecendrungan ini disebut Michel sebagai oligarki demokrasi. Yang pada akhirnya, perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa ini akan melahirkan hukum besi oligarki, di mana kepentingan sekelompok orang (minoritas), tidak mewakili kepentingan orang banyak (mayoritas).

Seperti lingkaran setan, relasi antara demokrasi dan oligarki yang senyatanya telah menjadi malapetakan peradaban modern tanpa pernah ada ujungnya. Karena itu, solusinya hanya satu yakni buang demokrasi dan terapkan Islam. Sebab dengan sistem Islam, oligarki tidak akan bisa tumbuh. Konsep kepemilikan dalam Islam tidak memungkinkan tumbuhnya oligarki.

“Harta rampasan (fai’) dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al Hasyr : 7)
 
Wallahua’lam bish-shawab.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar