Subscribe Us

REVISI UU ITE: TAMENG ANTI KRITIK PEJABAT PUBLIK


Oleh Siti Aisyah, S. Sos.
(Kontributor Vivisualiterasi Media)


Vivisualiterasi.com- Akhirnya pasal karet UU ITE yang kerap disalahgunakan resmi berlaku. Dilansir dari laman Tirto, tepat 2 Januari lalu, Presiden Joko Widodo telah resmi menandatangani UU No 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU No 11 tahun 2008 yakni tentang infomasi dan transaksi elektronik.
Perubahan kedua ini merupakan hasil dari banyaknya kritikan dari para pegiat dan aktivis terhadap pasal-pasal yang termaktub dalam UU ITE. Wajah baru UU ITE ini diharapkan lebih progresif dan komprehensif dalam mengatur penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik
Kendatipun UU ITE sudah direvisi, banyak pihak menilai UU ITE masih berpotensi disalahgunakan. Penyalahgunaan itu khususnya terkait pasal 27 ayat (3) yang berbunyi, "Melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hal mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Wajah Baru UU ITE: Potensi Kriminalisasi

Dinukil dari Koran Tempo, revisi UU ITE tak menjamin minim kriminalisasi. Sejumlah pegiat mengkritik UU ITE yang baru. Pasal kontroversial masih bercokol. UU ITE dinilai tetap tidak memberikan rasa aman bagi kebebasan warga sipil dalam berekspresi. Bahkan sejumlah pegiat menilai UU revisi malah berpotensi melanggengkan kriminalisasi terhadap suara kritis dari masyarakat.

Pakar Hukum Pidana dan Kriminologi, Fachrizal Affandi menyatakan bahwa pengesahan tersebut menambah potensi kriminalisasi terhadap masyarakat sipil yang masih besar. Revisi Kedua justru menghidupkan lagi pasal-pasal yang bermasalah. Seperti pencemaran nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses. 
Misalnya, pasal karet seperti pasal pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan atau pencemaran nama baik, masih dipertahankan. Pasal 27 ayat (3) sebelumnya kerap digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis maupun aktivis atau masyarakat yang kritis terhadap pemerintah. Tentu dapat diingat kasus yang menimpa aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang saat itu mengkritisi adanya konflik pejabat publik yang terlibat dalam bisnis tambang Papua, yakni Menko Luhut Binsar Panjaitan. Atas tindakan itu, dengan tameng pasal 27 ayat 3 ini, keduanya dilaporkan terkait dugaan pencemaran nama baik terhadap Menko Luhut Binsar Panjaitan.

Di bawah tameng Pasal 27 ayat 3, seseorang- siapapun itu- yang menyuarakan pendapatnya atau mengkritisi pejabat publik atau pemerintah dapat terjerat kurungan penjara. Terlebih dalam revisi UU ITE terdapat pasal yang dianggap justru dapat melanggengkan ancaman atau hukuman atas pencemaran nama baik. Itu artinya, seseorang dapat dengan mudah dipidanakan hanya karena sebuah pendapat atau kritikan yang dinilai merugikan pihak yang dikritisi.

Ini merupakan gambaran jelas bahwa revisi UU ITE membuat pemerintah tana Di dalamnya terdapat poin multitafsir sehingga mengundang beragam penilaian. Tidak ada limitatif terkait ketentuan-ketuaan yang termaktub dalam pasak tersebut, contohnya perihal unsur kesengajaan dalam penyebaran informasi, serta definisi ujaran kebencian dan pencemaran nama baik itu sendiri masih jasi soal yang belum jelas standarnya. Serta regulasi dalam pembuktiannya belum jelas pula. Siapapun ketika keberatan atas pendapat seseorang terhadapnya, lalu ia merasa bahwa nama baiknya sudah tercemari, maka si pengkritik bisa dipidanakan.

Maka pentingnya pengaturan terkait informasi dan transaksi elektronik harus dibarengi dengan panduan atau pedoman pelaksanaan yang transparan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Dengan kata lain, Revisi UU ITE masih memiliki celah bagi oknum-oknum dalam menyalahgunakannya. Ini menunjukan adaya relasi kuasa dengan kepentingan patra pengguna UU ITE tersebut, sehingga para pemegang kekuasan merasa lebih diuntungkan. Terlebih, perumusan Revisi UU ITE ini dilaksanakan secara tertutup. Mengesankan bahwa pemerintah mengabaikan adanya partisipasi publik.

Pandangan Islam: Kritik Bagian dari Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Kritik pada korporasi atau pemerintah sejatinya adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Suatu hal yang tidak asing dalam kehidupan daulah Islamiyah. Para penguasa adalah manusia biasa yang dapat melakukan kekeliruan. Sehingga perlu adanya kontrol dari masyarakat agar penguasa kemabli pada koridor yang semestinya. Dan Para penguasa harus menerima dengan lapang dada terhadap kritikan atasnya. Menjadikannya sebagai bentuk muhasabah (perbaikan) dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Terdapat dua hal penting yang mesti dipahami terkait masukan atau kritikan. Pertama, masukan sebagai sarana saling menasihati. Islam mengajarkan untuk saling memberikan nasihat dalam hal kebaikan dan kebenaran. 
Kedua, kritik sebagai muhasabah bagi para penguasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa pejabat public atau penguasa, sebagai seorang manusia, pasti melakukan kekeliruan dalam menjalankan tugasnya. Sehingga ada kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak tepat atau tidak adil. Dengan adanya masukan atau kritikan, jadi ajang para penguasa untuk muhasabah agar lekas menghindari hal-hal yang bisa menjerumuskannya pada berbuat maksiat dan zalim. Dalam hal ini, bahkan Islam menyebut rakyat yang menasihati penguasa adalah setara dengan kebaikan jihad.

Rasulullah saw bersabda, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud No 4344, Tirmidzi No 2174, Ibnu Majah No 4011).

Disamping itu, amar ma’ruf nahi munkar wajib hukumnya ditegakkan sampai datangnya hari kiamat. Teradapat ancaman Allah bagi siapapun yang abai tehadap amar ma’ruf nahi munkar. Allah berfirman:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim di antara kalian." (QS. A-Anfaal :25)

Maka, amal ma'ruf nahi mungkar dalam Islam /bukanlah sesuatu yang terlarang bahkan mesti dipelihara, baik itu berupa kritikan atau nasihat selama keduanya adalah kebenaran dan kebaikan. 

Khatimah

Pemimpin yang benar bukanlah pemimpin yang antikritik. Rasulullah saw sebagai seorang Nabi pun mendapatkan masukan dari para sahabatnya dan beliau menyambut itu dengan bijak dan lapang dada. Dalam pemerintahan Islam, tidak ada pemimpin yang kebal dari kritikan. Atau bahkan secara sengaja membungkam rakyat dengan regulasi yang dibuatnya. Rakyat bebas mengkritik penguasa sebab itu merupakan bagian dari tugas rakyat yakni amar ma’ruf nahi mungkar. Mencegah penguasa untuk berbuat kemaksiatan dan kemungkaran.

Dengan demikian, agaknya sulit mengharapkan para penguasa dalam sistem demokrasi saat ini berlaku amanah, adil dan bersikap terbuka terhadap kritikan yang didapatnya. Karena belenggu kepentingan pribadi masih besar ketimbang kepentingan rakyatnya sendiri. Inilah dampak dari sistem di negeri ini. Para penguasa tidak menjadikan posisinya sebagai amanah besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada yang lebih baik dalam melayani umat selain sistem Islam. Wallahua'lam.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar