Subscribe Us

PEMILU DAN SIKAP POLITIK UMAT ISLAM


Oleh Imas
(Aktivis Dakwah)


Vivisualiterasi.com- Tahun 2024 ini merupakan
tahun politik, karena bertepatan dengan pemilihan umum (Pemilu). Aktivitas rutin yang berlangsung setiap 5 tahun sekali. Agenda terdekat adalah tanggal 14 Februari, yaitu pemilihan Presiden (Pilpres) yang menjadi ajang perebutan kursi kekuasaan. Semua kontestan sudah mempersiapkan strategi demi mendapatkan kemenangan. Macam-macam cara mereka lakukan, tapi intinya sama dengan yang dilakukan 5 tahun kebelakang. 

Harapan Umat

Mereka (para kontestan) punya tujuan, maka mereka mempersiapkan sarana untuk mencapainya. Hal ini lazim dilakukan siapapun yang mempunyai tujuan.
Dengan kata lain, keinginan mencapai tujuan itu disebut sebagai harapan, berharap menang, berharap berhasil jadi penguasa, berharap semua keinginan tercapai, berharap hidup bahagia dan seterusnya.

Di pihak lain, rakyat juga mempunyai harapan. Berharap bisa memperbaiki kondisi hidup, berharap mendapatkan keadilan, berharap bisa hidup bahagia dan seterusnya.
Harapan ini ingin diwujudkan dengan cara mereka sendiri, cara yang ternyata sejalan dengan ideologi kapitalisme. Ideologi yang sedang mencengkeram mereka saat ini. Mereka menyangka semua harapan dapat terwujud jika hadir pemimpin adil di tengah-tengah mereka. Akhirnya, keinginan mendapatkan pemimpin yang baik adalah harapan mereka.

Padahal, rakyat Indonesia banyak yang menyadari bahwa kondisi negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Berbagai permasalahan datang silih berganti dan tak teratasi. Pergantian kepemimpinan dari waktu ke waktu tidak membuahkan hasil yang diharapkan.

Namun, ibarat orang yang sudah terjerembab pada lubang yang sama berkali-kali, dan kali ini pun akan terjerembab lagi, namun mereka tidak menyadarinya. Mereka selalu terbuai harapan, menganggap kalau pemimpin kali ini akan membawa perubahan.
Bagi rakyat, saat ini seperti tak ada pilihan. Di antara 277 juta penduduk Indonesia, rakyat hanya disuguhi tiga pasangan: Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran, dan Ganjar-Mahfud. Lalu masing-masing pendukung saling menggantungkan harapan pada paslon jagoannya.

Wajarkah Jika Rakyat Berharap pada pemilu?

Rakyat saat ini belum memahami hakikat korelasi pemimpin dan sistem. Mereka masih bergantung pada figur personal saja, tidak menyadari siapa dibalik semua itu. Pihak yang menjadikan setiap paslon hanyalah sebagai "wayang" saja yang sepenuhnya dikendalikan oleh dalang. Juga tidak sampai memikirkan bagaimana sistem yang dipakai dalam praktek kepemimpinannya nanti.

Sesungguhnya tidak bisa tidak, pemimpin baik yang diidamkan akan hadir dari sistem yang baik. Menurut Cendekiawan Muslim, Ismail Yusanto, sistem yang baik haruslah memenuhi beberapa kriteria:

Pertama, calon pemimpin harus benar-benar dipilih oleh rakyat. Bisa saja calon dibatasi, tapi pembatasan itu tidak didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang bersifat transaksional, tapi bersifat rasional.

Kedua, ia dipilih untuk melaksanakan sistem yang baik, yaitu sistem yang berdiri di atas seluruh kepentingan manusia, sehingga terbebas dari konflik kepentingan. Sistem seperti ini hanya mungkin lahir dari luar manusia, itulah sang pencipta manusia. Dialah Allah Swt. Itulah Syariah. Dengan sistem itu, pemimpin tidak mudah menjual kewenangannya. Misalnya memberikan izin eksploitasi SDA kepada korporasi, yang menurut ketentuan syariah harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat, karena ia adalah milik rakyat.

Ketiga, rakyat bukan hanya berhak memilih pemimpin, tapi juga wajib mengawasi agar ia bisa melaksanakan sistem itu dengan sebaik-baiknya.

Keempat, sistem itu harus memiliki nilai ruhiyah. Artinya bisa dilaksanakan, bagi yang meyakini, bernilai ibadah sehingga berpahala dihadapan Allah Swt. Karena itu, sistem itu bukan hanya tidak boleh memisahkan diri dari agama, tapi bahkan harus berdasar agama (Islam). (Media umat edisi 348)

Maka bagi masyarakat yang memiliki kesadaran yang shahih adalah tidak wajar jika masih menggantungkan harapan pada pemilu. Namun, mayoritas kaum muslimin negeri ini belumlah seperti itu. Banyak yang belum memiliki kesadaran yang shahih, bahkan sampai kalangan intelektual pun. Apalagi masyarakat awam, mereka baru mampu menyerap fakta yang ada, dan dihukumi dengan pengetahuan terbatas mereka.

Sehingga pada akhirnya seakan wajar-wajar saja masyarakat masih berharap pada pemilu, bahwa suksesi kepemimpinan akan mengantarkan pada perubahan ke arah yang lebih baik.

Harapan Hanya Ada Pada Sistem Islam 

Sesungguhnya hanya Islam yang bisa membangkitkan umat Islam. Sistem sekuler yang saat ini diterapkan di Indonesia, juga di negeri-negeri muslim lainnya, tidak akan pernah menghasilkan kebaikan dan kemajuan. Sebab sistem itu adalah sistem yang rusak dan bertentangan dengan akidah Islam. Sistem ini telah nyata-nyata menjauhkan umat Islam dari harta miliknya yang paling berharga, yaitu kecintaan kepada agama Allah Swt. Oleh karena itu sistem ini tidak pernah sungguh-sungguh mendapatkan dukungan dari umat Islam. Bagaimana akan tercipta kebaikan dan kemajuan dalam sebuah masyarakat, bila sistem yang diterapkan tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari rakyatnya?

Bila sistem yang diterapkan sejalan dengan akidah umat, maka akan terbentuk sinergi yang produktif antara sistem dan umat. Sehingga akan terjadi dinamika luar biasa di tengah-tengah masyarakat. Dalam bentangan sejarah dunia, Islam terbukti berhasil membangkitkan masyarakat. Dari yang sebelumnya hidup dalam kebodohan dengan menjadi sebuah masyarakat mulia, yang mengawali terbentuknya peradaban agung yang berkemajuan. Sebuah kebangkitan luar biasa yang belum pernah dilakukan oleh sebuah peradaban mana pun. Itulah masyarakat Islam pertama dalam naungan Daulah Islam, yang disebut juga Daulah Khilafah pertama di Madinah al-Munawwarah. Selama lebih dari satu milenium, peradaban Islam nan gemilang itu menjadi mercusuar bagi seluruh umat manusia.

Dalam konstelasi politik Internasional, Daulah Khilafah menjadi negara nomor satu selama berabad-abad tanpa pesaing. Daulah Khilafah berhasil menyatukan berbagai sumber daya yang luar biasa besar yang dimiliki umat Islam dalam sebuah institusi negara yang luasnya mencapai tiga benua. Khilafah telah menggariskan sebuah kebijakan yang dibangun di atas dasar prinsip keadilan dan kebenaran, hingga ia mampu menjadi pemimpin bangsa-bangsa yang ada.

Kabar tentang keadilan Daulah Khilafah tersebar luas melintasi perbatasan wilayah kekuasaannya. Hal ini membuat banyak sekali manusia tertarik untuk masuk Islam. Saat wilayah-wilayah itu direbut pasukan Tartar dan tentara salib, umat Islam di tempat itu tak sedikitpun menyerah. Mereka terus berjuang hingga akhirnya berhasil merebut kembali wilayah itu dan mengakhiri penjajahan di sana.

Inilah umat terbaik (khairu ummah) yang diturunkan Allah Swt. yang menjadi contoh bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah Swt:

كنتم خير امة اخر جت للناش تامرون بالمعروف وتنهون 
عن المنكر وتؤمنون بالله

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang Munkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali' Imran: 110)

Kondisi semacam ini insyaAllah dapat diwujudkan kembali asal umat Islam mau kembali pada rahasia kejayaan Islam, yakni diterapkannya sistem Islam secara kaffah melalui Daulah Khilafah di satu atau lebih negeri Muslim yang kuat, sebagai titik awal proses penyatuan kembali atau reunifikasi seluruh dunia Islam.

Sikap pragmatis masyarakat 
Ketika diberi penjelasan seperti itu, banyak di antaranya yang mengerti, bahkan sangat percaya dengan janji akan tegaknya Daulah Khilafah tsaniyah. Namun, mereka lantas bertanya langkah kongkrit saat ini bagaimana? Apakah ikut mencoblos pada pemilu, memilih salah satu Paslon?, atau bergabung parpol yang menjadi kontestan pemilu atau bagaimana?
Ataukah tidak usah berpartisipasi dalam pemilihan, tapi setelah salah satu Paslon goal, lalu didatangi, dikontak dan diharapkan menjadi ahlunnushrah?

Tentu menjadi tantangan yang besar bagi kita, untuk mengarahkan energi yang besar yang berasal dari masyarakat ini. Karena mayoritas penduduk negeri ini masih umat Islam. Mereka harus difahamkan bahwa perjuangan harus menempuh jalan panjang berliku, diwarnai onak dan duri. Sebagaimana para nabi dan Rasul juga para sahabat menempuhnya.

Mengarahkan Energi Masyarakat 

Masyarakat adalah objek dakwah Syariah dan Khilafah. Mereka akan jadi pemeran utama dalam perjuangan. Sebenarnya jalan yang menjamin suatu bangsa dapat menjadi maju, hanyalah satu yaitu adanya kebangkitan yang berarti, yakni secara menyeluruh yang dapat meningkatkan pola berpikir umat. Makna kebangkitan ini bukan berarti terletak pada peningkatan taraf ekonomi, sebagaimana anggapan kebanyakan orang saat ini. Begitu pula kebangkitan, bukanlah sekedar kemajuan di bidang akhlak. Namun, satu-satunya jalan untuk menuju kebangkitan adalah melalui al-irtifaaul fikri (meningkatkan taraf berfikir) umat, seperti pemikiran yang berkaitan dengan pandangan hidup yaitu pemikiran yang menurut orang sekarang disebut ideologi. Pemikiran ini pada dasarnya merupakan landasan pemikiran (qaidah fikriyah) yang menjadi tolok ukur terhadap segala bentuk pemikiran dan menjadi dasar terbentuknya pemikiran-pemikiran lain yang dapat memecahkan problema kehidupan. Sekaligus merupakan tuntunan berfikir (qiyadah fikriyah) yang menuntun manusia dalam menghadapi segala problematika kehidupan.

Yang dimaksud dengan peningkatan taraf berfikir (al-irtifaaul fikri) adalah proses perpindahan dari aspek hewaniyah kepada aspek insaniyah. Jadi berfikir untuk sekedar mendapatkan makanan adalah suatu bentuk berpikir, akan tetapi pemikiran semacam ini adalah pemikiran rendah/primitif. Karena semata-mata ia berfungsi memenuhi kebutuhan jasmaniah. Akan tetapi berpikir dalam kaitan ini, tentang cara bagaimana memperoleh makanan yang halalan thayiban adalah pemikiran yang lebih tinggi daripada pemikiran sebelumnya.

Apabila peningkatan taraf berfikir ini didasarkan suatu 'asas ruhy' (Ruhani) yaitu atas dasar keyakinan bahwa alam, manusia dan kehidupan adalah makhluk Allah, sebagai pencipta alam semesta (al-khaliq) dan diatur atas perintahNya, maka kebangkitan tersebut adalah kebangkitan yang benar.

Apabila kebangkitan berpikir tersebut tidak didirikan atas dasar ruh (ajaran Islam), memang bisa menghasilkan kebangkitan. Akan tetapi, kebangkitan seperti itu adalah kebangkitan yang salah. Itulah model kemajuan berpikir yang diperoleh negara-negara Eropa, Amerika, Rusia saat ini.

Jadi, tidak ada suatu kebangkitan yang benar melainkan kebangkitan atas dasar fikrah Islamiyah (aqidah Islam), karena hanya fikrah/aqidah inilah satu-satunya kebangkitan yang mempunyai tujuan untuk terwujudnya peningkatan taraf berfikir atas dasar 'ruhy' yang memiliki kebenaran mutlak, karena ia tegak atas asas:
لااله الا الله محمد رسو ل الله
"Tidak ada yang patut disembah dan ditaati (secara mutlak) selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah". (Abdurrahman al-Baghdadi, Dakwah Islam & Masa Depan Umat)

Untuk itu, rakyat harus dicerdaskan supaya tidak selalu menjadi alat legitimasi politik bagi para elit politik. Caranya, tentu dengan dakwah dalam perspektif Islam atau dengan edukasi Islami. Sehingga dihasilkan kesadaran yang baik, sesuai standar Allah Swt. Dan standar politik yang baik adalah standar politik Islam. 

Walhasil, menghadapi masyarakat yang masih berharap banyak pada pemilu tidak dapat dihindari, karena bisa jadi mereka adalah teman-teman kita, tetangga bahkan famili kita sendiri. Yang terbaik tentu dakwahi mereka secara pemikiran, sampaikan bahwa pemilu adalah kamuflase pergantian kepemimpinan. Yang akan dihasilkan adalah pemimpin serupa dengan yang sebelumnya, karena pada hakikatnya tuan mereka adalah sama, para cukong kapitalis liberal satu paket dengan ideologinya. Hal terpenting harus disingkirkan dulu ideologi ini, kemudian ganti dengan ideologi Islam. Niscaya jaminan kehidupan sesuai harapan bisa jadi kenyataan. Wallahua'lam [Irw]

Posting Komentar

0 Komentar