Subscribe Us

ODGJ PUNYA HAK SUARA, WARASKAH?


Oleh Ummu Rofi' 
(Pemerhati Publik) 


Vivisualiterasi.com- Dalam kehidupan, ada pribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sistem kehidupan saat ini seperti pribahasa tersebut. Yang di mana sistem saat ini rusak, maka aturan yang dihasilkannya pun rusak. Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) memiliki hak suara, bukankah suatu yang aneh ODGJ memiliki hak suara? Maka Islam punya aturan dalam memilih seorang pemimpin. Selain itu, kaum muslimin yang memilih tidak hanya sehat jasmani tapi harus sehat rohani (akal pikiran). 

Dilansir dari detiknews.com (Sabtu, 16/12/2023), Anggota Divisi Data dan Informasi KPU DKI Jakarta Fahmi Zikrillah menyatakan, "ODGJ atau disabilitas mental di DKI, kami berikan pelayanan untuk bisa memilih dalam Pemilu 2024." Fahmi pun memberikan contoh salah satu tempat ODGJ di Panti Bina Laras, Jakarta Timur. Di Panti tersebut tercatat sebagai TPS pemilu di tahun mendatang.

Dirinci total pemilih di TPS Panti Sosial Bina Laras Jakarta Timur adalah nomor TPS 72 terdapat 280 pemilih laki-laki, TPS 73 terdapat 118 laki-laki dan 158 perempuan. Nomor TPS 91 terdapat 6 laki-laki dan 210 perempuan, serta nomor TPS 92 terdapat 155 perempuan. Berdasarkan data dari KPU DKI Jakarta, tercatat DPT untuk Pemilu 2024 berjumlah 8.252.897 pemilih. Dari total keseluruhan 8,2 juta jumlah pemilih, 61.747 di antaranya merupakan penyandang disabilitas termasuk 22.871 disabilitas mental atau ODGJ.

Fakta di atas jelas, bahwa DPT (Daftar Pemilih Tetap) 2024 yang diberikan kepada ODGJ adalah hal yang sangat tidak waras. Meskipun semua warganegara memiliki hak suara dalam memilih. Tapi itu tidak masuk akal, meski nanti akan diberikan perawatan dan rehabilitas ODGJ dan didampingi oleh KPU.

Sungguh sangat aneh pemilu 2024, padahal pernah ada pasalnya ODGJ dilarang tidak mendapatkan hak suara. Pada pasal dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Namun di tahun 2024 ODGJ diberikan hak suara dan sudah diberikan ruang dalam Surat Edaran KPU RI Nomor 1401/PL.02.1-SD/01/KPU/XI/2018 tentang Pendaftaran Pemilih Bagi Penyandang Disabilitas Grahita/Mental. (Kompas.com, 10/04/2019)

Kenapa itu bisa terjadi? Dan ketetapan itu pun sudah diatur oleh undang-undang Tahun 2018. Tidak heran ketika kita kaji ulang, bahwa aturan kehidupan saat ini adalah memakai sistem buatan akal manusia yakni kapitalisme-sekularisme-demokrasi. Di mana sandarannya akal manusia. Bukan dari sang pembuat hukum yaitu Allah Swt. Maka setelah kita mengetahui aturan ini dari akal manusia yang serba terbatas dan lemah. Tidak akan mampu menyelesaikan problematika umat saat ini, yang ada hanya menambah permasalahan lain. Saat ini sedang masa pemilu, dan aturan ditetapkan ODGJ mendapat hak suara. ODGJ akalnya tidak lagi baik-baik saja, bisa dikatakan ODGJ adalah orang yang sedang sakit mentalnya alias akalnya. Diminta untuk memilih tapi akalnya sedang sakit, apakah itu suatu yang normal? Tidak. Inilah ketika aturan dibuat oleh manusia, di mana sesuai hawa nafsu dan asas kepentingan kelompok atau dirinya. 

Semua fenomena ini hanya ada di sistem kufur, karena kapitalisme-sekularisme-demokrasi itu dari Barat bukan dari Allah Swt. Maka ini adalah sistem kufur yang buat orang kafir (musuh Islam). Meskipun negeri ini mayoritas muslim tetap saja aturannya bukan aturan Islam tapi aturan kufur. Dan juga aturan saat ini punya standar ganda. Di saat ODGJ melakukan kriminalisasi terhadap ulama ia dikatakan ODGJ dan bebas dari sanksi, tapi di lain kondisi saat pemilu, ODGJ diberikan hak pilih. Sungguh sangat tidak waras berhukum dengan hukum kufur saat ini. Masyarakat yang sedang sakit malah dilibatkan dalam pemilihan, meskipun nanti mereka akan diberi perawatan dan rehabilitasi, ditambah surat dokter. Tetap saja seharusnya mereka dijamin kebutuhannya, tidak dilibatkan dalam pemilihan. Karena mereka sedang sakit mentalnya. Dan setiap pilihan akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Dan ODGJ akalnya sedang sakit apakah dia mengetahui pilihannya itu baik dalam memimpin atau sebaliknya? Mereka saja sedang berjuang untuk sembuh. Tapi negara membebankan mereka dengan ikut pemilihan pemilu tahun 2024. Miris!

Berbeda dengan sistem Islam, Islam sebagai ideologi yang dibangun dari asas akidah Islam. Memiliki aturan yang sempurna dan paripurna. Mampu menyelesaikan segala problematika umat. Karena kita tahu bahwa manusia itu lemah dan terbatas. Jadi problematika yang ada seharusnya dikembalikan kepada Sang Pencipta dan Pengatur seluruh makhluk. Jadi, Allah menciptakan manusia dengan sempurna diberikan akal untuk membedakan baik dan buruk. Semua perbuatan akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak. Maka akal ini harus digunakan dengan sebaik-baiknya bukan untuk membuat aturan lagi. Maka akibatnya saat ini kesengsaraan, perselisihan, perbedaan yang terjadi di tengah kehidupan saat ini. Dalam Islam pemilihan pemimpin atau khalifah itu ada syarat-syaratnya. Dan bagi yang memilih itu kewajiban kaum muslim yang sehat jasmani dan akalnya alias tidak gila. Karena orang gila dalam Islam tidak diberikan beban hukum. Orang gila termasuk yang diangkat penanya oleh Allah Swt. Di mana yang diriwayatkan dari Asiyah ra, dari Rasulullah saw bersabda:

"Diangkat pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga kelompok: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga mimpi basah, dan orang gila hingga berakal.” (HR. Ahmad, Addarimi, dan Ibnu Khuzaimah)

Jelas, orang gila yang sedang sakit akalnya tidak diberikan beban hukum, dan dalam memilih khalifah kaum muslim yang sehat akal dan jasmaninya. Karena semua pilihan akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak. Tidak asal dalam membuat aturan, semua sudah Allah atur dalam Al-Qur'an, as-sunah, ijma' sahabat dan qiyas.  

Saat ini meskipun nanti dipilih-pilih ODGJnya, tetap saja ketetapan ini berhukum kepada akal manusia, tidak berhukum kepada aturan Allah Swt., dan tidak akan menghasilkan manusia yang bertakwa dan bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Maka sebaliknya sistem Islam melahirkan individu-individu yang bertakwa, bertanggung jawab dan tegas. Karena seorang muslim menyadari dirinya hanya seorang hamba yang Allah ciptakan untuk bertakwa kepada Allah, harus mengikuti aturan yang Allah sudah tetapkan. Maka jarang ditemukan pada masa Islam ODGJ, bahkan tidak ditemukan ODGJ ikut dalam pemilihan khalifah. Karena akalnya sedang tidak sehat, meskipun hanya penyandang disabilitas. Mereka sedang butuh penyembuhan agar kembali sehat akalnya. 

Jadi, hanya Islam yang mampu mengatur urusan masyarakat sesuai fitrahnya, maka aturan harus dikembalikan kepada sang pembuat hukum yakni Allah Swt yang sudah tertuang di dalam Al-Qur'an dan hadits. Tidak seperti saat ini mengakal-akali dalam membuat hukum atau aturan kehidupan manusia, khususnya dalam aturan pemilihan pemimpin. 

Dan perlu diperhatikan, pemimpin memiliki syarat yakni ada 7 syarat yang harus dipenuhi: Laki-laki, berakal, muslim, baligh, adil, merdeka, dan memiliki kemampuan. Itu syarat sebagai khalifah. Maka, kaum muslim sudah seharusnya menerapkan hukum Allah, agar semua terwaraskan di dalam sistem Islam. Apakah ketika ODGJ memilih dia akan paham nantinya? Sistem saat ini hanya ingin mengambil suara, tidak melihat aspek pertanggung jawabannya di yaumil akhirat kelak. Wallahu a'lam bish-showab.[Dft]

Posting Komentar

0 Komentar