Subscribe Us

KONFLIK AGRARIA SEMAKIN MENJADI, BUTUH SOLUSI PASTI


Oleh Novita Mayasari, S. Si.
(Tim Sosmed Vivisualiterasi Media)


Vivisualiterasi.com- Semua keluarga yang ada di muka bumi ini fitrahnya menginginkan dan mendambakan kehidupan yang penuh dengan kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan serta membutuhkan tempat tinggal yang nyaman dan tenang dalam menjalani hidup. Tentu tidak ingin terbesit sedikit pun hari-harinya diliputi dengan berbagai macam kecemasan dan konflik. 

Namun sayang, kehidupan sebagian besar masyarakat hari ini diliputi ketakutan dan kecemasan serta ketidakberdayaan akibat semakin meningkatnya konflik lahan atau konflik agraria. Yaitu konflik perampasan hak tanah dari warga yang tinggal di wilayah tersebut dengan segelintir elit oligarki ataupun pengusaha kaya raya (modal besar) yang menginginkan tanah tersebut demi kepentingan komersil.

Tentu yang terdampak dari konflik agraria ini pun tidak sedikit, yakni sekitar 2,25 juta kepala keluarga (KK).

Sebagaimana dikutip dari databoks.katadata.co.id (Jum'at, 12/01/2024), selama periode 2009—2022, setidaknya ada 4.107 kasus konflik agraria di Indonesia, yang berdampak pada sekitar 2,25 juta kepala keluarga (KK). Databoks menghimpun angka ini dari rangkaian laporan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yang rutin mereka rilis sejak 2009.

Selain itu, sepanjang 2009 - 2022 konflik agraria paling banyak tercatat pada era pemerintahan Presiden Jokowi, yaitu 659 kasus pada 2017. Banyaknya kasus itu diiringi dengan tingginya jumlah korban. Pada 2017, masyarakat yang terdampak konflik agraria mencapai 652 ribu kepala keluarga (KK).

Sungguh miris nasib rakyat kecil karena ketidakberdayaannya dalam menghadapi konflik agraria ini terpaksa akhirnya merelakan tempat tinggalnya digusur dan pindah ke tempat yang jauh dari kata nyaman yang telah disediakan oleh pengusaha tersebut sebagai ganti ruginya.

Lalu dimanakah peran negara, ketika rakyatnya banyak yang terzalimi?

Demokrasi Kapitalisme Menyuburkan Konflik Agraria

Terkait konflik agraria yang semakin masif di negeri ini tentu saja negara telah melakukan berbagai upaya, misalnya menerbitkan sertifikat tanah. Namun. sayang, dengan adanya penerbitan sertifikat tanah tersebut ternyata tidak bisa menyelesaikan konflik agraria. Karena tanah-tanah yang disertifikasi oleh pemerintah tersebut ternyata bukanlah tanah yang berkonflik tetapi tanah masyarakat biasa yang memang belum punya sertifikasi. 

Di sisi lain, negara dengan UU Cipta Kerja justru membuat konflik agraria semakin meningkat dan banyak konflik agraria yang belum terselesaikan karena lebih mengutamakan proyek strategis nasional (PSN) dengan merampas lahan masyarakat seperti yang terjadi di desa Wadas, Jawa Tengah, kemudian Pulau Rempang, Riau dan Pulau Obi, Halmahera Selatan.

Sudah seharusnya negara hadir dalam rangka memberikan solusi atas konflik lahan, namun justru negara-lah yang menjadi penyebab konflik lahan terjadi, yaitu dengan memberikan izin konsesi yang tertuang pada Perpres 78/2023 sehingga memudahkan perampasan terhadap lahan masyarakat dengan dalih proyek pembangunan nasional.

Begitulah ketika demokrasi kapitalisme yang diterapkan oleh negara saat ini, sungguh tidak akan pernah bisa menjamin ruang hidup aman bagi rakyatnya. Tentu saja pemerintah tidak akan melewatkan kesempatan untuk terus membuka pintu peluang investasi asing dalam semua bidang. Meskipun pemerintah memberikan sejumlah uang pengganti terhadap tanah yang dirampas namun kenyataanya, ganti rugi tersebut tidaklah sebanding dengan apa yang telah dirampas oleh para elit oligarki. Masa depan anak-anak yang kabur, ruang hidup dan tanah mereka yang terampas. 

Sungguh, begitu menderitanya ketika diatur oleh sistem demokrasi kapitalisme, di mana para pengusaha yang bermodal besar bisa bertindak sesuka hati untuk menguasai hajat hidup publik demi keuntungan pribadi tanpa memperdulikan nasib rakyat kecil yang tersakiti.

Islam Mampu Selesaikan Konflik Agraria

Negara di dalam Islam mempunyai peran yang sangat penting bagi rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin di dalam Islam itu ialah sebagai pelindung dan mengurusi rakyatnya untuk menjamin segala macam kebutuhan rakyat berikut ruang hidup yang aman dan nyaman. Sehingga tidak ada lagi kisah rakyat kecil yang tergusur dari tanahnya sendiri.

Sebagaimana konflik agraria ini tumbuh subur dalam sistem kapitalisme, namun justru konflik seperti ini tidak akan ditemui dalam sistem Islam. Hal ini dikarenakan Islam memiliki konsep yang detil dan jelas tentang kepemilikan lahan, yaitu di dalam islam terdapat 3 jenis kepemilikan, yakni kepemilikan individu, umum dan negara. Terkait kepemilikan individu maka individu boleh saja memiliki tanah, rumah, kebun maupun sawah asalkan cara mendapatkan kesemua tadi sesuai dengan syariat islam.

Namun untuk kepemilikan umum seperti barang tambang yang tidak terbatas (batu bara, emas, besi dll), hutan, sungai maupun sarana-sarana umum dan lain sebagainya justru tidak boleh dikuasai individu apalagi dikuasai asing/swasta. Semua harta milik umum wajib dikelola oleh negara dan hasilnya nanti akan dikembalikan untuk kemaslahatan umat.

Oleh karena itu, negara tidak boleh seenaknya mengambil bahkan merampas tanah milik pribadi apa pun alasannya, kecuali individu tadi memang ridho dan rela untuk melepas tanahnya tersebut. Tentunya keridhoan dan kerelaan individu di dapat dengan cara membeli tanah mereka dengan harga yang pantas maupun ditukar dengan sesuatu yang nilainya sepadan dengan tempat tinggal yang mereka tinggali.

Kejadian seperti ini sesungguhnya pernah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab, yaitu saat salah satu walinya Amru bin Ash ingin memperluas pembangunan masjid dan hendak menggusur tanah seorang Yahudi. Karena warga Yahudi tersebut tidak mau digusur akhirnya Yahudi tadi mendatangi Khalifah Umar untuk mengadu dan meminta keadilan padahal wali tadi membeli tanahnya dengan harga yang cukup tinggi namun Yahudi tadi tetap tidak mau digusur. 

Alhasil Umar memberikan tulang yang digaris untuk diberikan kepada Amru bin Ash. Ketika Amru bin Ash mendapati tulang tersebut lantas Amru bin Ash langsung membatalkan proyek untuk perluasan pembangunan masjid dan membiarkan seorang Yahudi tersebut tetap tinggal di tanahnya. Tulang dengan garis tersebut merupakan tamsil -perumpamaan dengan umpama (misal)- agar Amru bin Ash berlaku Adil.

Maka sudah seharusnya tugas Kepala Negara (Khilafah) adalah melindungi, mengayomi dan mengurus umat. Bukan malah mengurusi urusan segelintir oligarki demi keuntungan semata. Wallahua'lam bish-shawab. [Dft]

Posting Komentar

0 Komentar