Oleh Yani Suryani
(Pendidik dan Pegiat Literasi)
Vivisualiterasi.com- Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem demokrasi. Secara etimologis, demokrasi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, yaitu demos dan kratos. Demos berarti rakyat dan kratos artinya kekuasaan yang mutlak. Maka secara harfiah demokrasi adalah kekuasaan yang mutlak oleh rakyat.
Saat ini pun hanya tinggal menghitung hari saja negeri ini akan melaksanakan pesta demokrasi untuk memilih Presiden dan wakilnya, Anggota Legislatif dan anggota Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Jika kita menoleh kebelakang, jujur kita akui perjalanan dari hasil pemilu dan telah terpilih para pemimpin, anggota legislatif dan anggota DPD pun banyak yang justru meninggalkan rakyat saat mereka sudah terpilih. Menjelang pemilihan akan mengeluarkan kalimat yang berisi janji-janji untuk menarik simpati rakyat, berbagi demi mendapatkan suara saat pencoblosan akan terlihat. Namun saat sudah menjabat akan terjangkit penyakit amnesia.
Mari kita lihat dari undang-undang yang jelas-jelas tidak berpihak kepada rakyat. Undang-undang Cipta Kerja saja yang banyak penolakannya tetap digolkan. Namun undang-undang yang menjegal keinginan penguasa akan secara instan bisa berubah. Faktanya, saat ini Indonesia merupakan negara oligarki.
Oligarki adalah bentuk struktur kekuasaan di mana kekuasaan berada di tangan segelintir orang. Segelintir orang ini adalah mereka yang memiliki karakteristik seperti pengusaha, bangsawan, ketenaran, kekayaan, pendidikan, agama, politik, atau control perusahaan. Buktinya negara ini adalah negara oligarki, karena penguasa yang saat ini menjabat, mayoritas adalah pengusaha.
Yang terhangat adalah saat akhirnya MK mengabulkan untuk merubah usia bagi capres dan cawapres menjadi 40 tahun, hingga akhirnya akan mudah bagi para elit yang memiliki kepentingan untuk maju ikut dalam bursa capres dan cawapres. Inilah sistem demokrasi yang terjadi.
Menurut salah satu cawapres yang dilansir www.porosjakarta.com edisi 6 Januari 2024, disampaikan pada pidato ilmiah secara virtual pada acara wisuda Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai, Sabtu (6/1/2024), ketidakpastian hukum merupakan salah satu alasan terjadinya kemunduran di Indonesia. Bahkan beliau memberikan contoh saat pengusaha harus melewati prosedur rumit akan menjadi mudah dengan adanya praktik suap agar mendapatkan izin atau investasi. Praktik korupsi ini menciptakan ketidakpastian.
Sistem ini pun sangat menyuburkan korupsi. Negeri ini menjadi ladang subur para koruptor. Bagaimana rakyat akhirnya banyak dikecewakan oleh ulah para koruptor dan berdasarkan data yang terbanyak melakukan korupsi adalah para penguasa yang duduk di Lembaga yang terhormat dan mereka adalah yang mendapat amanah dari rakyat.
Bukankah mereka disumpah ketika sebelum menjalankan tugas dengan sumpah yang sakral. Sumpah dan janji yang diucapkan di atas kitab suci kepercayaan masing-masing. Ini menunjukkan bahwa sumpahnya adalah kepada Tuhan yang diimani. Lalu begitu mudahkah mereka untuk mengkhianati rakyat yang telah memberikan kepercayaannya? Lagi-lagi sistem demokrasi menyuburkan korupsi.
Saat mencalonkan baik sebagai capres dan cawapres, anggota legislatif maupun anggota DPD, sudah bukan rahasia lagi jika uang merupakan hal yang sangat dibutuhkan untuk memuluskan jalan dan mewujudkan keinginan dan cita-cita. Jika tak ada uang, maka jangan berharap akan bisa terwujud. Untuk itulah mengapa para terpilih kelak akan bermain dengan para pengusaha dan akan lebih bergandengan tangan. Karena kebanyakan para pengusaha-lah yang telah memberikan modal untuk memuluskan jalan menuju singgasana kekuasaan.
Jadi, sistem ini sebenarnya adalah sistem yang hanya akan melanggengkan para elit politik yang punya kepentingan. Dekat dengan rakyat hanya saat ingin dipilih agar suara rakyat diperoleh, namun saat sudah terpilih, mereka akan lebih mementingkan para penyandang dana yaitu pengusaha. Lalu apa yang akan kita dapatkan jika kita mempertahankan sistem yang hanya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat?
Sistem ini adalah buatan manusia, manusia sungguh terbatas. Terbatas dalam segala aspek. Apalagi membuat aturan yang berharap aturan itu membawa sebuah manfaat bagi manusia dan alam sekitar. Alih-alih ingin membuat sebuah kemanfaatan justru kerusakan malah yang terjadi. Karena ketika manusia membuat aturan, hawa nafsu dan keserakahan akan muncul dalam diri makhluk yang memiliki keterbatasan.
Saat ini masih banyak orang yang tak begitu tertarik bahkan benci terhadap aturan yang jelas telah terbukti 14 abad mampu bertahan. Mampu membawa kegemilangan, 2/3 dunia telah dipersatukan lewat aturan yang berasal dari zat yang Maha Benar. Setidaknya Islam telah membuktikan bahwa lewat sistem yang diterapkan justru potret manusia yang dimanusiakan terlihat. Mulianya perempuan, tingginya peradaban, kewibawaan sebuah negeri dan masih banyak lagi. Memang saat ini dunia sangat berwarna. Warna keyakinan, ras, adat istiadat dan masih banyak warna-warna lain. Itulah sunnatullah. Dan lewat perjuangan Rasulullah yang dilanjutkan oleh para sahabat dan Khalifah, keberagaman ini mampu dipersatukan lewat aturan. Tak ada paksaan dalam berkeyakinan, namun aturan yang diterapkan dikomandoi oleh seorang pimpinan. Bukankah Allah telah berfirman,
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Al-An’am : 57)
Wallahua'lam bish-shawab.[Dft]
0 Komentar