Subscribe Us

DIBALIK PENINGKATAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN


Oleh Yuniyati
(Kontributor Vivisualiterasi Media)


Vivisualiterasi.com- Surga berada di telapak kaki ibu, itulah gambaran kemuliaan perempuan dan betapa pentingnya peran seorang ibu dalam mencetak generasi. Seorang ibu harus memiliki wawasan yang luas tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Seorang ibu harus selalu ada untuk anak-anaknya sehingga anak-anak akan terpenuhi kebutuhan akan kasih sayangnya. Ibu adalah madrasah yang pertama bagi anak-anaknya.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, peran seorang ibu sebagai pencetak generasi mulia justru tergerus dengan adanya pemikiran sekuler. Mereka menganggap bahwa perempuan yang hebat saat ini adalah perempuan yang berdaya.

Menurut mereka, perempuan dianggap semakin berdaya jika indeks pembangunan gender semakin meningkat.

Perempuan dianggap semakin berdaya ketika mereka mampu memberikan sumbangsih pendapatan dalam keluarganya, perempuan yang mampu menduduki posisi yang strategis di tempat kerjanya, dan perempuan yang yang terlibat dalam politik yang dapat mewakili dalam lembaga legislatif.

Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lenny N Rosalin mengatakan, bahwa perempuan yang berdaya akan menjadi landasan yang kuat untuk pembangunan bangsa. Perempuan yang mewakili lini-lini penting juga akan mendorong peningkatan kesetaraan gender di Indonesia. (ANTARA, 6/1/2024)

Menurutnya pula, harus ada peningkatan kualitas dan peran perempuan dalam pembangunan di tahun 2024, jadi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak akan terus ditingkatkan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan bahwa di tahun 2023 perempuan semakin berdaya dengan ditunjukkan dengan peningkatan indeks pembangunan gender. (REPUBLIKA.CO.ID, 6/1/2024)

Namun dibalik seruan kesetaraan gender, sejatinya perempuan justru semakin banyak mendapatkan permasalahan dalam hidupnya. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka perceraian, Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual dan yang lainnya yang membuat perempuan semakin menderita.

Maraknya perceraian tentunya akan membawa dampak yang luar biasa bagi kehidupan perempuan. Mereka harus menjadi orang tua tunggal untuk anak-anaknya, mereka harus mampu menghidupi dirinya dan dan anaknya dengan cara bekerja keras, sehingga anak-anak akan tumbuh dengan kurangnya perhatian dari seorang ibu. Ditambah lagi ibu harus menghadapi psikologis anak yang labil akibat dari perceraian.

Maka dengan adanya pemberdayaan perempuan yaitu dengan bekerjanya perempuan justru akan menambah kemelut rumah tangga baru, seperti stres karena beban masalah yang dipikul, anak yang tidak terurus dengan baik, emosi yang labil, depresi, bahkan hingga bunuh diri.

Lebih mirisnya lagi, dibalik meningkatnya pemberdayaan perempuan, masih banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan oleh suaminya sendiri, bahkan ada yang harus meregang nyawa.

Dengan tingginya angka perceraian, KDRT, kekerasan seksual dan sebagainya ini membuktikan bahwa dalam sistem sekuler kapitalisme, perempuan bukannya sejahtera justru perempuan semakin menderita. Dengan adanya narasi pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender yang konon dapat menyelamatkan perempuan dari diskriminasi dan penindasan nyatanya hanyalah isapan jempol belaka.

Dalam sistem kapitalisme, perempuan dipandang sebagai kelompok yang harus disetarakan, perempuan dituntut agar setara dengan laki-laki yang harus dikampanyekan.

Beda dengan sistem Islam dalam memuliakan perempuan. Di dalam Islam pemberdayaan perempuan tidak dilihat dari pandangan materi dan ekonomi. Islam memandang perempuan sebagai sosok yang harus dimuliakan dan dihormati.

Di dalam Islam kewajiban mencari nafkah dibebankan kepada laki-laki sesuai dengan kemampuan fisik dan tanggung jawab yang diberikan oleh Allah Swt kepada laki-laki.

Negara juga wajib menjamin kebutuhan pokok pada setiap individu seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan serta pendidikan dan kesehatan secara gratis. Negara juga harus mengadakan lapangan kerja, memberikan bantuan modal usaha dan membekali keterampilan yang akan membantu dan mempermudah kaum laki-laki dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.

Peran perempuan sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya bukanlah kaleng-kaleng. Mereka adalah pencetak generasi yang luar biasa.

Sejarah telah mencatat bahwa pada masa kegemilangan Islam, peran perempuan sungguh tidak bisa dianggap remeh.

Pertama, perannya sebagai ibu yang melahirkan dan membentuk orang-orang besar seperti, ibu dari Imam Syafi'i, Imam Bukhari, Muhammad Al Fatih dan yang lainnya.

Kedua, perannya sebagai istri pemimpin yang mengharumkan nama suami, seperti Fatimah binti Abdul Malik, istri dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Zubaydah binti Abu Ja'far Al Mansyur istri dari Khalifah Harun al-Rasyid.

Tidak ketinggalan perannya juga sebagai ulama dan penasehat para penguasa, seperti Sayyidah Nafsiyah salah satu guru dari Imam Syafi'i, AA Fatimah binti Alauddin Muhammad, atau Karomah binti Muhammad bin Hatim. Mereka menulis beberapa buku hadits dan fikih yang menjadi rujukan oleh para ulama pada zamannya. (Ali Fikri, 1995, Wanita Teladan Zaman)

Jadi, tidak salah jika kita katakan bahwa perempuan adalah ibu peradaban. Sejarah tidak banyak mencatat nama mereka, tetapi hasil perjuangan mereka harus semerbak dalam kenangan umat, sepanjang kegemilangan Islam sekitar 12 abad.

Jadi, bukannya tidak mungkin keharuman perjuangan para perempuan akan terus semerbak saat Islam kembali bangkit. Bukan keniscayaan perempuan akan melahirkan peradaban rahmatan lil 'alamin kembali di muka bumi. Wallahua'lam bish-shawab.[Dft]

Posting Komentar

0 Komentar