Sebagaimana yang diberitakan oleh media republika (06/01/2024), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan bahwa selama 2023, perempuan semakin berdaya yang ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Gender. Hal itu terlihat pada kemampuan mereka dalam memberikan sumbangan pendapatan signifikan bagi keluarga, perempuan menduduki posisi strategis di tempat kerja, dan terlibat dalam politik pembangunan dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.
Benarkah perempuan semakin berdaya dengan kesetaraan? Ataukah kesetaraan justru membawanya pada permasalahan yang makin kompleks, seperti tingginya angka perceraian, KDRT, kekerasan seksual, dan berbagai problem yang membawanya pada jurang penderitaan?
Derita Perempuan
Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) 2023, Komnas Perempuan merilis laporan yang berisi kompilasi data kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2022. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan kekerasan di ranah personal menjadi laporan tertinggi yang diterima Komnas Perempuan. Dalam laporan tersebut, kekerasan diklasifikasikan dalam tiga kategori, yakni personal, publik, dan negara.
Sebagaimana yang dipaparkan detikcom (07/03/2023), kasus di ranah personal yang diadukan ke Komnas Perempuan berjumlah 2.098 kasus. Sementara itu, kasus di ranah publik tercatat ada 1.276 yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan. Adapun kasus kekerasan di ranah negara sebanyak 68 kasus, meningkat hampir dua kali lipat dari 38 kasus pada 2021.
Selain itu, ada 1.697 laporan kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilakukan pada ruang daring (online). Pelakunya merupakan orang yang dekat dengan korban, tidak lain adalah pacar dan mantan pacar korban.
Dari sini kita bisa simpulkan bahwa meningkatnya indeks pemberdayaan gender tak mampu menutupi kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan. Fakta kekerasan dalam rumah tangga hingga berujung perceraian, fakta kekerasan seksual hingga berujung terputusnya seutas nyawa, fakta kasus perempuan yang berhadapan dengan hukum berujung pada kriminalisasi, pengabaian hak-hak perempuan, hingga penyiksaan.
Alih-alih menduduki posisi strategis, perempuan justru terjebak dalam jerat kapitalisme yang menyengsarakan kedudukannya. Iming-iming materi menjadi senjata mengeksploitasi perempuan. Dari sinilah berbagai kasus menimpa perempuan, baik di ranah personal, publik, maupun negara. Jika kita telaah lebih dalam, jerat kapitalisme sejatinya menjauhkan perempuan dari fitrahnya, serta mengeliminasi pemahaman Islam secara mendalam dan mustanir tentang kemuliaan perempuan di benaknya. Pada akhirnya kaum perempuan lupa dengan peran yang sesungguhnya.
Campakkan Sistem
Tak dimungkiri deretan kasus yang dialami oleh perempuan akibat diterapkannya sistem yang berfondasi pada hawa nafsu manusia. Hukum-hukum seputar kesetaraan gender, seperti penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita nyatanya tak mampu mendudukkan mereka pada posisi yang tinggi. Perempuan masih mengalami berbagai kasus penganiayaan dan penyiksaan di berbagai lini kehidupan.
Penerapan sistem kapitalisme justru melanggengkan diskriminasi dan penindasan terhadap kaum perempuan. Istilah mandiri finansial, berdikari, dan unjuk eksistensi di lembaga, parlemen, adalah pintu gerbang menuju penderitaan. Sejak ide kesetaraan gender membumi, perempuan seolah seperti mendapat angin segar atas diskriminasi yang selama ini diduga dialaminya. Rumah tangga yang semula adem ayem, kini retak akibat sang istri bersikeras terjun ke ranah publik untuk bekerja dengan alasan kebutuhan pribadi tak mampu dipenuhi suami atau gaji suami tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Anak jadi korban broken home sebab tidak lagi mendapat perhatian dan periayahan yang utuh dari sang ibu.
Gaya hidup hedonis yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan perempuan telah menjauhkannya dari citra muslimah yang sesungguhnya. Mereka menempuh seribu satu cara untuk menciptakan fun atau kesenangan diri mereka sendiri. Dari mulai memperhatikan penampilan, tak segan rogoh kocek demi tampil cantik dan menawan di hadapan publik, hingga aktivitas khalwat dan ikhtilat terbuka secara terang-terangan, berpacaran ala gaya suami istri, nongkrong di diskotik hingga mabuk-mabukan. Tanpa mereka sadari, aktivitas inilah yang menjadi pintu gerbang perzinaan, tak ada lagi harga diri, hingga kekerasan seksual terjadi.
Inikah kemuliaan dan kehormatan seorang perempuan? Sungguh ini adalah kesalahan paradigma terhadap menggapai kesejahteraan kaum perempuan.
Paradigma Islam
Jika sistem kapitalisme menempatkan kesejahteraan perempuan pada kesetaraan terhadap kaum lelaki, maka Islam menempatkan kesejahteraan perempuan pada kedudukannya yang mulia dan terhormat di hadapan Allah Swt. Baik laki-laki maupun perempuan masing-masing mendapatkan porsi yang sudah pas di dalam Islam. Bahkan kedudukan laki-laki dan perempuan digambarkan sederajat, tidak ada yang lebih mulia di antara keduanya kecuali karena ketakwaannya. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Hujurat: 13,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang.”
Kita ketahui bahwa satu-satunya agama yang paling sempurna dalam mengatur seluruh pemenuhan kebutuhan manusia (laki-laki maupun perempuan) di segala aspek kehidupan hanyalah Islam. Tak ada fitrah yang dilanggar jika masing-masing ingin memenuhi kebutuhannya. Namun, Islam juga tidak membebaskan pemenuhan kebutuhannya secara semena-mena hingga menabrak rambu-rambu syariat. Seperti yang dialami perempuan hari ini, mereka secara ugal-ugalan mewujudkan pemenuhan kebutuhannya. Pada akhirnya mengantarkan pada penderitaan, dan penderitaan paling tinggi yang dialami adalah penderitaan di ranah personal.
Oleh karena itu, paradigma Islam terhadap kesejahteraan perempuan adalah mampu menyelesaikan kebutuhan dan permasalahannya secara tuntas tanpa menimbulkan masalah lainnya. Sebab aturan yang diciptakan oleh Sang Pencipta sudah sesuai dengan kebutuhan, fitrah, dan kodrat perempuan.
Pun Islam tidak melarang perempuan terjun di ranah publik, mereka boleh bekerja, sebagaimana hukum yang ditetapkan Islam. Hanya saja yang perlu ditekankan adalah perempuan tetap mengutamakan dan memprioritaskan perannya di ranah domestik. Ranah domestik ini sama sekali tidak boleh diabaikan, sebab dari sini akan lahir generasi-generasi khairu ummah yang unggul dalam kepribadian Islam dan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, kesejahteraan perempuan di dalam Islam tidak diukur oleh hierarki gender, melainkan seberapa mampu ia menjalankan peran utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Inilah semulia-mulianya posisi perempuan di dalam Islam, di hadapan Sang Pembuat aturan Islam. Posisi ini jauh lebih strategis, bahkan tak ada yang sanggup memikulnya selain kaum yang bernama perempuan, sebab ketinggian peradaban Islam ditentukan dari kualitas generasi yang lahir dari rahim perempuan.
Dengan begitu, perempuan tidak lagi merasa termarjinalkan, mengalami diskriminasi, dan berbagai tindak kekerasan lainnya. Sebab Islam telah memuliakannya, bahkan terjun ke masyarakat pun tetap terjaga fitrahnya. Wallahu a'lam bi ash-shawab.[Elz]
0 Komentar