Subscribe Us

PEMILU, UNGKAP WAJAH BURUK DEMOKRASI


Oleh Ayu Winarni
(Kontributor Vivisualiterasi Media)


Vivisualiterasi.com- Umum kita ketahui bahwa yang berhak menjadi pemenang dalam kontestasi politik adalah siapa yang memperoleh suara unggul. Oleh sebab itulah para kandidat calon tak segan melakukan berbagai cara agar kampanye yang mereka lakukan dapat memberikan dampak signifikan pada perolehan suara.

Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) membentuk tim pengawasan tahapan kampanye di seluruh tingkatan. Ketua (Bawaslu) Rahmat Bagja, menghimbau kepada jajaran Bawaslu tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk memastikan peserta kampanye mengikuti aturan kampanye yang termuat dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. "Tim pengawasan kampanye dibentuk agar dalam melakukan pengawasan tahapan kampanye tidak keluar koridor dari aturan," cetus Anggota Bawaslu Puadi dalam Konsolidasi Nasional (Konsolnas) Pengawasan Tahapan Kampanye Pemilu 2024 di Jakarta, Sabtu (25/11/2023).

Ambisi Kekuasaan

Dalam pemilu, baik legislatif maupun eksekutif tidak terlepas dari kegiatan kampanye. Kampanye menjadi alat bagi para kontestan dalam menyampaikan informasi untuk mempengaruhi audien (masyarakat) agar menjatuhkan pilihan pada kandidat calon tersebut. 

Oleh sebab itu, para calon memanfaatkan masa kampanye untuk terus mendapatkan perhatian masyarakat. Adapun upaya-upaya yang masif dilakukan saat ini adalah pencitraan. Tak bisa dihindari, pencitraan menjadi konsumsi masyarakat. 

Sejauh ini, kita saksikan bersama di media bagaimana para calon berusaha mengambil hati rakyat dengan upaya-upaya yang dianggap merakyat. Dengan tipe masyarakat Indonesia yang konsumtif turut dimanfaatkan sebagai bahan pencitraan dengan pembagian bantuan berupa sembako dan sebagainya yang jumlahnya tak seberapa. 

Selain itu, para kandidat calon juga tak malu bersikap 'gemoy' dan berjoget-joget di hadapan umum yang dianggap mungkin sebagai representasi dari generasi muda sekarang yang suka dengan hal-hal yang sifatnya hiburan dan kesenangan. Namun sayang, sebagai calon pemimpin, itu tak pantas dilakukan. 

Hal yang tak kalah penting bahkan wajib diperhatikan adalah agama. Setiap menjelang pesta Demokrasi, isu agama selalu menjadi isu paling hangat. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, tentu faktor agama turut menjadi faktor kemenangan. Isu agama turut dimanfaatkan dalam meraup suara dengan bersikap religius, mendatangi kyai, pondok pesantren dan menampilkan kegiatan-kegiatan keagamaan. 

Seiring perkembangan teknologi, kegiatan kampanye masif dilakukan di media sosial. Akan tetapi ini rawan terjadinya kampanye hitam (black campaign) yakni penyebaran informasi negatif kepada lawan yang tujuannya membunuh karakter lawan politik tersebut. Black campaign dibalut dengan tuduhan tanpa bukti, fitnah dan hoax terhadap lawan politik yang kerap dilakukan tim sukses maupun simpatisan calon. Kampanye ini tentu bisa memicu terjadinya konflik ditengah-tengah masyrakat. 

Wajah Buruk Demokrasi

Kemenangan memang ditentukan oleh perolehan suara terbanyak. Namun dalam sistem Demokrasi hari ini semua itu tak lagi berlaku. Demokrasi justru menghianati slogan sendiri, "Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat". Nyatanya, pemimpin terpilih bukan cerminan suara rakyat tapi para pemodal. Jika hari ini mereka terlihat memihak kepada rakyat, itu hanya agar mereka dikatakan mengamalkan nilai-nilai Demokrasi. 

Atmosfer kompetisi untuk memenuhi ambisi kekuasaan sangat terasa. Apalagi sudah terbukti, Dari sekian kali pergantian kepemimpinan tak satupun yang merepresentasikan suara rakyat. Rakyat hanya dijadikan tumbal Demokrasi untuk meraih kekuasaan. 

Dalam demokrasi, pemilihan pemimpin penuh dengan tipu daya yang dibalut janji-janji manis. Demokrasi tidak mengedepankan ide-ide dan gagasan kecuali pencitraan sehingga pemimpin terpilih bisa jadi tak punya kapabilitas dalam memimpin. 

Wajah buruk dari demokrasi justru ditampakkan oleh orang-orang yang mengusung ide-ide demokrasi itu sendiri. Sayangnya, hal ini justru yang belum disadari oleh rakyat. Itulah mengapa untuk menjadi calon legislatif maupun eksekutif harus memiliki modal yang tinggi atau setidaknya diusung oleh para pemodal. Dengan begitu kesadaran rakyat akan bobroknya demokrasi bisa dibungkam dengan uang atau yang dikenal dengan istilah 'money politics'. 

Kepemimpinan dalam Islam

Pemerintah dalam sistem Demokrasi dipilih melalui pemilihan umum (pemilu). Masing-masing calon diusung oleh partai politik juga pemilik modal (oligarki). Maka tak heran ketika menjabat menjadi ajang balas budi pemimpin pada oligarki. Sudah menjadi rahasia umum bahwa demokrasi begitu rumit dalam memilih pemimpin karena pemimpin dalam demokrasi adalah figur yang diliputi nafsu berkuasa sehingga partai pengusung calon akan melakukan berbagai cara untuk menaklukkan hati rakyat dan menghalalkan berbagai cara bahkan menjatuhkan lawan politiknya.

Dalam Islam, tidak dikenal istilah pemilu seperti hari ini. Islam mempunyai metode baku dalam pengangkatan pemimpin. Pemimpin dipilih melalui bai'at, yaitu bai'at in'iqod.  Rakyat memilih wakil untuk menjadi calon Khalifah. Pencalonan ini akan diseleksi oleh Mahkamah Mazhalim dan dinyatakan layak ketika memenuhi ketujuh syarat in'iqod, yaitu muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Setelah diverifikasi oleh Mahkamah Mazhalim, maka mereka yang dinyatakan lolos akan diserahkan ke Majelis Umat, selanjutnya Majelis Umat akan melakukan musyawarah untuk diseleksi. Hasil keputusan Majelis Umat akan menetapkan 6 nama calon, dari ke-6 calon diseleksi lagi menjadi 2 nama calon. Keputusan Majelis Umat dalam pembatasan calon bersifat mengikat. Dua calon tersebut kemudian akan diserahkan kepada umat untuk diambil suara mayoritas. Dalam Islam batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah 3 hari, sehingga dalam waktu 3 hari pemilu sudah selesai dilakukan.

Maka, begitu mudahnya suksesi kepemimpinan dalam Islam dan output pemilu dalam sistem Islam pasti berkualitas karena mereka didasari dari 7 syarat yang wajib sehingga pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang amanah dan tujuan kepemimpinan adalah menjadikan negeri ini bertakwa.

Pemimpin dalam sistem Islam jelas berbeda, pemimpin dalam sistem Islam menyadari tanggung jawab kepemimpinannya sebagai amanah dan beratnya amanah menjadikan pemimpin tak bertindak sesuka hati.

Sistem kepemimpinan Islam dalam naungan institusi khilafah-lah satu-satunya yang mampu melahirkan pemimpin yang adil dan amanah karena figur pemimpinnya bukan orang yang gila jabatan tapi pemimpin yang terdepan dalam kebaikan. Wallahu a'lam bish-shawab.[Dft]

Posting Komentar

0 Komentar