Subscribe Us

INFRASTRUKTUR TIMPANG, PENDIDIKAN PINCANG 


Oleh Syahraeni
(Kontributor Vivisualiterasi Media)


Vivisualiterasi.com- Penyebaran infrastruktur pendidikan yang belum merata. Membuat guru menghadapi tantangan berat. Salah satunya terkait perkembangan teknologi. Pasalnya, dewasa ini perkembangan teknologi yang makin pesat, menjadikan semua hal berbasis teknologi. Namun, sebagian besar guru di Indonesia belum bisa mengakses teknologi terkini.

Presiden Joko Widodo menyoroti adanya ketimpangan pada infrastruktur pendidikan. Temuan ini ia dapatkan saat mengecek infrastruktur pendidikan di berbagai daerah dalam kunjungan kerja. Jokowi membandingkan antara pembangunan infrastruktur pendidikan di kabupaten dengan kota. Menurutnya, ketimpangan ini perlu menjadi perhatian Menteri Pendidikan, Nadiem Anwar Makarim.

Lebih lanjut Jokowi menuturkan, pendidikan di kota-kota lebih enak, berbeda dengan guru-guru yang bekerja di daerah 3T, yang infrastrukturnya terbatas, yang fasilitasnya terbatas, yang gurunya juga terbatas, pasti lebih berat. (detikedu, 25/11/2023)

Pendidikan merupakan penopang untuk kemajuan suatu bangsa. Maka sudah sepatutnya jika persoalan Pendidikan menjadi perhatian utama dalam semua aspeknya. Infrastruktur pada sektor pendidikan mungkin memang bukan penentu secara keseluruhan. Sebab, tak jarang para peserta didik yang berdaya juang tinggi biasanya lahir dari segala keterbatasan fasilitas. Meski demikian, bukan berarti keberadaan dan kualitas infrastruktur pendidikan ini bisa diabaikan. Karena jika hal itu berakibat pada proses pelaksanaan pendidikan, dampaknya juga akan meluas hingga pada kualitas peserta didik, bahkan bisa terjadi secara berlarut-larut.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional menjamin kesempatan pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan yang merata. Namun faktanya, masih banyak wilayah belum merasakan pendidikan yang sama tekhusus daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar).

Sebelumnya Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim juga telah mengeluarkan kebijakan untuk daerah 3T tersebut berupa Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang sepenuhnya diberikan wewenang kepada sekolah untuk mengolah dana tersebut agar dipergunakan untuk keperluan sekolah, seperti pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah hingga membeli alat multimedia untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. 

Meski demikian, masalah ketimpangan infrastruktur pendidikan ini tak kunjung usai. Pertanyaannya, mengapa pincangnya pendidikan akibat ketimpangan infrastruktur ini baru penguasa sadari? Bukankah ini adalah persoalan klasik yang sudah terjadi bahkan pada saat pandemi Covid-19 yang lalu dengan kondisi lebih ironis?

Pincangnya pendidikan akibat ketimpangan infrastruktur sejatinya disebabkan oleh kurang berperannya negara dalam ranah pendidikan itu sendiri. Negara tak ayalnya hanya regulator yang membuat regulasi tanpa bertanggung jawab penuh. Sebut saja regulasi terkait dana BOS yang diluncurkan menjadi terobosan bagi daerah yang tertinggal, kepala sekolah sebagai penanggung jawab sekolah diberikan tanggungjawab penuh untuk mengolah dana tersebut. Maka tak jarang kita dapati kasus korupsi dana tersebut yang melibatkan kepsek itu sendiri. Salah satunya Kepala SMA Negeri 1 Konawe Kuanfatu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) berinisial JS dalam kasus korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana sebesar Rp 312,8 juta ditilap oleh JS sejak 2016-2019.

Belum lagi pada penyediaan infrastruktur pendidikan yang dilakukan pemerintah dengan mekanisme KPBU (Kejasama Pemerintah dan Badan Hukum) disebabkan karena keterbatasan APBN hingga pemerintah mencari sumber alternatif pendanaan. Namun seperti yang kita ketahui orientasi dari adanya bantuan pendanaan dari badan hukum tersebut tentu memiliki prinsip Value For Money. Dengan demikian bukankah pendidikan hanya akan menjadi komoditas ekonomi yang makin menyulitkan masyarakat dalam mengenyam pendidikan? Adalah suatu bahaya menjadikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi sebagaimana dalam sistem kapitalisme saat ini. Pendidikan ibarat barang mewah. Semakin lengkap infrastruktur pendidikan yang menyertai, makin mahal pula biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat.

Lantas bagaimana nasib pendidikan generasi kedepannya terkhusus di daerah seperti 3T tadi? Apa mereka hanya layak berharap tanpa arti ketika korban ketimpangan infrastruktur itu ternyata adalah diri mereka?

Pada dasarnya, pendidikan merupakan kebutuhan publik. Rasulullah SAW bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap kau m pam muslim.” (HR. Ibnu Majah dari Anas ra.). Sebab  menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim. Maka merupakan suatu  urgensi untuk mengembalikan hakikat sistem pendidikan sebagai kebutuhan pokok publik yang haram dikapitalisasi. Penguasa tidak akan menjadikan pendidikan sebagai ladang kapital karena hal itu menampakkan berlepas tangannya mereka dari tanggung jawab dalam mengelola pendidikan demi kepentingan rakyatnya.

Rasulullah saw bersabda, “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Terkait hal ini, ketimpangan infrastruktur pendidikan juga tidak boleh terjadi. Sebabnya, infrastruktur pendidikan adalah bagian dari urusan masyarakat yang harus diselenggarakan oleh negara dan penguasa dengan kualitas dan kuantitas yang memadai, bahkan disediakan secara gratis untuk semua individu rakyat. Penguasa tidak boleh mengabaikan hal ini.

Rasulullah saw bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang memimpin (mengurusi) urusan umatku ini, yang kemudian dia menyayangi mereka, maka sayangilah dia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia.” (HR. Muslim)

Jika kita berkaca pada infrastruktur pendidikan pada masa keemasan sistem Islam. Beberapa kota-kota tertentu yang menjadi pusat pendidikan, seperti Madinah, Baghdad, Damaskus, dan Al-Quds. Warga dalam negeri maupun dari luar berbondong-bondong melangkahkan kaki menuju kota-kota tersebut demi mereguk aliran ilmu langsung di pusat mata airnya.

Namun, kota-kota tersebut yang menjadi pusat pendidikan itu tidak menjadi alasan untuk membuat akses pendidikan menjadi tidak merata. Untuk itu, infrastruktur berupa sarana dan prasarana pendidikan tentu bukan hal yang perlu dipertanyakan.

Lahirnya para ulama-ulama mazhab, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Hanafi adalah buktinya. Juga para perawi hadits seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim. Belum lagi pada sederet ilmuwan di bidang sains dan teknologi, seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Idrisi, Al-Jazari, Ibnu al-Haytsam, juga Al-Birruni yang lahir dari kota tersebut.

Riset para ilmuwan muslim itu adalah riset berbasis ilmiah yang hasilnya bisa dinikmati masyarakat dunia hingga saat ini. Demikian pula dengan berdirinya perguruan tinggi tertua di dunia seperti Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko, Universitas Al-Azhar di Mesir, serta Universitas Cordoba di Andalusia, menunjukkan betapa majunya sistem pendidikan di dalam sistem Islam. Wallahua'lam bish-shawab.[Dft]

Posting Komentar

0 Komentar