Oleh Ita Husnawati
(Pendidik)
Vivisualiterasi.com - Membangun rumah tangga, laksana berlayar di lautan, badai bisa menerjang kapan saja, ketika tak sanggup bertahan, rumah tangga pun berakhir dengan perceraian. Tahun 2021, angka perceraian ASN di lingkungan Pemerintah Kabupaten Serang masih tinggi dan didominasi lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) dengan 40 kasus per tahun. (Kabar Banten, 15/2/2021). Kemudian Kabupaten Bandung Januari hingga Oktober 2019, tercatat 224 kasus perceraian. Menurut panitera PA Kabupaten Bandung, 74 kasus cerai diajukan suami, sedangkan cerai gugat oleh istri sebanyak 150. Semuanya yang mengajukan adalah PNS. (detikNews, 6/11/2019)
Secara Nasional, data Dirjen Bimas Islam Kemenag, angka perceraian di Indonesia terus naik sejak 2015 hingga 2020. Tahun 2015 mencapai 394.246 kasus, kemudian 2016 terjadi 401.717 kasus, 2017 terjadi 415.510 kasus, 2018 sebesar 444.358 kasus, 2019 mencapai 480.618 kasus. Periode Agustus 2020, mencapai 306.688 kasus. Data terbaru, angka perceraian di Indonesia menjadi 516 ribu setiap tahun. Sementara, angka pernikahan semakin menurun, menjadi 1,8 juta peristiwa nikah setiap tahun. (www.republika.id, 22/09/2023)
Secara global, angka perceraian memang diprediksi meningkat, terutama akibat pandemi Covid-19. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Tiongkok, dan Swedia melaporkan kenaikan angka perceraian sepanjang pandemi Covid-19. Firma hukum Stewarts yang berbasis di Inggris melaporkan, sebagian besar angka perceraian selama pandemi Covid-19 diajukan perempuan, yakni 76 persen (www.jawapos.com, 23/2/2021). Berdasarkan Survei UNIDOMO tahun 2020 tingkat perceraian di Portugal mencapai 91,5 persen per 100 pernikahan, tertinggi di antara negara-negara Eropa, padahal Portugal telah membuat kemajuan yang signifikan dalam hal hak-hak perempuan dibanding negara Eropa lainnya. (news.harianjogja.com, 01/18/2023)
Adapun alasan para PNS bercerai, bermacam-macam, Menurut panitera PA Kabupaten Bandung, ada yang karena faktor ekonomi, memiliki pasangan baru, atau masalah yang tak dapat diselesaikan. Sebagian besar karena faktor ekonomi, sebagian kecil karena memiliki wanita idaman lain (WIL) atau pria idaman lain (PIL). Adam menjelaskan, meski penghasilan PNS dikatakan sudah cukup, tetapi PNS punya gaya hidup luar biasa sehingga banyak potongan, permasalahan ekonomi kerap menjadi akar permasalahan, sehingga mereka harus berpisah. Selain itu, kebanyakan dari mereka hubungan keluarganya sudah tidak harmonis. (detikNews, 6/11/2019)
Ketika mendengar informasi tentang perceraian, baik yang menimpa keluarga, teman ataupun selebritis, terasa miris, menyaksikan keluarga yang dibangun dengan penuh harapan kebahagiaan, ternyata harus kandas dengan perceraian. Lebih tragis lagi, ketika menimpa keluarga yang sudah diamanahi dengan anak. Biasanya anak akan menjadi korban perceraian orang tuanya. Hal tersebut bisa berdampak kepada mental anak, sehingga timbul istilah anak broken home. Walaupun hal itu kembali kepada kecerdasan emosional dan spiritual anak dalam menghadapi masalah keluarga. Disisi lain, muncul pula istilah single parent yang mengharuskan wanita secara mandiri menjadi ibu sekaligus berperan seperti ayah. Belum lagi muncul istilah negatif Pelakor dan Pebinor ketika perceraian disebabkan oleh adanya PIL dan WIL. Itulah diantara beberapa dampak perceraian yang tidak dilandasi alasan syarie. Tentu hal ini tidak diharapkan.
Islam mengatur urusan keluarga dengan adanya syariat pernikahan. Sedangakan thalaq (perceraian) merupakan solusi terakhir ketika hukum Allah sudah tidak bisa dilaksanakan dalam kehidupan rumah tangga dan ketika solusi lain telah ditempuh, namun tak memberikan hasil. Maka thalaq menjadi solusi yang mubah walaupun dibenci (makruh). Artinya keluarga muslim seharusnya sebisa mungkin menghindari hal itu. Namun berdasarkan fakta di atas, perceraian meningkat hingga mencapai ratusan ribu kasus. Hal ini mencerminkan rapuhnya ketahanan keluarga di Indonesia juga di negara lain di dunia yang kebanyakan diajukan oleh perempuan. Padahal hak cerai itu ada pada laki-laki, sedangkan wanita, ada kebolehan menggugat cerai ketika alasan yang dibenarkan dalam Islam (syar'i).
Sebenarnya, saat angka perceraian di Indonesia meningkat, pemerintah telah menyiapkan beberapa alat dan norma hukum terkait. Selain sertifikasi pranikah, ada draf RUU Ketahanan Keluarga yang ditawarkan DPR untuk menjadi lex specialis dari Undang-Undang Perkawinan. Namun, banyak lapisan masyarakat yang menolak dengan dalih pemerintah terlalu jauh ikut campur dalam urusan pribadi warga negara, hiperregulasi, tumpang-tindih aturan, hingga bertentangan dengan semangat pengarusutamaan gender. (www.jawapos.com, 23/2/2021)
Berdasarkan data di atas, alasan perceraian diantaranya karena faktor ekonomi yang dipicu oleh pandemi covid-19 yang memunculkan banyak PHK. Juga karena gaya hidup yang menyebabkan PNS banyak potongan gaji, kemudian yang lainnya karena ada PIL dan WIL. Artinya solusinya adalah dengan meminimalisir penyebabnya. Penanganan pandemi, harusnya sejak awal menerapkan lock down total, ternyata tidak diambil, akhirnya berdampak kepada keberlangsungan ekonomi, karena masa pandemi jadi lebih panjang dan berdampak pula kepada masalah nafkah keluarga yang berujung pada perceraian.
Kemudian aspek lain yang perlu diperhatikan adalah faktor pergaulan dalam dunia kerja, jika wanita yang telah berkeluarga bekerja seharusnya bukan untuk mengejar kesetaraan gender, wanita tetap posisinya sebagai istri dan ummun warobatul bait. Wanita tetap menjaga kehormatannya ketika di luar rumah dan saat berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahromnya di kantor. Curhat-curhatan masalah pribadi dengan lawan jenis bisa menimbulkan simpati dan membangkitkan gharizah nau (sexual instinct) yang bisa memicu perselingkuhan. Maka harus ada aturan yang diterapkan terkait interaksi antar lawan jenis. Terlebih di kalangan pendidik yang harus menjadi teladan bagi lingkungan pendidikannya.
Dalam Islam, tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam, idealnya setiap pendidik menjadi qudwah hasanah, termasuk dalam mencontohkan interaksi yang sesuai aturan Islam di antara sesama pendidik maupun dengan yang lainnya. Guru sebenarnya memiliki kode etik yang harus dipatuhi dan kode etik itu harus dibangun dari Aqidah Islam. Sehingga dalam menjalankannya dipenuhi dengan suasana iman. Sebuah aturan bisa tegak, ketika ada tiga pilar yang menegakkannya, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan ketegasan aturan negara. Jadi, jika ingin seluruh aspek kehidupan teratur dan baik sesuai aturan Islam, maka perlu ada institusi Islam yang menegakkannya. Wallahua'lam bish-shawab.[AR]
0 Komentar