Subscribe Us

PERILAKU ANAK MAKIN SADIS, MENGAPA BISA TERJADI?

Oleh Siti Aminah, S. Pd.
(Relawan Opini Lainea)

Vivisualiterasi.com- Kasus bullying bukanlah hal yang tabu dalam sistem hari ini. Bahkan makin sadis dan bengis. Paling parah hal ini sudah marak di kalangan anak-anak. Kasus demi kasus bergulir bagai bola liar yang tak terkendali. Kekerasan bahkan sampai pada pembunuhan di kalangan teman sebaya sudah menjadi tontonan di media dan membuat orang tua was-was dengan kejadian seperti ini.

Dikuitip dari hariane.com, video kisah anak SD pindah ke SLB (Sekolah Luar Biasa) beredar luas di media sosial dan menjadi viral. Video tersebut pun mendapatkan simpati publik. Apalagi dalam video yang beredar, anak tersebut berangkat sekolah ditemani oleh sang ayah (31/5/2023).

Juga yang dilansir kompas.com, bocah kelas 2 di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Jabar), meninggal dunia akibat dikeroyok oleh kakak kelasnya pada Senin (15/5/2023).

Fakta di atas tentu banyak hal yang mempengaruhi, di antaranya kurikulum pendidikan, pola asuh, baik di keluarga maupun di masyarakat, begitu juga dari tontonan. Akhirnya anak-anak tidak terkontrol dari segi emosional mereka, tidak tertanam kepada mereka rasa cinta, dan fitrah anak-anak tidak terbentuk lagi. Yang ada dibenak mereka hanya kepuasan sebagaimana yang dia tonton dan yang dia lihat.

Maka dari itu, jika dicermati kurikulum pendidikan hari ini di mana sandarannya adalah sekularisme sehingga lahirlah kurikulum yang memisahkan agama dari kehidupan, di antaranya kurikulum merdeka belajar, yang artinya bahwa peserta didik memiliki kebebasan untuk berekspresi, sehingga anak-anak tanpa sadar digiring pada kebinasaan, bahkan masih terkategori anak-anak sudah menjadi pembunuh. Para peserta didik tidak diarahkan untuk mengenal Tuhannya dan tidak pula diarahkan bahwa setiap apa yang dilakukan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Yang ditekankan adalah bagaimana meraih prestasi di bidang akademik saja dan diarahkan output dari pendidikan adalah menghasilkan materi atau pekerjaan.


Begitu juga dengan kondisi keluarga. Mestinya keluarga adalah sebagai madrasah awal dari anak ketika berada di rumahnya, terutama ibunya. Ibu dan ayah bersinergi memberikan pendidikan akidah dan membentuk kepribadian yang baik pada anak-anaknya. Namun faktanya tidak ada lagi fungsi keluarga sebagai madrasah. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah. Ibu dan ayah sibuk dengan karirnya, karena kondisi keuangan juga yang semakin memberatkan, susahnya memenuhi kebutuhan hidup, yang berakibat pada pengabaian terhadap anak. Akhirnya anak sibuk dengan dunianya sendiri tanpa ada kontrol orang tuanya. Ditambah lagi tontonan mereka, apakah yang mereka akses baik atau tidak untuk kepribadian mereka. Itu semua nihil dari pantauan orang tua. Bahkan mereka malah difasilitasi oleh orang tuanya untuk punya smartphone agar tidak menggangu kesibukan orang tuanya. Akhirnya apa yang diakses, termaksud kekerasan tidak ada kontrol sama sekali.

Belum lagi negara. Mestinya negaralah yang memiliki peranan penting, selain keluarga dan lingkungan. Karena salah satu fungsi negara adalah untuk menjaga anak-anak kita dari segala masalah. Sebagai pengontrol dan penjaga jiwa anak. Jika negara memberikan regulasi, pasti semua lapisan masyarakat akan tunduk dan patuh terhadap regulasi tersebut. Namun nyatanya, negara abai akan hal ini. Tidak ada kontrol sama sekali, negara melepaskan sepenuhnya kepada masyarakat itu sendiri untuk mengatur karakter dari anak.

Padahal sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menjaga setiap warga negaranya agar jauh dari kesewenang-wenangan dan perbuatan yang mengancam jiwa. Mestinya negaralah yang memegang kendali media, bukan malah diserahkan pada swasta untuk mengelolanya dan tidak dikontrol oleh negara. Apa yang bisa diakses, memiliki dampak negatif apa tidak, atau hal-hal buruk lainnya. Negara memang harus hadir dalam masalah ini.

Agar orang tua tidak bekerja keras mendidik anaknya untuk berperilaku baik dan menjauhi perbuatan buruk. Jika dalam rumahnya sudah ditanamkan akidah dan membentuk kepribadian yang baik, sementara di lingkungan dan negara tidak ada aturan atau aturannya liberal, sekular, hedonis. Mana mungkin terbentuk kepribadian yang baik pada anak. Yang ada terbentuk karakter bar-bar bahkan sedari kecil sudah menjadi pembunuh. Nauzubillah!

Bisa jadi, semua kejadian di atas karena penerapan sistem dalam kehidupan kita yang tidak bersandar pada aturan Pencipta. Aturan-Nya disingkirkan. Ada bila diambil, dicukupkan pada ibadah ritual belaka. Akhirnya kehidupan kita hari ini jauh dari ketenangan, semua serba was-was. 

Berbeda dengan Islam yang menjadikan keimanan sebagai landasan dalam setiap perbuatan, sehingga menjadi benteng dari perilaku jahat/sadis. Islam memiliki mekanisme komprehensif dalam membangun kepribadian rakyatnya pada semua lapisan usia sehingga terwujud individu beriman, berakhlak mulia dan trampil. Media dikontrol oleh negara, sehingga anak-anak terbentuk karakternya, sebagai karakter yang tangguh dan menjadi calon-calon pemimpin masa depan.

Sebagaimana dahulu, karakter dari anak-anak luar biasa, diusia masih belia sudah menjadi penghafal Al-Qur'an, penghafal Hadits, sudah menjadi calon-calon pemimpin peradaban. Sebut saja Muhamad al-Fatih, di usianya 21 tahun sudah menaklukkan Konstantinopel. Berkebalikan dengan hari ini, di usia 6 tahun sudah menjadi pembunuh temannya. Sangat menyayat hati, bukan?

Jadi, hanya dengan Islam kita akan hidup tenang, anak-anak kita terjaga kewarasannya, dan orang tua tidak lagi was-was jika melepaskan anaknya untuk menuntut ilmu. Wallahu a'lam bish-shawab.(Dft)


Posting Komentar

0 Komentar