Oleh Nurfitrianti Vivi
Menurut tafsir Jalalayn, ayat ini diturunkan di saat sebagian sahabat masih juga menuntut riba di masa lalu, walaupun riba itu sudah dilarang. Ayat ini kemudian sampai di masa kita dan tidak sedikit manusia ketika diingatkan haramnya riba, mereka enggan untuk meninggalkan riba.
Namun, ada pula yang ingin meninggalkan riba tetapi menuntut orang yang mengingatkannya itu agar diberikan solusi, dibantu secara materi, dimengerti perasaannya. Sementara orang yang menyampaikan itu, hanya rakyat biasa juga.
Terkadang hal ini menjadi dalih bagi orang-orang yang lebih mengedepankan empati (yang notabene perasaan) daripada pemikiran untuk taat.
Pertanyaannya, apakah di masa itu, ketika salah seorang sahabat diingatkan oleh Nabi Saw. tentang riba, kemudian ada sahabat lain menuntut agar Nabi membantu secara materi? Atau minta pekerjaan yang keuntungannya lebih besar dari riba? Dan kalau Nabi saw. ternyata tak mampu membantu sahabat itu, apakah sahabat yang lain akan menye-menye ke Nabi, misal:
"Mbok ya, kalau gak bisa bantu, gak bisa ngasih pekerjaan yang tidak melanggar syariat, ya gak usah omdo. Ada anak, istri yang ingin dia nafkahi. Kalau dia gak ambil tawaran riba itu dengan keuntungan puluhan juta, bagaimana nasib istri dan anak-anak nya? Ini juga dia lakukan demi menyelamatkan akidah istri dan anak-anaknya kok, sebab orang tua mereka masih kafir alias belum masuk Islam. Nah, kalau penghasilan dia sedikit dan tidak cukup menghidupi istri dan anak-anaknya, maka mereka akan diambil orang tuanya yang masih kafir. Di mana empati anda, wahai Nabi. Yang penting 'kan dia masih salat yaa Nabi, istrinya juga masih tetap berhijab dan menutup aurat kok."
Kata-kata di atas itu cuma contoh, ya. Sebab tidak mungkin sahabat berkata seperti itu ke Nabi. Namun, di zaman sekarang banyak kita temui kata-kata seperti di atas. Bukan hanya ketika disampaikan tentang haramnya riba, tetapi juga keharaman yang lain seperti tabarruj, ikhtilat, buka aurat, pacaran, keharaman mengadopsi ideologi kapitalisme sekuler, dll.
Selain itu, kata-kata di atas juga seakan menjadi legitimasi untuk tidak taat pada hukum Allah Swt. Sehingga menjadikan perbuatan yang dilakukan atau keputusan yang diambil dibenarkan walau melanggar syariat. Na'udzubillaah.
Lantas, apa yang dilakukan sahabat kala itu? Sami'naa wa atha'naa (kami dengar, lalu kami taat). Bukan kami dengar, lalu kami nuntut.
Seharusnya kaum muslim mencontoh keputusan para sahabat yang menjadikan ketaatan sebagai numero uno, bukan mencontoh publik figur sekuler yang mengedepankan perasaan daripada pemikiran. Sebab para sahabat takut diperangi Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam ayat selanjutnya:
"Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (TQS. Al-Baqarah: 278)
Maukah kita diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya, karena berkata seperti kata-kata di atas tadi ? Walau riba, yang penting masih salat. Walau ikhtilat, yang penting masih berhijab. Atau salat tapi makan harta riba. Berhijab tapi tabarruj. Gak apa-apa mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi kapitalisme sekuler, yang penting pemimpin kita masih salat, etc.
Pernyataan itu semua namanya hanya menaati sebagian perintah Allah dan mengingkari sebagiannya.
Padahal Allah Swt. memerintahkan:
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu." (TQS. Al-Baqarah: 208)
Salah satu langkah-langkah setan adalah menertawakan ataupun marah pada kebenaran ayat-ayat yang disampaikan. Lihat saja, akan banyak setan yang akan kasih emoticon tertawa ataupun marah pada postingan ini, oops.
Wallahu a'lam bishawab.[]
0 Komentar