Subscribe Us

GULA IMPOR, BUKTI RAPUHNYA KETAHANAN PANGAN INDONESIA

Oleh Lina Ummu Dzakirah
(Kontributor Vivisualiterasi Media) 


Vivisualiterasi.com-Ada perkataan bijak yang berbunyi, "Jika Obama ingin melakukan perubahan radikal terhadap kesehatan masyarakat Amerika untuk jangka panjang, yang perlu ia lakukan adalah melipatgandakan harga gula." (Jamie Oliver)

Ya, gula adalah salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako) Masyarakat dunia tidak hanya di Amerika, Indonesia pun tidak bisa lepas dari gula. Bahkan menjelang Ramadan ini, pemerintah sudah mengantisipasi terjadinya kekurangan gula dalam negeri. Mengamankan agar gula tetap tersedia, pemerintah melakukan impor ke luar negeri dengan besar-besaran.

Pemerintah pusat akan melakukan impor gula untuk tahun ini sebanyak 215.000 ton.  Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) menugaskan kepada BUMN Pangan dalam hal ini ID FOOD dan PTPN Holding untuk mengimpor gula tersebut. Dilansir dari Finance.detik.com, keputusan impor gula ini merupakan hasil perhitungan Prognosa Neraca Pangan yang disusun Badan Pangan Nasional. Diperkirakan pada tahun ini produksi gula dalam negeri sekitar 2,6 juta ton. Sedangkan angka kebutuhan gula nasional sekitar 3,4 juta ton. Selisihnya masih harus ditutup dengan impor.

Kurangnya stok untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri yang sangat besar menunjukkan ketidakmampuan Negara mencukupi kebutuhan gula dalam negeri. Terbukti gagalnya negeri ini mewujudkan ketahanan pangan di negeri yang notabene memiliki lahan luas nan subur.  Berdasarkan hasil survei pada era sebelum Perang Dunia II tahun 1930-1950, pulau Jawa adalah salah satu penghasil gula terbesar di dunia sekaligus pengekspor gula terbesar kedua setelah Kuba. Saat itu, sebanyak 179 pabrik gula beroperasi di wilayah Indonesia dengan tingkat produksi mencapai 14,80 ton gula per hektare atau 130 ton tebu per hektare.

Tak hanya di Jawa, pemerintah juga memperluas sebaran daerah penghasil gula ke luar Jawa. Berdasarkan hasil survei Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, terdapat lahan yang sesuai untuk tanaman tebu di 11 provinsi luar Jawa dengan total luas lahan 287.00 hektare. Apabila produktivitas tebu untuk menghasilkan gula rata-rata 8 ton per hektare, maka akan menghasilkan tambahan produksi 2,30 juta ton dan mampu memenuhi kebutuhan gula nasional hingga tahun 2020.

Namun, sangat disayangkan hal itu tidak dikelola oleh negara dengan serius. Lahan yang seharusnya menjadi lahan pertanian alih-alih disulap menjadi pemukiman penduduk dan industri. Banyak lahan mati terbengkalai tanpa ada upaya untuk menghidupkannya kembali. Disisi lain, banyak rakyat yang ingin bertani, namun tidak memiliki lahan. Selain persoalan lahan, kebijakan ekonomi kapitalis liberal telah menjadi sumber bencana pangan. Munculnya oligarki politik, para kartel-kartel dan adanya IMF yang menjadi alat pengusaha untuk berkolaborasi dengan penguasa dalam mencari keuntungan secara legal.

Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, sejatinya Indonesia tidak dapat menggantungkan kebutuhan gula domestiknya pada pasar internasional melalui impor gula aja. Sebab sumber daya alam Indonesia masih sangat sesuai untuk pengembangan perkebunan tebu yang tak lain adalah tanaman asli wilayah tropis basah.

Sesungguhnya ketahanan pangan tidak akan tercapai jika paradigma neoliberalisme ini masih bercokol di negeri ini. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah akan merugikan produk dalam negeri. Serta membahayakan ketahanan pangan dalam negeri bahkan kedaulatan negara kita sudah bergantung pada negara lain.

Jika diterapkan sistem ekonomi Islam, maka akan berpadulah dengan aturan lainnya termasuk bidang pertanian yang diterapkan secara utuh dan menyeluruh. Sektor pertanian misanya, akan bersinergi dengan teknologi terkait persiapan lahan, irigasi, pemupukan, pengendalian hama, pengolahan pascapanen, hingga manajemen perusahaan pertanian dan lainnya.

Dibantu dengan berbagai hukum pertanahan Islam sehingga tanah akan semakin produktif, lapangan kerja bertambah luas, dan kesejahteraan petani meningkat. Bagi rakyat yang ingin bertani namun tidak memiliki lahan, negara akan memberi fasilitas berupa tanah insentif. Maka swasembada pangan akan terwujud, tak lagi tergantung pada impor.

Impor hanya boleh dilakukan pada produk pangan nonstrategis, misalnya buah yang tidak bisa tumbuh sempurna di Indonesia. Negeri ini pun tidak akan lagi menjadi ajang kerakusan para mafia impor.

Ketahanan pangan sangat berpengaruh terhadap kekuatan dan kemandirian politik sebuah negara. Sungguh, ketika aturan Islam diterapkan secara komprehensif, akan saling menopang, sehingga terwujudlah sebuah negara yang berdaulat.

Wajar jika Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada zaman Dinasti Umayyah yang berkuasa atas wilayah seluas 15 juta km persegi, berpenduduk sekitar 62 juta orang (1/3 penduduk dunia pada waktu itu) telah berhasil mencapai zero mustahikWallahu a'lam bish-shawab.[MaQ]

Posting Komentar

0 Komentar