Afwan mengganggu waktunya ustadzy, ingin bertanya, sebagaimana apa yang Allah perintahkan dalam firman-Nya, untuk selalu bertanya kepada ahlu adz dzikri. Mau tabayyun terkait penjelasan antum dalam tulisan mengenai "Batas Akhir Waktu Sahur", di sini:
https://kangudo.wordpress.com/2013/07/24/batas-akhir-waktu-sahur/#more-522
Bukankah membolehkan makan dan minum setelah masuknya waktu fajar dengan dikumandangkannya adzan shubuh adalah pendapat yang menyelisihi ijma' Ulama? (Hamba Allah).
Jawaban:
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Benar, ijma' Ulama yaitu empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) menyatakan tidak boleh makan dan minum jika sudah adzan subuh (terbit fajar shadiq), sesuai Qur'an Surah al-Baqarah ayat 187 dan beberapa hadits.
Namun kami mengikuti pendapat bahwa ijma' Ulama bukan hujjah (sumber hukum). Karena ijma' yang dapat menjadi hujjah (sumber hukum) yang mu'tabar hanya ijma' shahabat saja, bukan ijma' yang lain.
Imam Taqiyuddin An Nabhani, rahimahullah, telah berkata:
كل اجماع غير اجماع الصحابة ليس بدليل شرعي
"Kullu ijmaa' ghairu ijmaa' ash shahaabat laysa bi daliilin syar'iyyin." (Setiap ijma' yang bukan ijma' shahabat, maka ia bukan dalil syar'i / sumber hukum). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz III, hlm. 300, Bab Ijma' Al Shahabat).
Kami lebih condong kepada pendapat sebagian Ulama yang membolehkan makan dan minum bagi orang yang tengah bersahur walaupun sudah masuk adzan subuh (terbit fajar shadiq) seperti pendapat Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam kitabnya Tamaamul Minnah Shahih Fiqih Sunnah (hlm. 419).
Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam kitabnya tersebut mengatakan bahwa boleh hukumnya makan dan minum bagi orang yang tengah bersahur walau sudah adzan subuh (terbit fajar), sesuai makna zhahir dari hadits Abu Hurairah, ra. berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Dari Abu Hurairah, ra., dia berkata, "Telah bersabda Rasulullah Saw., "Jika seseorang dari kamu mendengar adzan (subuh), sedangkan bejana (air) sedang ditangannya, maka janganlah dia meletakkan bejananya hingga dia menyelesaikan hajatnya darinya [minum].” (HR. Abu Dawud, No 2350, Ahmad, Daruquthni, dan Al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Imam Dzahabi). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al Jami' li Ahkam Ash Shiyam, hlm. 79).
Kami tahu Ulama pada umumnya tidak mengamalkan hadits tersebut menurut zhahir hadits, namun menakwilkan hadits tersebut dengan beberapa takwil. Misalnya ditakwil bahwa adzan tersebut adalah adzan pertama (adzan Bilal) bukan adzan kedua (adzan Abdullah bin Ummi Maktuum) yang dikumandangkan ketika terbit fajar shadiq. Atau ditakwil bahwa adzan itu memang adzan kedua akan tetapi dilakukan sebelum terbitnya fajar shadiq (qubaila al fajr). (Lihat Imam Nawawi, Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab, Juz VI, hlm. 312).
Takwil-takwil tersebut dilakukan Ulama karena hadits Abu Hurairah, ra. itu dianggap ta'arudh (bertentangan) dengan QS. al-Baqarah: 187, yaitu firman Allah ﷻ:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Makan dan minumlah kamu sampai jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam dari fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam." (QS. al-Baqarah: 187)
Takwil-takwil tersebut juga dilakukan Ulama karena hadits Abu Hurairah, ra. itu dianggap bertentangan dengan hadits dari Sayyidah 'Aisyah, ra. dan Ibnu Umar, ra. berikut ini:
حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ وَعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ " إنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
Dari Ibnu Umar, ra. dan 'A'isyah, ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Bilal itu mengumandangkan adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah kamu sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Akan tetapi, kami condong pada pendapat bahwa hadits Abu Hurairah, ra. di atas sepatutnya diamalkan menurut zhahirnya, bukan ditakwilkan. Karena menurut Syaikh Nashiruddin Al Albani hadits Abu Hurairah, ra. tersebut, dapat diletakkan sebagai istitsna' (pengecualian) atau takhshih dari hukum umumnya, yaitu keharaman makan dan minum saat terbit fajar shadiq, sesuai QS. al-Baqarah: 187 dan hadits 'Aisyah, ra. dan Ibnu Umar, ra. (Lihat Nashiruddin Al Albani, Tamaamul Minnah Shahih Fiqih Sunnah, hlm. 419).
Dengan demikian, hadits Abu Hurairah, ra. tersebut bagi kami dapat diamalkan menurut zhahirnya, tidak ditakwilkan, apalagi dianggap hadits mardud (tertolak), melainkan masih dapat diamalkan sebagai istitsna' (pengecualian) dari hukum umum yang ada.
Sudah dimaklumi, bahwa meletakkan suatu nash sebagai istitsna' (atau takhshiish) dari nash umum telah dibolehkan sesuai kaidah ushuliyah: "al 'aam yabqaa 'alaa 'umuumihi maa lam yarid daliil at takhshiish", (nash umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan). (Abdul Wahhab Khallaf, 'Ilmu Ushul Al Fiqh, hlm. 171).
Selain itu, kami tambahkan bahwa jika suatu nash itu dapat dipahami menurut zhahirnya, sementara pada waktu yang sama nash itu juga dapat dipahami menurut takwilnya, maka yang lebih rajih (kuat) adalah memahami nash menurut zhahirnya, bukan menurut makna takwilannya. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih yang berbunyi:
يُرَجَّحُ الظَّاهرُ عَلَى المُؤَوَّلِ
"[Nash] yang zhahir itu lebih kuat (rajih) daripada nash mu'awwal (nash yang ditakwilkan)." (Abu Al Mundzir Al Mun-yawi, Al Mu'tashar min Syarah Mukhtashar Al Ushul min Ilmi Al Ushul, Juz I, hlm. 229).
Demikian penjelasan (tabayyun) dari kami. Wallahu a'lam bishshawab.
Yogyakarta, 2 Mei 2021M / 20 Ramadhan 1442H
0 Komentar