Vivisualiterasi.com-Hakikat bernegara sejatinya memiliki tujuan mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan kemandirian sebagai sebuah bangsa. Namun faktanya, demokrasi justru menggagalkan semua tujuan bernegara.
Kesejahteraan, keadilan, kemandirian sebagai bangsa, juga persatuan, semuanya tidak mungkin tercapai dalam sistem pemerintahan demokrasi. Demikian disampaikan pengamat kebijakan publik, Ibu Pratma Julia Sunjandari, S.P.
Bu Pratma menjelaskan mengapa demokrasi gagal menyejahterakan semua rakyat. Menurutnya, dalam setahun, jumlah rakyat miskin bertambah dua juta orang. Selain itu, terjadi kesenjangan ekonomi yang luar biasa, kekayaan empat orang terkaya Indonesia setara dengan pendapatan 100 juta orang miskin Indonesia.
Demokrasi juga “sukses” menghantarkan penderitaan ekonomi rakyat, termasuk di antaranya para perempuan. Gagal untuk sekadar menjamin hak nafkah bagi perempuan.
“Jika syariat Islam memberi jaminan finansial bagi perempuan sepanjang kehidupannya—dengan mewajibkan laki-laki menafkahinya, ditopang negara Islam yang memastikan pemenuhannya—, sebaliknya negara demokrasi justru memaksa perempuan berbondong-bondong memenuhi kebutuhannya sendiri dengan bekerja,” ungkapnya.
Ia mencontohkan, perempuan yang sudah membanting tulang bekerja, seperti TKW, dengan terpaksa meninggalkan anaknya bertahun-tahun, banyak pula yang disiksa atau tidak mendapat gaji karena harus dibayarkan ke agen perjalanan. Contoh lain seperti buruh yang kerja shift malam, yang tidak jarang menderita pelecehan seksual.
“Sudahlah membanting tulang, membahayakan keselamatan, masih juga tidak sejahtera. Karena yang diuntungkan cuma perusahaannya, bukan buruh atau rakyat yang cuma jadi konsumen,” tukasnya prihatin.
Belum lagi dalam keadilan, lanjutnya. Hukum dalam sistem demokrasi tajam bila berhadapan dengan rakyat kecil, yang bukan siapa-siapa. Sementara perusahaan kakap, pejabat penting, atau elite lainnya, malah bebas.
“Yang tampak baru-baru ini, penindakan terhadap kerumunan saat wabah Covid-19 ini saja bisa berbeda. Kasus korupsi hukumannya ringan, penjaranya seperti hotel. Sementara ibu-ibu yang kritis, nahi mungkar, hanya komentar di medsos, hukuman penjaranya lebih lama,” tuturnya.
ia pun menambahkan kasus ketidakadilan yang dirasakan enam ibu, yang baru-baru ini harus kehilangan nyawa anak-anak mereka dalam kasus penembakan di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.
Hilang Jati Diri
Negara ini, menurut Bu Pratma, kehilangan kemandirian sebagai bangsa akibat mengikuti perintah negara-negara adidaya. Dengan dalih kerja sama dengan asing, pemerintah membuka keran investasi asing.
“Modal dari mereka, tetapi kekayaan, SDA, amblas dirampok. Ditambah lapangan kerja rakyat dirampas TKA. Belum lagi utang luar negeri. Membeli vaksin Covid-19, negara harus berutang ke luar negeri,” ia menegaskan.
Dampaknya, dari balita hingga nenek-nenek harus memikul utang negara yang mereka tak pernah memintanya.
“Bayangkan tahun ini, setiap orang harus menanggung utang Rp20.5 juta per jiwa,” tambahnya.
Selain itu, akibat demokrasi, muncul problem persatuan, yakni ancaman disintegrasi. Kasus Papua Merdeka mencuat karena “mama-mama” di sana, pace dan mace Papua, tidak pernah merasakan pemerataan pembangunan, padahal Papua adalah tanah yang amat kaya.
“Ini kan problem persatuan. Demokrasi yang katanya pluralis, merangkul semua ras, suku, dan agama tidak ada buktinya,” ujarnya.
Sementara Khilafah, lanjut Bu Pratma, yang sering dituduh sebagai penyebab permusuhan, intoleran dan sebagainya, justru membuktikan berhasil menyatukan hampir tiga perempat dunia.
“Padahal Khilafah jelas memiliki ribuan perbedaan, ras, suku bangsa, agama dan bahasa mampu bersatu selama kurang lebih 13 abad,” pungkasnya.
Penjelasan ini disampaikan Bu Pratma pada digital event nasional khusus muslimah, Risalah Akhir Tahun (RATU) 2020 pada Sabtu (26/12/2020) yang diikuti sekitar 91 ribu peserta secara virtual. [MNews/Ruh-Gz]
#JayaDenganSyariatIslam
#IslamJagaPerempuan
#BerkahdenganKhilafah
Sumber: muslimahnews.com
0 Komentar