Oleh: Meto Elfath
(Hakim Mahkamah Jalanan Dari Timur)
Vivisualiterasi.com-Adalah Prof. Mahfud MD, mantan begawan BPIP yang kini menjadi Menko Polhukam, ia telah mengeluarkan statemen yang ngawur tentang Khilafah. Statemen yang tidak berpijak pada ilmu dan pembuktian. Sehingga tidak konsisten antara pernyataan yang satu dengan pernyataannya yang lain.
Bila ditelusuri jejak pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, maka ada tiga pernyataannya yang ngawur terkait Khilafah. Yaitu [1] Tidak ada konsep baku Khilafah, [2] Khilafah tidak ada dalam Al-Quran dan [3] Islam tidak mengenal Khilafah”.
Jika dikaitkan ketiga statemen di atas secara berurutan, maka yang diinginkan adalah menggiring justifikasi bahwa Khilafah bukan ajaran Islam dengan alasan tidak adanya konsep baku Khilafah dan tidak ada Khilafah dalam Al-Qur’an. Benarkah demikian? Silahkan simak uraian pembuktiannya berikut ini !
Statemen Pertama : Tidak Ada Konsep Baku Khilafah?
Terhadap statemen ini, mesti dirinci apa maksud Mahfud MD dengan sistem baku Khilafah, mengingat istilah baku dalam KBBI diartikan: [1] Pokok; utama; [2] Tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas dan kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar. (Lihat: https://www.google.co.id/amp/s/kbbi.web.id/baku.html)
Karena itu, bila yang dimaksud sistem baku Khilafah adalah keharusan adanya kesepakatan standar pada seluruh perkara yang berkaitan dengan Khilafah, baik persoalan pokok maupun cabang-cabangnya, maka benar bahwa tidak ada konsep baku Khilafah seperti itu. Sebab, masih ada Khilafiyah dalam masalah cabang dan tekhnis praktis penyelenggaraanya.
Contohnya, dalam masalah syarat seorang Khalifah ada perbedaan pendapat para ulama. Sebagian ulama mewajibkan harus orang Quraisy. Sementara sebagian ulama yang lain tidak mewajibkan Khalifah harus dari suku Quraisy karena identitas suku Quraisy hanya dianggap sebagai syarat keutamaan saja.
Dari contoh di atas, maka benar pernyataan Mahfud MD bahwa konsep Khilafah tidak baku keseluruhan bagiannya, karena ada beberapa khilafiyah pada perkara cabangnya. Tetapi, apakah lantas menjadi alasan Mahfud MD untuk mengatakan Khilafah tidak wajib atau tidak syar’i?
Sangat prematur bila demikian alasannya. Inilah yang disebut oleh KH. Shiddiq Al-Jawi dalam tulisannya sebagai Cacat Epistemologis Dalam Istilah Sistem Baku Khilafah Professor Mahfud MD. Mengapa?
Karena jika mengikuti penalaran seperti itu, maka akan ada banyak kewajiban syariat yang gugur, seperti wudhu, sholat, puasa dan sebagainya, disebabkan dalam perkara-perkara itu juga mengandung banyak khilafiyah pada perincian cabangnya. Apakah akan berani mengatakan wudhu, sholat dan puasa tidak wajib? Jelas penalaran yang cacat.
Akan tetapi, bila yang dimaksud konsep baku Khilafah adalah soal eksistensi, nama, hukum, sifat dan ciri khas sistem Khilafah, maka Al-Khilafah jelas memiliki konsep baku. Kebakuannya ditopang oleh nash Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma Sahabat maupun fakta sejarah. Hal ini diuraikan dengan lugas oleh KH. Hafidz Abdurrahman dalam tulisannya berjudul “Tanggapan Kepada Siapa Saja Yang Mengatakan Khilafah Tidak Punya Bentuk Baku” dan buku “Konsep Baku Khilafah Islamiyah” karya Irfan Abu Naveed dan Yuana Ryan Tresna.
Dengan demikian, statemen Mahfud MD itu cacat epistemologis di satu sisi dan dusta pada sisi yang lain.
Statemen Kedua : Khilafah Tidak Ada Dalam Al-Qur’an?
Al-Qur’an memang tidak pernah menyebut kosa kata atau istilah Khilafah. Al-Qur’an hanya menyebut kata Khalifah, yaitu pada surah Al-Baqarah: 30 dan surah Shad: 26. Artinya, jika yang dimaksud adalah penyebutan kosa kata Khilafah dalam ayat Al-Qur’an, maka benar bahwa tidak ada satupun kosa kata Khilafah di sana.
Akan tetapi, ketiadaan penyebutan kosa kata Khilafah dalam Al-Qur’an bukan berarti tidak ada Khilafah dalam Al-Qur’an. Mengapa? Karena mengungkap tentang adanya sesuatu, tidak harus menyebutkan secara langsung nama sesuatu itu.
Sehingga, Al-Qur’an seringkali mengungkap keberaradaan sesuatu tanpa menyebutkan secara langsung nama sesuatu itu dalam satu peristilahan khusus. Contohnya adalah istilah As-Sunnah sebagai dalil syara’. Istilah ini tidak pernah disebutkan oleh Al-Qur’an, tetapi keberadaannya telah diungkap dalam banyak ayat Al-Qur’an, diantaranya QS. Al-Hasyr: 7.
Begitu pula istilah Al-Khilafah, tidak pernah disebutkan dalam Al-Qur’an. Akan tetapi keberadaan sistem Al-Khilafah itu telah diungkap dalam banyak ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya dalam QS. Al-Maidah: 48. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka putuskanlah perkara diantara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (TQS. Al-Maidah: 48)
Para ulama tafsir telah menjelaskan bahwa seruan Allah kepada Rasulullah untuk memutuskan perkara mereka sesuai dengan wahyu, juga merupakan seruan bagi umat Rasulullah. Artinya, hendaknya kaum muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah untuk memutuskan perkara berdasarkan wahyu.
Realitas Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah-tengah kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah adalah Khalifah, sedangkan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah. Jadi, secara tidak langsung keberadaan sistem Al-Khilafah telah diungkap oleh Qur’an melalui surah Al-Maidah ayat 48 dan ayat-ayat semisal, seperti An-Nisa ayat 59 dan lain-lain.
Demikian pula dalam perincian penerapan hukum-hukum syariah yang disebutkan Qur’an, seperti ayat persatuan, jihad dan uqubat (hukuman qishos, cambuk, potong tangan, dsb), merupakan kewajiban yang tidak akan terlaksana tanpa adanya Hakim (penguasa) yang menjadikan Al-Qur’an sebagai panduannya.
Karena itu, adanya penguasa yang akan menerapkan hukum-hukum syariah adalah wajib. Penguasa yang dimaksud tiada lain kecuali Khalifah dalam sistem Khilafah. Sebab hanya Khilafah yang mencakup semua itu, tidak ada pada sistem yang lain. Dalam hal ini berlaku kaidah “Kewajiban yang tidak terlaksana tanpa sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib diadakan”.
Dengan demikian, statemen Mahfud MD yang menyebut Khilafah tidak ada dalam Al-Qur’an adalah statemen dusta yang tidak terbukti kebenarannya. Justru bertebaran ayat Al-Qur’an yang menegaskan keberadaan Al-Khilafah, meski tidak menyebutnya secara langsung dalam satu istilah khusus.
Lebih dari itu, perlu ditegaskan bahwa dalil syariat dalam Islam tidak terbatas pada Al-Qur’an saja. Karena Al-Qur’an sendiri telah menunjuk dalil kedua, yaitu As-Sunnah. As-Sunnah dalam makna segala perkataan, perbuatan dan ketetapan (diamnya) Nabi Shollallahu ‘Alayhi Wasallam.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (TQS. Al-Hasyr: 7)
Kenyataannya, banyak kewajiban dalam Islam yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, tetapi bersumber dari As-Sunnah. Contohnya jumlah rakaat sholat isya dan maghrib tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Tetapi mengapa diwajibkan? Karena disebutkan oleh As-Sunnah. Jika mengikuti alur logika Mahfud MD, apakah berani mengatakan rakaat shalat isya dan maghrib tidak wajib karena tidak ada dalam Al-Qur’an?
Begitu pula Al-Khilafah. As-Sunnah telah mengungkap Al-Khilafah dengan menyebut nama dan istilah serta sistem dan sifatnya secara langsung. Dalam sebuah hadits shohih, Nabi bersabda:
“Di tengah-tengah kalian ada masa Kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa Kekhilafahan yang mengikuti manhaj Kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu saat berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada masa kekuasaan zalim yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu saat berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada masa kekuasaan diktator menyengsarakan yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika berkehendak mengangkatnya. Selanjutnya akan muncul kembali masa Khilafah yang mengikuti jalan Kenabian. ‘Setelah itu beliau diam’” (HR. Ahmad).
Hadits tersebut jelas menyebutkan nama dan istilah Khilafah sekaligus sifatnya yang mengikuti jalan Kenabian (Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah).
Dalam hadits yang lain disebutkan sistem Al-Khilafah yang berbentuk kesatuan. Nabi bersabda: “Jika dibaiat (diangkat) dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (HR. Muslim).
Hadits di atas menegaskan tentang sistem Khilafah yang berbentuk kesatuan, sehingga tidak boleh ada lebih dari satu Khalifah (Kepala negaranya) untuk seluruh kaum muslimin. Sifat dan karakter sistem Khilafah yang lain telah dijelaskan dengan detil dalam hadits-hadits yang lain pula.
Statemen Ketiga : Islam Tidak Mengenal Sistem Khilafah ?
Dalam acara diskusi ILC-TVOne (29/10/2019), Mahfud MD mengatakan bahwa tidak ada sistem Khilafah dalam Islam. Yang ada hanyalah prinsip Khilafah dan itu tertuang dalam Al-Quran. Benarkah statemen ini?
Statemen Mahfud MD di atas jelas sedang membedakan antara sistem Khilafah dan prinsip Khilafah dengan cara memisahkan prinsip Khilafah dari sistem Khilafah. Prinsip Khilafah ia akui ada tetapi sistemnya dianggap tidak ada.
Secara logika, cara seperti itu sangat cacat dan ngawur. Mengapa? Sebab, bagaimana mungkin ada prinsip tentang sesuatu tanpa adanya sistem sesuatu itu? Ibarat ada tahi ayam tanpa ada ayam, mungkinkah? Tidak mungkin. Hanya orang tidak berakal yang akan mengatakan mungkin.
Jadi, bagaimana mungkin didapat prinsip Khilafah tanpa adanya Khilafah? Mustahil bisa. Karena adanya prinsip Khilafah menunjukkan adanya sistem Khilafah, sebagaimana adanya tahi ayam membuktikan adanya ayam dengan semua bentuk dan sistem kerja fisiknya hingga menghasilkan tahi ayam. Mustahil tahi ayam adalah hasil tinja (kotoran) seekor sapi misalnya.
Di sisi lain, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa keberadaan sistem Al-Khilafah jelas telah diungkap oleh Qur’an, disebutkan secara langsung dalam As-Sunnah dan dipraktekkan langsung oleh para Khulafa sepeninggal Rasulullah Shollallahu ‘Alayhi Wasallam.
Karena itu, baik secara dalil syara’ maupun fakta sejarah, jelas Al-Khilafah adalah ajaran Islam. Islam tidak hanya mengenal adanya sistem Khilafah, melainkan Islam bahkan mewajibkan tegaknya Khilafah. Bukan pula sekedar kewajiban, melainkan ia adalah mahkota kewajiban (Taj al-furudh) yang dengannya pelaksanaan kewajiban lain akan sempurna.
Akhirnya, semua statemen Prof. Mahfud MD di atas merupakan statemen yang ngawur, prematur dan dusta, cacat epistemologis, cacat logika, mengabaikan fakta sejarah serta tidak berpijak pada dalil syara’, baik Al-Qur’an, As-Sunnah maupun Ijma’. Sehingga, semua statemennya dan yang semisalnya layak untuk diabaikan dan wajib ditinggalkan oleh umat.
[]Mahkamah Jalanan-Sabulakoa, 03/11/2019
0 Komentar