Oleh: Randy Pratama
(Administrator dan Analis Web Vivisualiterasi.com)
Vivisualiterasi.com-Palestina kini masih terus dirundung duka. Betapa tidak, Zionis Yahudi Israel tidak pernah berhenti menjajah dan mengusik ketenangan kaum Muslimin Palestina.
Negara Zionis Israel mengusik ketenangan hidup kaum Muslimin Palestina dengan merampas tanah-tanah mereka, menghancurkan rumah-rumah penduduk, memperkosa muslimah, hingga membunuh kaum Muslimin sipil maupun militer dengan senjata api, bomb dan rudal-rudal pesawat tempur.
Kenyataan Muslimin di bumi Palestina seperti itu, sungguh sangat berbanding terbalik dengan predikat umat Islam yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Quran. Dalam Al-Qur’an, umat Islam disebut sebagai khairu ummah (Umat terbaik). Allah berfirman:
Kamu sekalian (Umat Islam) adalah umat yang terbaik, yang dilahirkan untuk seluruh manusia; menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah. (TQS. Ali Imran: 110).
Predikat itu benar-benar terwujud sepanjang sejarah kebesaran peradaman umat Islam. Yaitu, sejak tegak Negara Islam di Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi SAW, dilanjutkan oleh para Khalifah sesudahnya dalam bingkai negara Khilafah Islamiyyah hingga ribuan tahun.
Namun sayang, gelar itu kini hanya tinggal sebuah nama, tanpa realitas. Sejarah mencatat, kuruntuhan khilafah Islamiyah terakhir yang berpusat di Turki pada tanggal 3 maret 1924 merupakan titik balik awal bencana menimpa dunia Islam. Sejak itulah, predikat umat terbaik tak lagi menemukan faktanya pada realitas Muslimin.
Diantara dampak sekaligus bukti umat Islam tidak lagi menjadi umat terbaik adalah wajah Palestina kini yang penuh derita seolah tak bertepi. Derita itu terjadi sejak dunia Islam tak lagi memiliki junnah (pelindung) dalam negara yang satu, yaitu negara Khilafah Islamiyah.
Perang Dunia-I yang berakhir dengan kekalahan Khilafah Utsmani, Inggris sebagai pemenang perang mengizinkan kaum Yahudi bermukim di Palestina untuk pertama kalinya tahun 1917 melalui deklarasi Balfour.
Puncaknya tahun 1947 ketika PBB membagi Palestina menjadi dua, satu bagian untuk Yahudi dan satu bagian untuk Muslimin Palestina. Dari sinilah negara Zionis Israel berdiri tahun 1948 dengan Tel Aviv sebagai ibu kotanya.
Sejak didirikan oleh Inggris, negara Israel terus melebarkan wilayahnya dengan merampas wilayah pendudukan Muslimin. Terlebih lagi setelah dijaga oleh negara Adidaya Amerika Serikat, bahkan pada tahun 2017 yang lalu, Amerika mengklaim Baitul Maqdis sebagai ibu kota Israel.
Hingga kini air mata dan darah Palestina selalu basah di atas derita penjajahan Zionis Israel. Israel yang hanya berpenduduk sekitar 20 juta mampu mencabik-cabik salah satu bagian tubuh kaum Muslimin yang berjumlah hampir 2 miliyard di seluruh dunia.
Nyaris tidak ada hambatan dan tantangan bagi Israel untuk mempertahankan misi penjajahannya, selain perlawanan kecil yang tidak berbahaya dari kelompok jihadis Hamas Palestina. Sementara kaum Muslimin lain di seluruh dunia hanya bisa mengulang-ulang retorika kecaman dan kutukan dibalik kurungan Nation State. Atau paling banter dengan mengirimkan bantuan makanan dan obat-obatan.
Apakah dengan kecaman dan kiriman bantuan logistik mampu menyelesaikan masalah Palestina? Kenyataannya, berjuta kecaman dan kutukan serta bantuan logistik, tidaklah menyelesaikan masalah. Sebab, masalah utama Palestina adalah masalah penjajahan fisik yang harus dihentikan dengan tindakan fisik pula, itulah jihad.
Sayangnya, solusi itu tidak pernah dilirik. Sampai hari ini, tidak ada satu pun pemimpin-pemimpin negeri kaum Muslimin yang tergerak untuk menghentikan penjajahan fisik Israel atas Muslimin dan bumi Palestina.
Semuanya merasa puas dengan kutukan dan kecaman, padahal tindakan yang sama seperti itu bahkan bisa dilakukan oleh anak kecil sekalipun. Hasilnya, Zionis Israel terus menjajah Palestina dan bangga di atas penjajahan itu.
Sikap pengecut pemimpin-pemimpin negeri kaum Muslimin di seluruh dunia bukanlah tanpa alasan. Sungguh karena mereka telah terkena racun nation state, yaitu nasionalisme. Karena nasionalismelah, kaum Muslimin dikurung dalam sekat-sekat puluhan negara tak berdaya.
Di samping itu, prinsip nasionalisme dalam nation state menganggap derita Muslim Palestina maupun di belahan bumi yang lain sebagai problem dalam negeri masing-masing. Kebijakan negara nation state dibatasi oleh batas teritorial, termasuk dibidang militer. Sehingga, tentara militer negeri-negeri muslim hanya bisa digerakkan untuk kepentingan dalam batas wilayah negaranya masing-masing.
Itulah mengapa Indonesia dan negeri-negeri Muslim lainnya tidak pernah dan tidak akan pernah bergerak mengirim pasukan tentaranya untuk membebaskan bumi Palestina dari penjajahan fisik Israel. Sebab, semuanya dibelenggu oleh rantai nation state.
Belenggu rantai nation state seperti itu sangat berbeda jauh dengan prinsip negara Khilafah yang menyatukan seluruh Muslimin seluruh dunia dalam satu kepemimpinan seorang Khalifah. Kepemimpinan seorang Khalifah itulah yang akan menjaga setiap jengkal tanah dan darah kaum Muslimin dimana pun mereka berada.
Sungguh, kisah pengusiran bangsa Yahudi bani Qainuqa dari Madinah oleh Rasulullah adalah buktinya. Hanya untuk melindungi kehormatan seorang wanita yang dilecehkan oleh seorang Pedagang Yahudi bani Qainuqa, maka tentara Daulah Islam mengepung benteng mereka hingga mereka takluk terusir keluar dari Madinah.
Demikian juga kisah pembebasan kota Ammuriyah oleh Khalifah Al-Mutashim Billah, hanya berawal dari pelecehan kehormatan seorang wanita Muslimah oleh tentara Romawi. Bahkan diriwayatkan bahwa sang Khalifah menurunkan pasukan militer yang bebaris sepanjang kota Baghdad hingga kota Ammuriyyah.
Oleh karena itu, bila kenyataan Muslimin Palestina hari ini terjajah, tertindas dan terusir, kehormatannya dilecehkan, diperkosa bahkan dibunuh, maka tiada solusi lain kecuali dengan tegaknya institusi negara Khilafah Islamiyah dalam satu kepemimpinan seorang Khalifah. Khilafahlah yang akan menggerakkan para tentaranya untuk jihad membebaskan setiap jengkal tanah kaum Muslimin, bahkan negara-negara kafir pun akan takluk bertekuk lutut dalam kepemimpinan Khilafah.
Akhirnya, jikalau ada perjuangan yang paling bernilai dalam konteks ini, maka perjuangan itu adalah perjuangan untuk menegakkan Khilafah Islamiyah. Dari sanalah berbagai masalah akan terurai, kebaikan demi kebaikan akan terwujud, hingga predikat sebagai umat terbaik (Khairu Ummah) akan kembali hadir menemukan faktanya. [M-Elfath]
0 Komentar