Subscribe Us

ISLAM, PONDASI MEMBANGUN KELUARGA TANGGUH

Oleh: Mulyaningsih, S. Pt. (Pemerhati Masalah Anak dan Keluarga/Anggota Akademi Menulis Kreatif Regional Kalsel)

Vivisualiterasi.com-Samara (sakinah, mawaddah wa rahmah). Semua orang sepakat bahwa hal itu harus ada dalam rumah tangga yang ideal. Tentunya ditambah dengan terwujudnya ketenangan, ketentraman, kenyamanan serta munculnya rasa kasih sayang di antara anggota keluarga. Semua itu merupakan dambaan dan keinginan setiap insan ketika akan dan sedang membangun sebuah keluarga. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan tidak seluruhnya seindah yang dibayangkan.

Dalam keluarga, tidak jarang lebih banyak perselisihan dibandingkan dengan ketenteraman, bahkan mengarah pada kekerasan fisik. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, malah seakan menjadi neraka yang ingin dihindari. Salah satu indikasinya adalah tingginya angka perceraian pada rumah tangga muslim.

Berdasarkan data yang ada, tingkat perceraian yang diputus Pengadilan Agama Kota Banjarmasin (Kalimantan Selatan) mencapai lebih dari 2 ribu per tahun. Sebagian besar perceraian tersebut disebabkan persoalan ekonomi. Kepala Humas Pengadilan Agama Banjarmasin Bahtiar MH mengatakan, pada 2018 tingkat perceraian baik cerai gugat maupun talak yang telah diputus pengadilan mencapai 2.310 kasus. Sedangkan pada 2019 hingga Juni saja, sudah mencapai 1.150 kasus perceraian lebih, dengan penyebab perceraian karena gugat dan talak.

"Rata-rata setiap bulan, ada sekitar 140-150 kasus perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Banjarmasin", katanya. Menurut Bahtiar, hampir 90 persen, penyebab perceraian tersebut adalah masalah ekonomi, baik karena ekonomi berlebih atau yang tidak mencukupi. Penyebab ekonomi berlebih, membuat suami menikah lagi, melakukan hal-hal negatif seperti terlibat narkoba, pulang larut malam, perselingkuhan dan lainnya. Hal ini membuat istri tidak dapat menerima, kemudian mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Sedangkan pada ekonomi kurang, istri memilih cerai dikarenakan suami dianggap tidak mampu memenuhi nafkah keluarga.

Mirisnya, sebagian besar usia suami istri yang terlibat kasus perceraian berada pada usia produktif, yaitu berkisar 20-40 tahun dan terbanyak 30 tahun ke bawah. Sedangkan usia 40-50 tahun, prosentasenya jauh lebih kecil. Bahtiar membantah, bila tingginya angka perceraian usia muda tersebut akibat pernikahan dini. Justru alasan yang paling banyak adalah karena masalah ekonomi (kalsel.antaranews.com, 1/7/2019).

Hal senada juga terjadi di Kota Banjarbaru. Pengadilan Agama (PA) tahun ini kembali disibukkan dengan banyaknya perkara perceraian yang harus mereka selesaikan. Baru sampai pertengahan tahun, sudah ada 597 pasangan suami istri (Pasutri) yang mengajukan diri untuk bercerai. Panitera PA Banjarbaru, Rahmatul Jannah mengatakan, sama seperti tahun-tahun sebelumnya setiap bulan mereka kembali harus menangani lebih dari 70 perkara perceraian di Banjarbaru. "Paling banyak pada Januari tadi, kami menerima 136 perkara perceraian", katanya.

Namun, untuk bulan-bulan selanjutnya hingga Juli ini dia menyebut perkara perceraian relatif lebih rendah dengan rata-rata 70 sampai 80 kasus setiap bulannya. "Kalau sampai Juli, total sudah 597 perkara yang kami terima", sebutnya. Sementara itu, Panitera Muda PA Banjarbaru, Maslanah menyampaikan, dari hampir 600 perkara perceraian tersebut paling banyak ialah cerai gugat (istri yang menggugat cerai suami). "Dari total perkara tahun ini, hampir 80 persen cerai gugat", ucapnya.

Mengapa istri yang paling banyak menggugat? Menurutnya, karena wanita yang sering tidak kuat apabila rumah tangga mereka bermasalah. "Apalagi masalah itu lantaran ulah suaminya", bebernya. Perceraian sendiri terjadi paling banyak lantaran adanya perselisihan dan pertengkaran terus-menerus antara suami dan istri. "Perselisihan ini banyak faktornya. Seperti faktor ekonomi, hadirnya orang ketiga hingga KDRT", ujarnya. (m.kalsel.prokal.co, 29/7/2019).

Dari data tersebut, kenyataan menyedihkan lainnya adalah bahwa perceraian terjadi pada usia pernikahan yang baru seumur jagung. Hal ini terlihat dari penggugat yang rata-rata berusia di bawah 35 tahun. Realitas ini tidak hanya terjadi di Kalimantan Selatan, namun merata hampir di seluruh wilayah Nusantara. Ini menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam posisi darurat dari segala lini. Tak hanya darurat pelecehan seksual, narkoba, kenakalan remaja, tindakan korupsi, namun juga darurat ketahanan keluarga.

Angka di atas dapat mengindikasikan rapuhnya institusi rumah tangga yang ada pada sistem sekuler saat ini. Hal tersebut bukan hanya disebabkan karena faktor internal di rumah tangga tersebut, akan tetapi banyak faktor lain yang melatarbelakangi terjadinya perceraian. Keluarga yang tidak harmonis ini disebabkan oleh lemahnya pondasi keluarga. Sehingga, bangunan keluarga menjadi sangat rapuh ketika disandarkan pada nilai global ala-ala Barat. Mereka lupa berpegangan dengan agama mereka sendiri, yaitu Islam.
Kelemahan mengenai konsep keluarga dan rumah tangga sudah lama terjadi, bahkan sebelum bingkai rumah tangga terbentuk. Tak sedikit dari para remaja yang senang sekali melakukan perbuatan-perbuatan seperti pergaulan bebas dan pacaran. Mereka dengan sangat ikhlas sampai habis-habisan melakukan perbuatan yang sangat memalukan, yaitu berhubungan intim layaknya suami istri. Padahal sejatinya mereka belum sah menjadi pasangan hidup. Ketika mereka melangsungkan akad nikah, maka muncul rasa kebosanan serta adanya keinginan untuk tidak terikat dan merasa bebas. Belum lagi buah dari pacaran, mereka pastinya sering gonta-ganti pasangan.

Hal ini dapat menimbulkan masalah yang baru. Sebut saja trend selingkuh, ketika mereka sudah bosan dengan pasangan sah mereka, bisa saja akhirnya mereka melakukan hubungan lagi dengan 'mantan' mereka.
Untuk mengatasi seluruh hal tersebut, tentu saja tidak mudah dan memerlukan solusi menyeluruh. Bukan hanya saat terjadinya pernikahan sebagai gerbang pembentukan keluarga, namun jauh sebelum itu. Perlu adanya usaha pembentukan pemahaman yang benar mengenai konsep keluarga. Dasar solusinya tidak lain adalah kembali kepada Islam, sebagai pedoman hidup seluruh manusia, termasuk dalam hal membangun keluarga tangguh.

Selain itu, permasalahan keluarga di negeri ini tak cukup diserahkan hanya pada individu-individu semata, perlu adanya peranan negara di dalamnya. Negara berkewajiban untuk menjadikan akidah Islam sebagai pondasi dan tuntunan untuk membangun biduk rumah tangga muslim. Tak cukup hanya dengan kursus singkat pra nikah, namun harus ada pemahaman yang tertancap kuat dalam diri-diri kaum muslim. Hal ini bisa diterapkan dalam dunia pendidikan, melalui kurikulum yang diajarkan sekolah-sekolah.

Singkatnya, ketika kurikulum sekolah berdasar pada akidah Islam maka akan mencetak generasi yang bertakwa dan mempunyai pondasi iman yang kokoh. Mereka paham benar bahwa hidup ini semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah saja. Ketika mereka dewasa dan akan membangun biduk rumah tangga maka yang terjadi adalah meyakini bahwa ini suatu ibadah.

Sehingga tidak menjadikannya sebagai hal yang main-main atau ajang uji coba.
Di sisi yang lain, negara harus bisa melawan nilai-nilai di luar Islam yang akan merusak keutuhan rumah tangga. Pengaruh dari gaya hidup bebas, hedonisme, sekulerisme, materialistik dan budaya konsumtif perlu dibuang jauh-jauh. Kemudian negara harus menjamin seluas-luasnya lapangan pekerjaan bagi  para calon suami. Agar para suami-suami mendapatkan pekerjaan dengan mudah serta penghasilan yang memadai, dengan begitu maka dari sisi ekonominya akan kuat.

Akhirnya, keharmonisan biduk rumah tangga perlu peran dari semua pihak. Yaitu ketakwaan dari individu, masyarakat serta negara. Dengan kata lain harus menjadikan aturan Allah sebagai pondasi untuk semuanya. Ketakwaan individu dapat dibentuk dari pembinaan ketakwaan dalam keluarga. Keluarga dapat membentuk ketakwaan individu jika mempunyai ketahanan yang tangguh. Hal itu hanya bisa terwujud jika negara menjamin serta memfasilitasi semua kebutuhan dasarnya. Walhasil, negara perlu perombakan dari segala lini dan perlu mengganti sistem yang ada sekarang. Tentunya dengan menerapkan sistem Islam. Hanya dengan sistem Islam keluarga akan mempunyai pondasi yang kokoh dan akan melahirkan generasi yang tangguh.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar